GKI Harapan Jaya

Sunday, February 15, 2009

“Teroris atau Hero?”: Studi Tentang Gerakan Zionisme Israel di Palestina dalam Perspektif Etika Kristen


by Alexander Urbinas

I. Pendahuluan
Konflik antara bangsa Arab Palestina melawan Israel sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Meski sudah terjalin perdamaian resmi antar PLO dan Israel, atau antara Israel dengan Mesir dan Yordania, tetapi perdamaian tuntas tampaknya masih jauh dari harapan. Baik di pihak Yahudi maupun Arab, unsur-unsur yang menentang terwujudnya perdamaian antara kedua belah pihak masih cukup kuat.  
Yitzak Rabin, Perdana Menteri Israel, tewas di tangan Yigal Amir, sebaliknya tokoh Hamas semacam Yeshiya Ayash maupun Dr Fathi Shaki dari Jihad Islam juga masih menjadi korban keganasan Mossad. Semua peristiwa ini jelas semakin mempertajam pertentangan antara kedua bangsa yang dalam beberapa tahun terkhir ini bermusuhan. 
Sejarah mencatat bahwa, pada awalnya hubungan antara Israel dan Palestina sebenarnya berlangsung dengan baik. Namun, semua ini berubah ketika berlangsungnya penjarahan tanah bangsa Palestina oleh kaum Zionis (Israel). Gerakan Zionisme internasional yang diprakarsai oleh Theodore Herzl lewat Kongres Basle pada 1892 merupakan awal bencana dalam hubungan antara Arab dan Yahudi, Zionisme merupakan gerakan rasialis yang mencita-citakan negara yang ‘murni’ ras Yahudi. Sejak semula ideologi ini tidak memberi ruang sama sekali bagi bangsa-bangsa lain untuk bisa hidup bersama-sama dengan damai. 
Lalu bagaimana dunia melihat realitas kontemporer tersebut? Terjadi dikotomi disini. Ada kelompok yang mendukung gerakan Zionis Israel, namun tidak sedikit pula yang mengutuk gerakan tersebut. Latar belakangnya beragam dari agama, sosial, politik, budaya, dll. Oleh karena itu, di dalam pembahasan sajian ini penulis mencoba melihat secara objektif bagaimana sebenarnya keristenan, khususnya ditinjau dari perspektif etika, melihat gerakan Zionisme Israel di Palestina.

II. Munculnya Zionisme Israel
  Gerakan Zionisme dan berbagai macam kekejamannya telah menjadi problematik dunia. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, gerakan Zionis ini pada awalnya adalah suatu gerakan yang hanya menjadi impian seorang wartawan Theodore Herzl. Ia kemudian sukses melaksanakan programnya dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 50 tahun setelah Kongres I Zionis di Basle pada 1892. Perlu dicatat, sebelumnya ideologi Zionisme sudah muncul dan berkembang di kalangan warga Yahudi, terutama kaum Askhenazi di Eropa. Hanya saja baru di tangan Theodore Herzl, gerakan Zionisme mencapai terobosan yang sangat penting. Kunci sukses Herzl mengembangkan ideologi Zionisme karena ia menguasai benar senjata terpenting abad XX: media massa, lobi, dan public relations. Herzl sukses mengantarkan gerakan Zionisme menjadi ideologi yang semula kurang diterima di kalangan masyarakat Yahudi sndiri dan juga masyarakat internasional, menjadi suatu kekuatan yang mampu merebut Palestina dari tangan bangsa Arab.
II.1 Apa itu Zionisme?
Istilah “Zionisme” berasal dari akar kata “Zion” yang pada masa awal sejarah Yahudi menjadi sinonim dengan penyebutan untuk kota Yerusalem. Kata ini mempunyai arti khusus bagi orang Yahudi terutama sejak terjadinya penghancuran Sinagog pertama, untuk mengekspresikan kerinduan memiliki sebuah tanah air. Nathan Birnbaum dalam jurnalnya yang bernama Selbstemanzipation (1 April, 1890) mencatat bahwa, Zionisme adalah gerakan dengan tujuan kembalinya bangsa Yahudi ke Erez Israel (Palestina).  
Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia karya J.S Badudu menjelaskan bahwa, Zionisme adalah gerakan (politik, dsb) bangsa Yahudi yang ingin mendirikan negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di Palestina. 
Dengan beberapa definisi di atas, maka kita dapat menemukan bahwa apa yang dimaksud dengan gerakan Zionisme adalah sebuah cita-cita yang dimiliki oleh bangsa Yahudi untuk dapat kembali ke Palestina yang dianggap sebagai tanah leluhur mereka, dengan memurnikan tanah tersebut dari kaum non-Israel. Untuk memanifestasikannya maka, berbagai hal akan dilakukan, salah satunya adalah kontak senjata. Melihat perkembangan yang demikian, muncullah pertanyaan apakah gerakan Zionisme serupa dengan gerakan terorisme.
II.2 Samakah Zionisme dan Terorisme? 
Gerakan Zionisme yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, ikut berpengaruh terhadap kestabilitasan dunia. Semangat untuk kembali ke Palestina, ternyata tidak dapat disalurkan dengan cara damai. Ketika delegasi kedua belah pihak tidak dapat menemukan kata sepakat dalam pembicaraan damai, maka kontak senjata-lah yang berbicara. Akibatnya adalah dirugikannya masyarakat sipil baik jiwa dan materi. Ada beberapa catatan sejarah yang merekam peristiwa tersebut.
Pada Mei 1948 di bawah pimpinan David Ben Gurion, tokoh utama Zionis yang kemudian menjadi presiden Israel pertama, tentara Israel melakukan serangan ofensif terhadap Lebanon, Trans-Yordania, dan Syria. Seluruh penduduk lokal yag didominasi oleh warga keturunan Arab sebagian besar tewas, sedangkan sisanya diusir dari darah tersebut, untuk kemudian ditempati oleh bangsa Yahudi. Selang beberapa tahun kemudian, di bawah pimpinan Zvi Ankori, kelompok pasukan Zionos garis keras yang menamakan dirinya Haganah, menyerang beberapa daerah potensial di Palestina. Wartawan asing yang sedang meliput di lokasi bernama Leni Brenner dari surat kabar The Iron Wall memberi kesaksian yang mengerikan dari peristiwa serangan tersebut. Ia melihat bagaiman kekejaman tentara Haganah yang memotong keemaluan laki-laki Palestina dan merobek-robek perut tiap perempuan Palestina.  
Perlu diketahui, bahwa ternyata tidak selamanya gerakan Zionisme, yang mengatasnamakan keseluruhan bangsa Yahudi benar-benar memperhatikan kepentingan bangsa Yahudi sendiri. Apa yang menimpa kaum Yahudi Sephardim merupakan salah satu contohnya. Mereka adalah kaum Yahudi yang paling menderita akibat dari berkembangnya gerakan Zionisme internasional. Mereka akhirnya harus ikut angkat kaki dari kampung halamannya di berbagai negara Arab, seperti Marokko, Yaman, Iraq, Libya, Aljazair dan sebagainya. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga nergara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi (Yahudi yang berasal dari negara Eropa) yang menguasai elit politik dan ekonomi negara. 
Dengan melihat berbagai perilaku gerakan Zionisme Israel dapatkah kita ketegorikan sebagai gerakan terorisme? Ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa definisi dari terorisme. Istilah ‘terrorism’ pertama kali muncul dalam Revolusi Prancis yang digunakan untuk mendifinisikan kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Kamus Umum Bahasa Indonesia, menyebutkan terorisme sebagai praktek-praktek tindakan teror, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).  
Brian M. Jekins mengatakan, “terorisme adalah tindakan ancaman kekerasan yang sering diikuti oleh tuntutan yang spesifik. Kekerasan pada umumnya diarahkan kepada sasaran sipil, dengan motif politis. Pelakunya biasanya adalah anggota kelompok yang teroganisir, dan tidak sebagaimana kelompok penjahat, mereka memiliki tujuan yang dianggap mulia. Dan terakhir, tindakan itu ditujukan menghasilkan efek yang melampaui kerusakan fisik yang terjadi pada saat peristiwa.” Alex P. Schmid menyebutkan, “terorisme adalah sebuah metode yang menghasilkan ketakutan dari tindakan kekerasan, dilakukan oleh individu atau kelompok dengan alasan kriminal atau politik. Korban manusia yang langsung biasanya dipilih secara acak (target of oppurtinity) ataupun dipilih (representative of symbolic targets) dari populasi yang menjadi target, dan berfungsi sebagai penyampai pesan. Namun, tidak selamanya konsep terorisme selalu berhubungan dengan politik.” 
 Apa yang terjadi dalam konflik di Palestina, berangkat dari definisi di atas maka, gerakan Zionisme yang melupakan pratek jalan damai dapat dikategorikan sebagai gerakan terorisme. Penulis sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Brian M. Jekins, dimana kehadiran Zionisme Israel di Palestina jelas-jelas telah melahirkan ancaman kekerasan terutama bagi masyarakat sipil, motifnya pun sangat politis. Gerakan Zionisme juga telah teroganisir dengan baik dan tidak hanya sampai di situ, ada tuntutan yang dipropagandakan, yakni berdirinya negera Israel Modern. Gerakan Zionisme Israel juga melakukan justifikasi bahwa yang dilakukannya adalah sebuah tujuan yang mulia, dengan mengambil alasan biblis bahwa tanah Palestina adalah tanah warisan milik Israel hasil pemberian Allah lewat perantara nenek moyang mereka. 
Alasan inilah yang kemudian membuat gerakan Zionisme mendapat dukungan, terutama dari kalangan kristen sayap kiri yang menganggap mereka sebagai pahlawan, bahkan merupakan tentara Allah. Oleh karena itu, pada bagian yang ketiga ini kita akan melihat pandangan etika kristen terhadap isu tersebut.

III. Pandangan Etika Kristiani Terhadap Zionisme Israel 
Pada bagian ini kita akan melihat etika kristen membedah persoalan di atas. Gerakan Zionisme dalam usaha kependudukannya di Palestina menggunakan dasar Alkitab yang kemudian dipolitisir. Dasar Biblis tersebut mengingat bahwa, Palestina adalah tanah warisan dan sepenuhnya menjadi hak Israel (Kej 17:7-8, 21:10-11, dsb.), maka meskipun bangsa Israel berada dalam diaspora selama ribuan tahun, tetapi pada suatu saat akan kembali ke Palestina lagi. Sebab wilayah tersebut adalah tanah yang dijanjikan untuk Israel (Promised Land) sebagaimana yang termaktub dalam kitab Yehezkiel 11:17-20 dan Amos 8:11-13. Ramalan akan tanah perjanjian ini telah mengakar kuat di kalangan umat Kristen –khususnya fundamentalis- sedunia. Sehingga mereka selalu mendukung dan membenarkan pencaplokan tanah Palestina oleh Israel meskipun dengan cara yang paling keji. 
Robert Borrong dalam bukunya Etika Politik Kristen (2006) memperhatikan hal ini. Baginya, situasi antara Israel dan Palestina jelas mengatakan bahwa kekerasan tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat untuk mengakhiri kekerasan. Sebaliknya kekerasan akan melahirkan kekerasan baru yang tidak pernah akan berakhir. Kalau bangsa Israel menggunakan landasan biblis sebagai kiblat gerakannya jelas itu adalah interpretasi yang keliru. Agama manapun tidak pernah mendorong kepada tindak kekerasan, sebaliknya cinta damai justri menjadi tolak ukur relasi antar manusia. 
Jika kita melihat kepada landasan Alkitabiahnya maka apa yang tertulis di dalam Matius 5:9 yang mengatakan, “berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka disebut sebagai anak-anak Allah” dapat menjadi tolak ukur. Perang/kontak senjata yang dilaakukan Zionisme Israel jelas tidak mendapat tempat di dalam agama. 
Dalam tradisi Yudaisme, dikenal perang untuk keadilan (just war). Hukum Yahudi melegalkan dua bentuk perang untuk keadilan (just war) yaitu agama (religious war) dan perang biasa (optional war) untuk kepentingan sosial-politik. Melihat tindakan dari gerakan Zionisme maka ada percampuran dari keduanya. Invasi Israel ke Palestina tidak lepas dari interpretasi alkitabiah yang juga tidak lepas dari kepentingan politik.
Etika Kristen melihat situasi konflik tersebut, tentu tidak berpihak kepada salah satu pihak. Tindakan yang dilakukan oleh Israel dengan gerakan Zionisme jelas, sudah lepas dari konteks Alkitabiah yang menekankan cinta damai. Karena itu sudah menjadi hakekat dari Yudaisme dan Kristen sebagai agama yang pro-pasifis. Zionisme Israel menguduskan perbuatan mereka, untuk mencapai tuntutan yang spesifik, yakni mendirikan negara Israel Modern, serta memurnikannya dari ras non-Israel.
Tindakan yang dilakukan gerakan tersebut untuk mencapai tujuannya juga melanggar kode etik pengakuan dan penghormatan Hak Asasi Manusia. Kalau kita melihat kepada perlakuan tentara Israel selama usaha kependudukan, tidak sedikit kerugian jiwa dan materi yang berjatuhan, khususnya bagi masyarakat sipil. Bila gerakan Zionisme paham kepada pesan orisinil agamanya tentu hal ini tidak akan terjadi. Borrong mengatakan, pesan orisinil agama inilah yang seharusnya terus dikedepankan dan ditonjolkan dalam membangun relasi antar manusia dan antar bangsa, sehingga dunia kita ini benar-benar menjadi dunia pasifis, dunia cinta damai.  

IV. Penutup
Zionisme masih akan menjadi perbincangan dalam waktu-waktu yang akan datang. Meski PLO dan pemerintah Israel sudah berdamai, tetapi harapan terwujudnya perdamaian yang langgeng dan abadi tampaknya masih jauh dari harapan. Kesemuanya berakar dari pokok masalah cita-cita kaum Zionis yang merampas tanah Palestina dari bangsa Arab untuk dijadikan pemukiman khusus Yahudi. Sikap rasialis seperti inilah yang menyebabkan selalu muncul ketegangan yang berkepanjangan di Timur Tengah.
Seperti dalam penjabaran yang telah dilakukan di atas, dalam melakukan invasinya gerakan Zionisme Israel tidak segan-segan melakukan kekerasan dalam bentuk kontak senjata. Akibatnya banyak korban berjatuhan. Namun, sinilah masalahnya apakah tindakan mereka dapat dikategorikan sebagai teroris atau justru hero (pahlawan)?
Penulis lewat penjelasan dan argumen di atas mengambil posisi bahwa, gerakan Zionisme Israel dapat dikategorikan sebagai gerakan terorisme, melihat gerakannya yang terorganisir, melahirkan kekerasan fisik, mempunyai tujuan yang spesifik, dan untuk mencapai tujuan yang mulia. Ini jelas-jelas tidak dapat ditolerir, terutama jika kita kembalikan kepada sudut pandang etika Kristen.
Kristen dan Yudaisme, juga agama-agama lain, memiliki doktrin yang tidak melegalkan berbagai tindak kekerasan, karena hakikatnya yang mencintai kedamaian (pro-pasifis). Oleh, karena itu berbagai kekerasan dari gerakan Zionisme Israel bertentangan dengan nilai-nilai etika Kristen. Juga bertentangan dengan hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini dikarenakan kekeliruan interpretasi biblis yang juga sengaja dipolitisir.

No comments:

Post a Comment