GKI Harapan Jaya

Sunday, February 15, 2009

Tanah: Suatu Kajian Mengenai Tanah dalam Konteks Israel Kuno dan Dunia Modern


by Alexander Urbinas


I. Pendahuluan
Tanah dalam tradisi Perjanjian Lama (PL) merupakan sesuatu yang penting, karena makna di dalamnya yang menandakan akan janji dan sejarah penyelamatan Allah kepada umat yang telah dipilihnya (Israel). Dalam PL kata tanah disebut sebagai אֶרֶץ (eretz) yang berarti ‘bumi’ atau ‘negeri’. Kata ‘eretz’ tersebut, mengungkapkan nilai tanah yang bersumber pada pengalaman manusia yang nyata, yakni tanah sebagai suatu lingkungan hidup yang menghidupkan. Oleh karena itu, bagi bangsa Israel tanah bukanlah sebuah benda berharga, dilihat dari segi ekonomisnya, tetapi lebih dari itu. Maka, hingga saat ini tanah merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara kelangsungannya, karena itu berkaitan dengan masalah eksistensi Israel sebagai umat Allah. Oleh alasan inilah, sehingga ikut memengaruhi lahirnya konflik di Timur Tengah.

II. Tanah sebagai Lambang Perjanjian
Janji akan tanah dan pemenuhan dalam pemberian tanah itu bahkan menjadi tema utama kelima kitab Taurat dan kitab-kitab sejarah mula-mula. Israel memiliki tanah untuk didiami karena Allah sudah memberikannya kepada mereka. Tradisi pemberian tanah ini mempunyai implikasi yang luas atas pemikiran dan praktik PL. Perlu dicatat, bahwa pemberian tanah itu bukan sekadar sebuah tindakan pemenuhan janji, melainkan lebih kepada sebuah tindakan anugerah Allah yang telah memilih dan menetapkan Israel sebagai umat-Nya, dan menempatkannya di atas tanah milik-Nya.
 Pemberian tanah dari Allah kepada umat Israel tersebut, berangkat dari pemahaman bahwa telah terjadi kesepakatan antara Allah dengan leluhur umat Israel yang direpresentasikan oleh Abraham, Ishak, dan Yakub. Hal ini nampak jelas dalam beberapa keterangan di kitab PL, seperti dalam Kej 12:1 yang mengatakan bahwa Tuhan berfirman kepada Abram: “…pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.” Begitu pula dalam Kej 15:7: “Akulah Tuhan yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu.” Dengan demikian, ada perjanjian dari Allah kepada umat yang dipilihnya (diwakili oleh leluhur Israel: Abraham) akan tanah yang lebih baik. 
Tanah yang dijanjikan kepada keturunan Abraham tersebut, walupun sudah pasti diberikan oleh Allah namun, pada awalnya tidak ada klaim yang menyatakan keabsolutan atas kepemilikan tanah tersebut. Ini terlihat dari cara hidup para leluhur Israel yang berpindah-pindah. Ada sebuah konstruksi ketegangan yang terjadi antara janji dan pemenuhannya. Dengan demikian, muncul pengharapan dari keturunan Abraham akan pemenuhan janji tersebut. Pada masa perbudakkan Israel di Mesir keterangan mengenai ini muncul (lih. Kel 6:4).  
Pemenuhan akan tanah sebagai janji itu bahkan, tetap menjadi pergumulan bangsa Israel paska keluar dari Mesir. Namun, kehidupan mengembara itu tetap terjadi. Alkitab mencatat bahwa, tanah perjanjian itu diperoleh melalui pengembaraan selama 40 tahun tahun, tanda bahwa perlu ada perjuangan untuk mencapai sesuatu yang tidak ‘murah’. Bil 32:13 menyebutkan bahwa, tidak ‘murahnya’ pemberian tanah tersebut dikarenakan iman umat Israel yang saat itu lemah.  
Peristiwa historis lain yang mengingatkan akan tanah sebagai lambang perjanjian adalah ketika umat Israel berada pada masa pembuangan. Umat Israel pada saat itu merasa kehilangan tempat, terasing, dan kehilangan rasa aman. Pada masa pembuangan, ditengah-tengah kesengsaraannya, umat Israel kembali mengenang dan merindukan akan tanah perjanjian (lih. Mzm 137). Lewat peristiwa inilah eksistensi iman Israel kembali dipertaruhkan. Dalam dunia PL, tanah dan Israel memang merupakan dua entitas yang tidak dapat terpisahkan, saling terkait dan berhubungan satu sama lain. Oleh sebab itu, semua peristiwa yang dialami oleh umat Israel mulai dari pembuangan sampai kembalinya ke tanah tersebut, menjadi suatu kenangan iman tersendiri bagi bangsa Israel. Maka, sejarah Israel dalam PL adalah sejarah mengenai Allah dengan umat-Nya di tanah.  

III. Makna Teologis dari Tanah
Dalam kepercayaan umat Israel, pemberian tanah merupakan puncak dan penggenapan dari suatu rentetan perbuatan-perbuatan Allah. Pemberian tanah itu dimaksudkan Allah untuk menjadikan Israel sebagai milik-Nya yang kudus (Im 20:18; Kel 31:13). Dengan diberikannya tanah tersebut maka, Allah mengharapkan suatu respon, yaitu suatu jawaban atau penetapan sikap dari pihak Israel sendiri. Allah yang menguduskan umatnya merupakan sebuah formula mengenai makna teologis dari tanah. 
Allah lewat segala perbuatan-Nya telah menunjukkan pengudusan akan Israel. Menurut kesaksian PL, Allah menumbuhkan kesadaran dan kegiatan Israel dalam tiga dimensi, yang disebut sebagai ikatan kasih. Pertama, sadar bahwa YHWH selaku Allah-Nya; kedua, sadar akan diri-Nya selaku umat YHWH; dan ketiga, sadar akan tugasnya terhadap bangsa-bangsa disekitarnya. Israel telah dipilih sebagai umat, dibebaskan dari perbudakkan, diangkat menjadi hamba dan anak yang sulung, serta telah mengetahui akan kehendak dari Allah. Pemberian tanah menjadi kenyataan bahwa Israel diperhadapkan kepada suasana yang baru, untuk menampilkan respon timbal balik akan perhatian Allah. 
Kitab Yos 21:43 menyebutkan akan pemberian tanah Israel dari Allah. Tanah yang pada pada awal kependudukannya dikenal dengan sebutan Kanaan. Umat Israel pada dasarnya adalah orang asing di tanah tersebut. Mereka memberikan penyebutan kepada penduduk setempat, yang lebih dahulu menduduki tempat tersebut, dengan sebutan “orang-orang Kanaan” dan “orang-orang Amori”. Penduduk Kanaan yang beranekaragam tersebut juga dicatat di dalam Yos 3:10. 
Perlu diketahui, dengan pemahaman yang mendalam akan tanah, maka dalam hidup keseharian umat Israel, tanah menjadi sesuatu yang penting. Tanah bukan sekadar memiliki nilai ekonomis. Kehilangan akan tanah menjadi suatu ancaman bagi bangsa Israel dan ini merupakan sebuah perkara yang serius. Dengan latar belakang demikian, maka umat Israel tidak mau kehilangan yang sudah diterimanya secara turun temurun, karena ini juga telah diatur di dalam Taurat.  

IV. Tanah sebagai Pemberian
Tanah yang dijanjikan kepada Israel adalah sebuah pemberian. Ini adalah pemberian dari Allah, yang membawa Israel kepada sebuah jalan hidup dan pemahaman yang baru. Umat Israel telah memahami bahwa eksistensi mereka di tanah tersebut bukanlah karena kekuatan dan kehebatan mereka, tetapi karena penyertaan Allah. Tanah sebagai pemberian dari firman Allah adalah pemberian yang terpenuhi (Yos 21:45).
Maka dari itu, umat Israel tidak dapat mengabaikan proses perhatian yang telah lebih dahulu dilakukan oleh Allah kepadanya. Kitab Ul 6:10-11 menyatakan, ketika Tuhan Allah telah membawa umat Israel kepada negeri yang telah dijanjikan dan diberikan, melalui kesepakatan dengan leluhur mereka, umat Israel tidak boleh melupakan kebaikan dari Allah tersebut. Mereka tidak hanya harus menjaga dan menguduskan dirinya, tapi juga tanah yang telah diberikan dan dijanjikan tersebut. 
Pemberian tanah sekali lagi menjadi fakta anugerah yang dimanifestasikan oleh Allah. Kitab Ulangan mencatat, ketika umat Israel menuju tanah Kanaan dari Mesir, Allah senantiasa memberikan penjagaan dan kasih karunianya yakni dengan mana, burung puyuh, dan air, untuk pada akhirnya dapat mencapai tanah perjanjian dimana umat akan dipuaskan. Oleh sebab itu, kesetiaan Tuhan selalu dinyanyikan dalam ibadah Israel (lih. Mzm 136).
Tanah yang telah diberikan oleh Allah tidak boleh digunakan semena-mena dan sekehendak hati umat Israel. Allah sebagai empunya dari alam semesta ini tidak segan-segan untuk mencabut kuasa manusia atas tanah, daerah, atau bumi yang dipijak dan digarapnya. Inilah yang terjadi kepada penduduk asli dari Kanaan, karena perbuatan jahat dan penyelewengan mereka secara moral yang membuat Allah gerah. Maka, tanah tersebut diberikan kepada umat Israel, tapi Tuhan juga memperingatkan umat Israel untuk tidak berbuat fasik seperti orang Kanaan, atau mereka akan menerima kemurkaan dari Tuhan. Ancaman kehilangan tanah tersebut telah terbukti dari peristiwa pembuangan di Babel. Sehingga dari elaborasi ini jelaslah bahwa tanah sebagai pemberian, menitikberatkan kepada hubungan vertikal dan horisontal antara Allah, manusia, dan tanah (bumi), dimana sebuah hubungan segitiga yang saling berhubungan dan sifatnya komrehensif.

V. Persoalan Alternatif Tanah yang Melahirkan Godaan  
Pemberian tanah ternyata melahirkan beberapa persoalan. Kemampuan umat Israel dalam menjaga tanah sebagai pemberian Allah adalah sebuah hakikat yang tidak dapat diabaikan atau dilupakan oleh umat Israel. Namun disinilah permasalahannya, berkat yang melimpah dari tanah yang makmur dapat membawa manusia kepada kesombongan, tinggi hati, dan lupa akan Tuhan. Kitab Ul 8:11-20 telah memperingatkan akan hal tersebut. Kenyataan sejarah Israel dalam PL memperlihatkan, umat Israel sering mengalami hal ini dengan berpaling kepada penyembahan-penyembahan berhala. Pentinglah bagi bangsa Israel untuk terus beribadah kepada Tuhan, karena latar belakang historis serta pengalaman sejarah Israel yang telah menerima perjanjian serta penyertaan Allah.

V. Tanah: Sesuatu yang Dipelihara
Tanah yang diberikan Allah membawa kepada tanggung jawab umat dalam memeliharanya. Injil Luk 12:48 menyebutkan bahwa, siapa yang tidak melakukan kehendak Allah akan memperoleh hukuman yang setimpal. Taurat telah mengatur mengenai relasi vertikal-horisontal umat Israel. Hubungan antara Taurat dan tanah memang sangat terpusat, pengaturannya, bahkan cenderung cukup keras dalam aturan yang legal dan mengikat. Allah sebagai yang transenden telah menghadirkan karunianya dalam kehidupan umat Israel. Tanah sebagai buktinya. Oleh karena itu, tanah sebagai sesuatu yang dipelihara juga disebutkan dalam perayaan sabat. Tanah yang menjadi sumber kehidupan umat Israel membawa kepada konstruksi untuk saling menopang satu sama lain dalam hubungan interpersonal umat.  

VI. Tanah sebagai Ancaman
Pemberian tanah kepada bangsa Israel juga tidak terlepas dari ancaman. Hal ini telah terjadi sejak awal tanah itu diberikan kepada umat Israel. Sejarah Israel, telah mencatat bagaimana umat Israel setelah mendiami tanah Kanaan mendapat ancaman dari bangsa-bangsa sekitar yang ingin juga menduduki tanah tersebut. Ancaman itu tidak hanya dikarenakan oleh ‘gangguan dari luar’ tetapi juga dikarenakan ‘gangguan dari dalam’. Maksudnya ‘gangguan dari luar’ adalah ancaman dari bangsa-bangsa sekitar Isarel, yang ingin menduduki tanah Kanaan, sedangkan ‘gangguan dari dalam’ adalah karena eksistensi iman Israel sendiri yang sering melupakan Allah. Maka, janganlah kaget jika begitu banyak pergolakan yang terjadi di tempat yang kemudian pada jaman modern disebut sebagai Palestina tersebut. Keadaan ini pula yang kemudian mendorong suasana politis pada masa dunia modern.

VII. Tanah yang dijanjikan kepada Israel dalam Konteks Dunia Modern  
Tanah Kanaan yang dalam konteks dunia modern dikenal sebagai tanah Palestina, memang melahirkan problematik. Yang menarik, berkembangnya problematik ini diakibatkan oleh pemahaman religius yang dipolitisir. Tanah yang dianggap suci, kudus dan diklaim sebagai hak tunggal bangsa Israel, ingin dikuasai dan diduduki kembali. Maka, berdirinya negara Israel modern pada tahun 1948 mendorong untuk mencapai tujuan itu dan memurnikan tanah itu dari ras-ras di luar Yahudi. 
Sebenarnya ada perubahan pemahaman antara dunia Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) mengenai tanah. PL identik menggambarkan tanah sebagai sebuah teritorial, sedangkan PB menggantinya dengan keberadaan Yesus Kristus. Latar belakangnya sebenarnya sangat beralasan, karena layaknya tanah sebagai sumber kehidupan yang memberikan kelimpahan dalam hidup, kehadiran Yesus Kristus ke tengah dunia juga diyakini pula membawa kepada kelimpahan. Ia menjadi sumber kehidupan yang seutuhnya. Tanah merupakan anugerah bagi umat Israel, demikian pula dengan Yesus Kristus yang merupakan anugerah yang memberikan keselamatan kepada umat manusia secara universal.
Nampak jelas yang berbeda disini adalah sebuah pemahaman yang lebih inklusif dari dunia PB yang tidak menitikberatkan tanah Israel secara teritorial, tetapi makna tanah yang mendalam dan lebih luas yakni, janji keselamatan lewat Yesus Kristus.  
Oleh karena itu semangat yang tumbuh di sekitar umat Israel Modern, yang melegitimasikan nubuat PL dalam mencapai cita-cita dan pemenuhan akan janji Allah adalah sebuah interpretasi yang keliru. Kerinduan umat Israel untuk kembali pulang ke tanah yang dijanjikan dengan melegalkan segala cara bahkan kekerasan jelas melanggar Taurat. Ini sama sekali tidak dikehendaki oleh Allah, karena ada pengabaian akan terciptanya hubungan horisontal yang harmonis.

VIII. Tanggapan Kritis Penulis
Tanah yang telah dijanjikan Allah kepada umat Israel memiliki dua dimensi, yaitu dimensi iman dan dimensi fisik. Bertolak dari PL, maka tanah adalah sesuatu yang sifatnya kudus karena itu adalah hasil pemberian dari Allah kepada umat pilihan yang dikasihi oleh-Nya. Tanah menjadi anugerah sekaligus sumber kehidupan bagi umat yang mendiaminya. Umat Israel yang telah menerima anugerah tersebut memiki tanggung jawab untuk senantiasa memelihara tanah tersebut dan membangun hubungan yang harmonis terhadap Allah dan sesama.
Pemahaman ini kemudian berubah dan mengalami perkembangan pada masa dunia PB, dimana kehadiran Yesus Kristus ke tengah-tengah dunia merupakan analogi dari tanah dalam Perjanjian Lama. Yesus Kristus menjadi implementasi dari anugerah Allah kepada umat manusia secara menyeluruh. Tanah tidak lagi teritotial sifatnya, sejarah PL baiknya menjadi sebuah peristiwa untuk mengenang mengenai penyertaan Allah kepada manusia sejak dahulu kala. Interpretasi yang subjektif hanya akan menyebabkan penyelewengan pemahaman. Ini yang terjadi di dunia modern yang menyebabkan konflik Timur Tengah, karena prapaham akan tanah yang dianggap kudus dan suci tersebut.

No comments:

Post a Comment