GKI Harapan Jaya

Monday, September 13, 2010

Surat Pengembalaan BPMS GKI: Perihal HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi

Sehubungan dengan Penghalangan Beribadah, Penyerangan dan Penusukan

terhadap Pendeta & Sintua HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi


Saudara-saudara anggota dan simpatisan GKI yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus,

Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Minggu, 12 September 2010, telah terjadi hal yang sangat menyedihkan, yaitu penyerangan dan penusukan terhadap pendeta dan sintua Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Bekasi Timur. Peristiwa yang oleh pihak Kepolisian dan Pemerintah disebut sebagai kriminalitas biasa ini sebenarnya merupakan salah satu saja dari sekian banyak peristiwa yang memperlihatkan belum terciptanya hubungan yang harmonis antar pemeluk agama. Contoh lain dialami oleh GKI Pengadilan, Bogor, Bakal Pos Jemaat Taman Yasmin. Sehubungan dengan berbagai kejadian seperti itu, kami menyampaikan beberapa hal berikut:

1. Penyerangan dan penusukan tersebut adalah tindakan anarkis dan amoral yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai utama agama mana pun. Aksi anarkis itu juga merupakan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Maka kita perlu mendesak Kepolisian agar para pelakunya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tindakan hukum yang sama juga harus diberlakukan terhadap semua pelaku perusakan atas nama agama lainnya.
2. Serentetan penutupan tempat-tempat ibadah, dan yang terakhir aksi penyerangan terhadap pendeta, penatua, dan umat HKBP yang hendak beribadah adalah bukti semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas intoleransi agama di kalangan umat beragama dan bahkan juga di kalangan elite politik. Kita tidak perlu berupaya menutup-nutupi kenyataan bahwa aksi penyerangan ini adalah bentuk intoleransi agama yang merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan beribadah yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Intoleransi agama adalah virus patologis sosial yang menggergaji tiang-tiang penyangga kebhinekaan Indonesia. Virus patologis sosial ini berpotensi merobek-robek eksistensi bangsa ini. Lebih dari itu, intoleransi agama pertama-tama mencabik kemanusiaan mereka yang menindas, dan kemudian mereka yang ditindas. Dalam semangat cinta dan persaudaraan kita melawan virus intoleransi agama. Oleh karena itu, kami mendorong semua komponen bangsa untuk tetap kokoh melawan intoleransi agama dengan cara-cara damai dan bermartabat!
3. Negara, terutama pemerintah –termasuk Pemerintah Daerah– berkewajiban menjaga, memelihara, dan menjalankan roda pemerintahan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang non diskriminatif dan non sektarian. Ini berarti setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tersebut. Ini juga berarti pemerintah harus menentang dan mencegah setiap upaya dan tindakan yang diskriminatif dan sektarian, yang merongrong Pancasila dan UUD 1945.
4. Berdasarkan motto: Bhineka Tunggal Ika dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang anti-diskriminasi, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah wajib menjaga dan memelihara keanekaragaman bangsa dalam semangat kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
5. Kepolisian RI berkewajiban untuk melindungi hak setiap warga negara dalam beribadah dan menjalankan agamanya di mana pun di seluruh negeri ini.
6. Kami mendorong semua pimpinan umat beragama dan para pejuang demokrasi untuk berpadu merangkai kembali simpul-simpul kebangsaan dan kemanusiaan kita dalam semangat cinta kasih dan persaudaraan. Kami mendorong semua pimpinan umat beragama untuk bersatu melawan berbagai bentuk intoleransi agama yang bententangan dengan nilai-nilai luhur agama.
7. Kami mendorong umat Kristen di mana pun, terutama anggota dan simpatisan Gereja Kristen Indonesia, agar menyikapi kasus penyerangan ini secara dewasa dan tidak terjebak untuk melakukan generalisasi tehadap umat mana pun. Kita semua harus memiliki keyakinan bahwa kemanusiaan kita tidak akan mudah diruntuhkan oleh kebengisan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh sebagian orang.
8. Kami menyampaikan keprihatinan dan simpati sedalam-dalamnya bagi pimpinan dan umat HKBP yang menjadi korban penyerangan tersebut. Semoga yang terluka fisik segera dipulihkan dan yang terluka batin segera disembuhkan. Semoga Tuhan memberikan kekuatan kepada seluruh komponen pembela demokrasi dan seluruh umat beragama, terutama HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi, dan GKI Pengadilan, Bakal Pos Jemaat Taman Yasmin Bogor, agar mereka mampu terus berjuang menegakkan keadilan dan kemanusiaan di bumi Indonesia yang kita cintai ini, dengan cara-cara yang berkenan kepada Allah dan sesuai dengan hukum.



Akhirnya, “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan.” (Roma 12:21)





Jakarta, 13 September 2010

Surat Terbuka BPMS GKI

Yang Terhormat:

Presiden Republik Indonesia, Bapak Dr. Susilo Bambang Yudoyono


Salam Sejahtera,

Kami, pimpinan Gereja Kristen Indonesia, salah satu dari gereja-gereja Protestan di Indonesia, dengan jumlah anggota saat ini sekitar 230.000 jiwa (dewasa), yang bersekutu dalam 220 gereja lokal; sebagai bagian integral dari masyarakat, bangsa, dan negera Indonesia, dengan hormat kami ingin menyampaikan surat terbuka kami ini kepada Bapak.

Pertama-tama, perkenankan kami menyampaikan Selamat Idul Fitri 1431 H.

Seperti Bapak ketahui, beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Minggu, 12 September 2010, telah terjadi penyerangan dan penusukan terhadap pendeta dan sintua Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Bekasi Timur. Sehubungan dengan hal di atas, kami, Badan Pekerja Majelis Sinode GEREJA KRISTEN INDONESIA, menyampaikan beberapa hal berikut:

1. Penyerangan dan penusukan tersebut adalah tindakan anarkis dan amoral yang menciderai nilai kemanusiaan. Aksi anarkis itu juga merupakan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kami meminta Bapak Presiden medesak Kepolisian RI agar para pelakunya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tindakan hukum yang sama juga harus diberlakukan terhadap semua pelaku perusakan atas nama agama lainnya.
2. Penutupan tempat-tempat ibadah, dan yang terakhir aksi penyerangan terhadap pendeta, sintua, dan umat HKBP yang hendak beribadah adalah bukti semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas intoleransi agama di kalangan umat beragama dan bahkan juga di kalangan elite politik. Aksi penyerangan adalah bentuk intoleransi agama yang merupakan pelanggaran serius terhadap kebebasan beribadah yang dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Intoleransi agama adalah virus patologis sosial yang menggergaji tiang-tiang penyangga kebhinekaan Indonesia, serta berpotensi merobek-robek eksistensi bangsa ini. Lebih dari itu, intoleransi agama akan mencabik kemanusiaan mereka yang menindas, dan kemudian mereka yang ditindas. Dalam semangat cinta dan persaudaraan kita semua menghadapi virus intoleransi agama. Oleh karena itu, kami meminta Bapak Presiden memelopori semua komponen bangsa untuk tetap kokoh melawan intoleransi agama dengan cara-cara damai dan bermartabat.
3. Negara, terutama pemerintah, berkewajiban menjaga, memelihara serta menjalankan roda pemerintahan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Ini berarti setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ini juga berarti pemerintah harus menentang dan mencegah setiap upaya dan tindakan yang merongrong Pancasila dan UUD 1945.
4. Berdasarkan motto: Bhineka Tunggal Ika dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang anti diskriminasi, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah wajib menjaga dan memelihara keanekaragaman bangsa dalam semangat kebebasan, kesetaraan dan keadilan.
5. Berharap Bapak Presiden dapat mengambil sikap yang berani dan tegas untuk menghentikan segala tindakan atau aksi yang menghalangi orang untuk menjalankan ibadahnya, karena hal itu merongrong UUD 1945 dan merupakan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia; dan memerintahkan Kepala Kepolisian RI untuk melindungi hak setiap warga negara dalam beribadah dan menjalankan agamanya di mana pun di seluruh negeri ini.


Demikian surat terbuka kami. Kami berdoa agar Tuhan memberikan hikmat kepada Bapak dalam memimpin bangsa yang majemuk ini.


Jakarta, 13 September 2010



Tembusan:

Disampaikan kepada yang terhormat:

1. Pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
2. Pimpinan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
3. Pimpinan Persekutuan Injili Indonesia (PII)
4. Pimpinan Persekutuan Gereja-gereja Pantekosta Indonesia (PGPI)
5. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
6. Pimpinan Pusat Muhammadiyah
7. Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
8. General Secretary of the World Council of Churches (WCC), Geneva, Swiss
9. General Secretary of the World Communion of Reformed Churches (WCRC), Geneva, Swiss
10. General Secretary of the Christian Conference of Asia (CCA), Chiangmai, Thailand

Monday, August 16, 2010

SURAT PENGEMBALAAN BADAN PEKERJA MAJELIS SINODE GEREJA KRISTEN INDONESIA “TOLAK AKSI PEMBAKARAN AL’QURAN!”

Saudara-saudara anggota dan simpatisan GKI yang dikasihi Kristus,
Beberapa hari belakangan ini, komunitas agama-agama di dunia, termasuk di Indonesia dan kita semua, sangat terusik dengan provokasi dari kelompok yang dinamakan dirinya DOVE WORLD OUTREACH CENTER, yang berkantor di Florida Amerika Serikat. Kelompok yang mengklaim dirinya sebagai kelompok Kristen non-denominasional itu berada dibawah pimpinan Pdt. Dr. Terry Jones dan Pdt. Sylvia Jones. Melalui berbagai cara mereka mengkampanyekan pembakaran Al’quran, Kitab suci agama Islam, pada peringatan 9 tahun Tragedi WTC (9/11) pada tanggal 11 September 2010.
Untuk merespons kepada kampanye dan aksi provokatif tersebut, kami ingin menyatakan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kita sebagai GKI menolak dengan keras rencana aksi pembakaran Al’quran di Amerika Serikat oleh DOVE WORLD OUTREACH CENTER karena hali itu merupakan pelecehan terhadap Agama Islam dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang berarti juga pelanggaran terhadap deklarasi Internasional tentang Hak-hak Asasi Manusia.
2. Kami meminta agar semua pihak sebagai umat beragama di Indonesia agar sama sekali tidak terpengaruh oleh kampanye dan provokasi yang dilakukan oleh Pdt. Dr. Terry Jones dan Pdt. Sylvia Jones melalui DOVE WORLD OUTREACH CENTER itu, karena hal itu terang-terangan merupakan tindakan yang anti-Kristiani, Anarkis dan tidak beradab.
3. Kami menghimbau agar kita sebagai bagian dari umat Kristen di Indonesia menjada dan mengembangkan terus kehidupan antar-umat beragama yang harmonis dan saling menghargai, khususnya ketika saudara-saudara kita umat Islam memasuki dan menjalani Ibadah Puasa pada Bulan Ramadhan ini.
4. Kita bersama-sama menyerukan dan mendoakan agar Pemerintahan Republik Indonesia terus melakukan tugas menfasilitasi kehidupan dan kebebasan beragama di Indonesia dengan lebih baik lagi.


Akhirnya, marilah kita semua terus saling mendoakan. Kiranya kasih karunia dari Allah
Bapa dan Tuhan kita Yesus Kristus menyertai terus derap langkah bersama dan pelayanan kita. “ … sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang tentang Anak Allah, Kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehungga kita bukan lagi anak-anak yang diombang ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran didalam kasih kita bertumbuh didalam segala hal kea rah Dia, Kristus yang adalah kepala”. (Efesus 4 : 13-15)

“Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.” (Ibrani 12 : 14)

Wednesday, June 23, 2010

Not Without My Neighbour: Issues in Interfaith Relations (Wesley Ariarajah)

Pendahuluan: Ariarajah dalam Dialog
Wesley Ariarajah merupakan teolog dari Sri Lanka, sehiingga dalam melakukan analisis seputar dialog antar-agama, ia banyak berangkat dari pendekatan dan konteksnya sebagai seorang Sri Lanka. Sebagai seorang yang berkecimpung dalam Dewan Gereja Dunia (DGD), maka Ariarajah juga banyak berpartisipasi seputar dialog antar-agama di lingkungan DGD. Oleh karena itu penting untuk mengetahui lima fase dialog yang disebutkannya sebeleum melangkah pada isu-isu dalam relasi antar iman.
Lima fase, lapisan, atau dimensi itu adalah: Fase pertama lebih banyak berbicara tentang konsep dialog itu sendiri. Karena hal ini menyangkut masalah hakikat hubungan dengan sesama yang beragama lain, maka terjadi perdebatan panjang tentang apa itu dialog dan bukan dialog. Perdebatan itu memunculkan beberapa pertanyaan tentang iman kita sendiri beserta formulasinya. Apa arti “misi” dalam hubungan yang baru ini?, sehingga dalam fase kedua ini kita diajak meninjau kembali iman kita sendiri untuk mencari dasar-dasar hubungan baru itu sekaligus menegaskan kembali iman kita.
Fase ketiga adalah hubungan-hubungan institusi yang baru. DGD melalui program dialognya mencoba memungkinkan pertemuan baru dengan dunia Yahudi, Islam, Budha, dan berbagai mitra dalam agama lainnya, untuk kebebasan agama dan partisipasi aktif dalam berbagai peristiwa antar-agama internasional. Selain itu, hal ini juga merupakan usaha untuk mempromosikan dialog di tingkat lokal. Namun untuk melakukan promosi pada aras lokal, ada beberapa masalah pastoral yang perlu diperhatikan. “Apakah dibenarkan melaksanakan kebaktian antar-iman? Bagaimana caranya?” “bagaimana cara menangani pernikahan lintas agama? Apakah ini berarti kesempatan untuk berdialog seumur hidup?” dan masih banyak lainnya. Masalah-masalah ini memang sulit, namun relevan, langsung dan memerlukan perhatian, inilah fase keempat usaha berdialog. Fase terakhir adalah apa yang disebut “masa depan agama dan agama-agama dalam globalisasi”. Apa dampak dari meningkatnya “budaya” sekuler, teknologi, dan global terhadap agama dan kehidupan beragama?
Berangkat dari penjabaran kelima fase tersebut, maka di dalam paper ini akan dijelaskankan dua isu pertama yang disebutkan oleh Ariarajah dalam buku Not Without My Neighbour, yakni Dialog dan Konflik serta Dialog dan Spiritualitas.

Dialog dan Konflik: Adakah Batas-batas dalam Dialog
Ada tiga peristiwa konflik yang diangkat oleh Ariarajah dalam menggambarkan kebutuhan dialog antar-agama. Pertama di Srilanka, ketika masa kolonial banyak penduduk India yang beragama Hindu dan Islam dibawa ke pulau Fiji, dimana penduduk aslinya beragama Kristen, untuk bekerja di perkebunan tebu. Lama kemudian penduduk India menjadi hampir setengah penduduk kepulauan Fiji yang hanya sebagai pemilik tanah. Penduduk India itu semakin berkembang dan menjadi kelompok yang berpengaruh di berbagai bidang, sehingga memicu ketegangan antar etnis dan konflik. Pihak Kristen yang “mayoritas” mencoba melakukan konspirasi dengan mengganggu ketenteraman hidup umat beragama, menghalangi pembangunan rumah ibadah lain, atau menolak pengajaran agama lain di sekolah, atau membantu dan mendorong dibuatnya hukum yang mendiskriminasi agama “minoritas”.
Kedua di Nigeria, konflik yang terjadi menjadi sangat parah ketika pemerintah kolonial membentuk negara Nigeria dan mempersatukan wilayah Utara yang 90% penduduknya Islam yang hidup di bawah hukum syariat dengan wilayah Selatan yang 80% penduduknya Kristen. Yang menyedihkan adalah Nigeria seperti dua negara yang dinikahkan bukan hanya di luar kemauan mereka, melainkan juga untuk hubungan yang menguntungkan bagi kolonial, yang tidak berguna bagi keduanya. Hal ini bukan untuk memberikan catatan buruk penjajah, namun latar belakang sejarah penting untuk memahami setiap situasi khusus.
Ketiga mengenai Yerusalem, kota ini memiliki arti religius penting bagi umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Untuk itu DGD mencoba mempertemukan dan memberikan kesempatan bagi umat ketiga agama tersebut untuk saling mendengarkan tentang “pentingnya Yerusalem secara spiritual” bagi masing-masing tradisi agama. Pertemuan itu dilaksanakan dengan kerjasama antara Dewan Dialog Antar-agama Kepausan, Komisi Takhta Suci untuk Hubungan-hubungan Agama degan Yahudi, dan Federasi Gereja Lutheran se-Dunia. Hasilnya adalah pernyataan bersama yang setiap perwakilan menyatakan pandangannya dengan memakai pronominal “kami”, sehingga keberadaan setiap utusan dapat menyatakan pendapatnya tanpa mendiskreditkan pihak yang lain.
Dari ketiga peristiwa di atas –dan berbagai peristiwa di tempat lain- memang dibutuhkan sebuah dialog sebagai sarana untuk mencari titik temu, namun bukan berarti melalui dialog masalah sudah pasti dapat terselesaikan. Ariarajah mengatakan, “Dialog bukan layanan ambulans, tetapi suatu suatu program kesehatan masyarakat”. Selain itu usaha melakukan dialog atau hubungan antar-agama, seharusnya sudah dilakukan ketika daerah yang berkonflik belum mengalami konflik. Karena dialog yang dilakukan sesudah konflik, walaupun ada nilainya merupakan suatu usaha yang penuh frustrasi, karena masyarakat sudah terkotak-kotak dan tidak yakin siapa yang bisa dipercaya, sehingga solidaritas lintas umat disalahartikan sebagai penghianatan.
Setiap agama selain memberikan landasan spiritual terhadap kehidupan, juga merupakan realitas sosiologis yang telah digunakan dan diperlakukan secara kejam oleh para penguasa, seperti ketika masa kolonialisme. Untuk itu dibutuhkan analisis yang teliti dan sikap yang arif dalam melakukan dialog dalam konflik, karena konflik disebabkan pertautan antara faktor-faktor historis, etnis, suku, ras, ekonomi, dan politik
Dialog bukan sekadar usaha untuk menyelesaikan konflik yang ada, melainkan usaha untuk membangun suatu “masyarakat yang bergaul penuh kasih dan bernalar” melintasi berbagai halangan ras, etnis dan agama, umat belajar memahami perbedaan-perbedaan yang ada bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesuatu yang “wajar” dan “normal”. Dengan demikian, dialog adalah suatu usaha membantu umat untuk memahami dan menerima yang lain dalam “keberlainan” mereka. Dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada “di rumah” dengan kemajemukan, membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman dan mengusahakan agar hubungan itu dapat mempersatukan mereka saat seluruh umat terancam oleh kekuatan-kekuatan yang memisahkan dan anarkis.
Apa yang penting saat ini adalah mengetahui, mengakui dan menerima bahwa ada perbedaan dasar di mana masyarakat dibangun dan tidak ada satu pun yang telah sanggup menghasilkan masyarakat ideal. Untuk itu dibutuhkan sebuah dialog yang mencoba menciptakan suasana saling percaya, kesediaan untuk terbuka, mempertimbangkan kedudukan pihak lain, melakukan kritik terhadap diri sendiri dan kritik membangun terhadap pihak lain, mencari jalan untuk saling belajar dari yang lain dan mengakui pentingnya hidup kreatif di dalam perbedaan.
Kemudian, apakah ada batas-batas dalam dialog? Kapan dialog harus diakhiri dan langsung berhadapan muka? Dialog bukan berarti bahwa umat atau individu menghentikan usaha hukumnya untuk mencari keadilan saat hak mereka dilanggar pihak lain atau tidak boleh melakukan protes terhadap pihak yang melakukan kekerasan. Dialog juga bukan imbauan untuk menderita demi perdamaian dan kerukunan.
Dengan kata lain, jika kita benar-benar menghendaki keadilian dan perdamaian, serta yakin akan perlunya berjuang demi rekonsiliasi umat manusia, tidak ada jalan lain kecuali dialog. Akan tetapi dialog juga menghadapi tantangan. Kebanyakan kritik terhadap dialog adalah “romantisisme dialog” ketika semua hal akan terselesaikan seandainya semua pihak yang berkepentingan duduk bersama dan berdialog”.



Dialog dan Spiritualitas: Dapatkah Kita Berdoa Bersama?
Isu kedua yang diangakat oleh Ariarajah adalah mengenai doa dan spiritualitas. Sebelumnya Ariarajah berangkat dari pengalamannya di Sri Lanka mengenai hubungan antara Hindu dan Kristen. Pertanyaan yang mendasar bagi Ariarajah mengenai isu ini adalah: “Dapatkah orang Kristen berbakti dan berdoa bersama dengan tradisi iman lain?” Ada lima hal yang dapat dijadikan alasan mengenai keraguan tersebut, yakni: teologis; alkitabiah; liturgis; kultural; dan psikologis.
Alasan teologis mengenai pertanyaan mengapa seorang Kristen segan berbakti bersama seorang dari agama lain adalah karena adanya penilaian negatif terhadap berbagai tradisi agama lain sebagai usaha manusia menemukan Allah. Juga munculnya anggapan bahwa, tradisi-tradisi lain di luar kristiani tidak didasarkan atas penyataan Allah, tidak tertuju pada Allah yang sejati. Akibat dari penilaian negatif tersebut adalah banyak masalah dalam pemahaman kita tentang Allah, hakikat dan anugerah Allah. Penilaian terhadap iman semacam itu langsung meruapakan keraguan terhadap berbagai pendapat di Alkitab yang mengungkapkan tentang persekutuan universal antara Allah dan ciptaan-Nya. Berdoa bersama yang lain dianggap merupakan sebuah wujud kompromi teologis yang merusak seluruh rasional iman Kristen, pemberitaannya, dan misinya.
Alasan kedua, sebagai keberatan yang berikut adalah keberatan alkitabiah, yang paling sering diargumenkan adalah teks Kel 20:4 yang menyebutkan pelarangan kepada umat Allah untuk menyembah allah lain. Hal ini mencakup berapa konsep yang lebih mendalam seperti “perjanjian”, “pemilihan”, “umat Allah”, “penyataan”, “mediator tunggal”, “tidak ada nama lain”, dan seterusnya. Untuk memperkuatnya dipakai pula pandangan Paulus (bdk. 2 Kor 6:14-15) mengenai orang-orang percaya (Kristus) dan orang-orang tak percaya (Belial).
Alasan liturgis merupakan sebuah alasan yang paling langsung dialami ketika akan dilaksanakan peribadahan lintas agama. Bentuk ibadah dalam berbagai agama memang sangat berbeda dan tidak mudah dipahami atau diikuti oleh orang luar.
Alasan kultural mirip dengan alasan liturgis. Persoalan mendasarnya adalah dalam aspek kultural ini adalah: ada semacam sikap berdoa yang “unik” dalam setiap komunitas agama, dan itu tidaklah dapat ditiru atau pun dibagi dengan mereka yang dari luar lingkungan tersebut.
Alasan berikutnya adalah halangan psikologis ketika ingin melakukan ibadah lintas agama. Pertama, bahwa tradisi agama yang dimiliki ini sudah “ditinggalkan” (diwariskan secara turun temurun sebagai “iman yang benar”) oleh nenek moyang hasil dari pemberitaan para misionaris Kristen. Kedua, munculnya berbagai ketakutan dan kekuatiran akan berkompromi, sinkretisme dan penipisan iman Kristen. Dan ketiga adalah masalah identitas, hal yang ingin dijelaskan disini adalah bahwa walaupun setiap agama –Ariarajah mengambil contoh agama Hindu, Islam dan Kristen- berpenampilan sama dan hidup dengan gaya yang sama dalam setiap hari dalam masyarakat, namun tempat-tempat ibadah dan kehidupan ibadah mereka memberikan mereka identitas khusus sebagai individu dan komunitas.
Akan tetapi, kelima alasan yang telah disebutkan di atas mulai mengalami pergeseran seiring dengan meningkatnya hubungan antar-agama. Minat akan ini, khususnya dalam generasi Kristen muda, disebut sebagai “pencari kepuasan spiritual” (spiritual seekers) dengan melakukan berbagai ritus khas agama lain dalam rangka suplemen terhadap iman Kristen mereka. Dewan Gereja Dunia (DGD) mulai mengakomodir fenomena tersebut, salah satunya dalam sebuah pertemuan yang disponsori Kantor Hubungan Antar-agama DGD dan Dewan Dialog Antar-agama Vatikan, Thomas Thangaraj menjelaskan “lima skenario” yang terkandung dalam ungkapan “doa antar agama” yang dapat dipahami umat Kristen:
Pertama, kehadiran umat Kristen dalam ibadah agama lain sebagai satu ukuran partisipasi dalam doa antar-agama. Kehadiran dianggap sebagai sebuah keterlibatan. Kedua, pemakaian berbagai ritual, gerakan, bacaan, dan doa dari tradisi agama-agama lain. Ketiga, peran Kristen dalam sebuah kelompok multi-iman, dimana wakil Kristen mengambil waktu untuk berdoa dan diminta untuk berdoa dalam sebuah acara. Keempat, berdoa dengan memerhatikan isinya yang bersifat inklusif maupun sensitif bagi semua yang hadir. Kelima, dengan tidak menggunakan model suksesif, tetapi dengan lebih menggunakan model “doa bersama”. Usaha yang kelima ini sendiri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan memasukan berbagai unsur dari berbagai tradisi dan menyiapkan naskah atau teks yang berisi doa dan pujian yang dapat ‘diterima’ semua pihak yang ikut serta dalam ibadah itu.
Kesemua hal ini tidaklah lain berangkat dari kenyataan realitas relasi antar-agama dewasa ini. Saat berbagai umat hidup berdampaingan dan menghadapi masalah yang sama, berbagi visi yang sama tentang dunia yang adil dan damai, mereka juga harus menyatukan semua unsur spiritual mereka untuk menghadapi semuanya ini.
Namun penting untuk diketahui sebagai catatan, bahwa Ariarajah dalam mengupas isu mengenai dialog dan spiritual, menjelaskan pula akan istilah “doa” dan “ibadah”. Doa merupakan sebuah kegiatan universal yang dilakukan oleh selutuh manusia. Hal ini didorong oleh adanya misteri yang meliputi manusia akan adanya tansendensi diri. Dengan demikian, doa dalam konteks ini meruapakan sebuah kegiatan berkomunikasi dengan yang sakral, suci, Yang Lain, yang biasa disebut sebagai Allah. Oleh karena itu, jika rasa berdoa (sense of prayer) itu mati, maka manusia akan menjadi bengis dan mendatangkan kesengsaraan yang luar biasa bagi manusia lain. Hal inilah yang membedakan dengan ibadah. Ibadah lebih merupakan sebuah “ruang pribadi” dari satu agama yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Sehingga kita sebagai umat antar-agama dapat bertemu di dalam ranah “doa” bukan “ibadah”.
Dialog dalam menerapkan spiritual agama lain, kembali menjadi isu yang mencuat dalam DGD. Pada akhir tahun 1987 misalnya, dicatat beberapa alasan diterapkannya hal tersebut, diantaranya adalah: terdorong karena hidup berdampingan dengan umat beragama lain; terkesan dengan kehidupan spiritual yang begitu otentik dari umat beragama lain; tertarik karena budaya dan kedalaman praktik spiritual dari agama-agama lain. Akan hal ini DGD mengambil tiga sikap: (1) Dialog merupakan hal yang penting dalam usaha mengenal dan memahami umat agama lain. (2) Pentingnya memperdalam iman Kristen dalam perjalanan yang telah membawa ke dalam kehidupan spiritual dan ibadah dari iman agama-agama lain. (3) Karya Roh Kudus melibatkan Kristen dan umat beragama lain untuk bergumul dengan masalah-masalah dunia.
Menurut Ariarajah lebih lanjut mengenai dialog dan spritual adalah tinggal bagaimana kini kita, sebagai umat beragama menatapnya ke masa depan. Dialog seputar isu ini bagi Ariarajah –mengutip pertemuan di Kyoto- bukanlah sebuah sinkretisme (kekuatiran akan ini sempat muncul), justru sebaliknya dialog ini akan memampukan umat beragama memperdalam inti iman mereka, dan membantu mereka menemukan berbagai dimensi baru dan kehidupan spiritual.
Sehingga hal ini dapat direlevansikan dalam membicarakan tentang Injil dan kultur (kebudayaan). Bagaimanapun Injil adalah mengenai inkarnasi, maka Injil hanya dapat hidup dalam sebuah ungkapan kultur, dan pertemuan apa pun yang meruapakan tantangannya bisa terjadi hanya di dalam kultur. Dengan demikian, jika muncul sebuah pertanyaan, “Apakah kita ddapat berdoa bersama?”, maka kita dapat bergumul untuk mencari jawabannya. Ariarajah mengutip pertemuan di Bose yang membicarakan ibadah anatar agama bahwa: saat kita mempelajari bersama lebih mendalam lagi masalah doa antar-agama, kita akan mengalaminya sebagai sebuah perjalanan, menyadari bahwa doa itu sendiri terbuka tak terbatas, suatu tanda yang menunjukan kepada misteri Allah.

Catatan Kecil
Umat dari berbagai tradisi agama haruslah semakain sadar bahwa untuk memahami dan mengayati kehidupan iman mereka dalam dunia sekarang ni, mereka harus berdialog dengan para penganut agama lain maupun dengan mereka yang mengalami “penderitaan” di bumi ini. Karena seperti yang disebutkan oleh Knitter dalam bukunya yang berjudul One Earth Many Religions (NY, 1995, 20) dialog haruslah bertanggung jawab secara global dengan berangkat dari memerhatikan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan (eco-human well-being) bahwa semua pertemuan antar-agama tidak lengkap, bahkan cenderung berbahaya jika tidak memerhatikan masalah keprihatinan terhadapa penderitaan manusia dan lingkungan di seluruh bumi.
Dua isu yang dianggkat oleh Ariarajah di atas adalah berangkat dari pertanyaan bagaimana dialog yang otentik dapat terlaksana. Bertitik tolak dari teologi Kristen, maka dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita dan dunia ini. Dialog dalam isu konflik dan spiritualitas, merupakan sebuah fenomena dialog antar-agama yang bertanggung jawab secara global berangkat dari kebutuhan suatu pengalaman.

Shokie Choe: Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan

I. Sekilas Mengenai Shoki Choe
Dr. Shoki Choe adalah teolog Taiwan dan perintis pengembangan pendidikan teologi Protestan di Asia Timur. Berbagai refleksi tentang apa yang kini menjadi terkenal yaitu, “Rumusan Pernyataan tentang Kebijakan Pola Kerja” bagi implementasi Mandat Ketiga komisi Dana Pendidikan Teologi. Ialah yang berperan membantu menyusun rumusan itu pada tahun 1972. Ia menunjukkjan bagaimana tekanan bergeser dari “pempribumian” ke “kontekstualisasi”. Pempribumian cenderung berkiblat ke masa lampau, karena menitik beratkan soal hubungan Injil dengan budaya tradisional. Pada sisi lain kontekstualisasi berkiblat ke masa depan, karena memperhatikan hubungan Injil dengan perubahan sosial dan situasi historis. Choe mengetahui akan resiko pada upaya tersebut, baginya ‘Tidak ada teologi yang tanpa warna tertentu’.

II. Maksud dan Tujuan Pendidikan Teologi
Pendidikan teologi menurut Choe, selalu terjadi sebagai interaksi antara teks dan konteks. Melalui interaksi ini terbentuklah juga corak pendidikannya. Dengan demikian, kita harus membedakan antara pendidikan teologi sebagai pendidikan teologi dan bentuk-bentuk yang dikenakannya melalui interaksi, sebab bentuk-bentuk interaksi adalah proses yang sinambung, bervariasi menurut waktu dan tempat. Hal ini haruslah diperhatikan baik oleh Pendidian Teologi maupun bagi hidup dan misi gereja dari masa ke masa.
Ecclesia semper Reformanda, berlaku pada waktu kurun kita ini. Kita dihadapkan dengan konteks yang secara mendasar sama sekali baru, dalamnya teks harus ditafsirkan ulang. Konteks menurut Choe ialah realitas-realitas historis setiap situasi, yang semuanya jadi sasaran perubahan. Pergumulan dengan Teks dari mana semua teks berasal serta kemana teks itu menunjuk, agar bisa setia pada Teks di tengah kancah konteks. Choe mentebut pergumulan dengan model demikian sebagai “pergumulan rangkap”, dengan melibatkan dengan apa yang disebut olehnya lagi: “kritik tekstulal cum kontekstual”. Dengan kesadaran kritis ini kita didorong ke arah pertanyaaan-pertanyaan dasariah tentang hakikat dan tujuan pendidikan teologi di dunia kontemporer dan revolusioner. Choe memaparkan maksud pendidikan teologi seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dilalui tiga jalan berikut:
1. Pembentukan kristiani
Hidup Kristus adalah bagi kepentingan sesama (bdk. Gal 2:20). Pendidikan teologi ditinjau dari pendidikan yaitu terlibat dalam pembentukan manusia disertai pula dengan keyakinan bahwa khidupan Yesus Kristus, yang hidup dan mati bagi sesama adalah pembentukan otentik manusia. Semua perkembangan manusia bergerak menuju pada satu titik yang berpusat pada dirinya sendiri, namun ia berhadapan dengan bahaya menjadi pemusatan pada diri sendiri. Bagaimana pendidikan teologi, selaku pembentukan kristiani, dapat mengembangkan pembentukan otentik manusia yang tidak memusatkan dirinya sendiri, melainkan bagi kepentingan sesama? Pertanyaan yang tidak kalah pentingnya menurut Choe bagi Dunia Ketiga ialah: Siapa gerangan sesama itu? Bukankah mereka adalah yang miskin dan tertindas?
2. Pembentukan teologis
Pendidikna teologi bukan semata-mata mempersiapkan mahasiswa dengan pengetahuan belaka. Ia harus juga mengembangkan daya nalar, bahwa nalar Kristus bekerja melalui mereka (bdk. Flp 2:5). Penalaranynya melibatkan praksis, bahkan praksis yang luar biasa, yaitu pengosongan diri sendiri, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri sendiri dan menjadi taat sampai mati. Daya nalar demikian hanya bisa terjadi lewat pertobatan (metanoia) yang terus-menerus.
3. Pembentukan pendeta
Pelayanan hakiki dari Kristus yang dipercayakan kepada gereja adalah melalui aneka ragam karunia (charismata). Pendidikan teologi adalah aktualisasi kharisma-kharisma tersebut demi pengabdian kepada satu pelayanan hakiki Kristus itu, di dalam dan bagi dunia. Peranan dari jabatan yang dikhusukan ialah untuk dapat dengan tajam memilah-milah kharisma, serta memampukannya untuk dipakai dalam pelayanan bersama secara terpadu bagi Missio Dei, dalam konteks historisnya yang konkrit.

III. Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Reformasi Pendidikan Teologi
Pempribumian dan kontekstualisasi
Dalam sejarah pelaksanaan ketiga Mandat dalam pendidikan teologi tadi terjadi proses pempribumian. Pempribumian adalah keharusan misi manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke lahan budaya yang lain, dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar di lahan yang baru. Lalu, mengapa kita lebih menyukai istilah kontekstualisasi daripada pempribumian?
Karena pempribumian berasal dari metafora alam yaitu yang mengakar di tanah. Sehingga kata ini menimbulkan kesan menanggapi Injil menurut budaya tradisional. Bahayanya, istilah ini berkiblat ke masa lampau. Dan kata ini seolah-olah hanya berlaku untuk Asia dan Afrika saja, sehingga untuk Amerika tidak dilakukan upaya analisa kritis.
Oleh karena itu faktor yang paling penting, setelah perang terakhir adalah perubahan radikal, bukan budaya yang statis.
Dr. Kosuke Koyama, misionaris yang lama bekerja di Thailand dan kini Direktur Asosiasi Sekolah-sekolah Asia Tenggara mengungkapkan teorinya mengenai dua Thailand. Thailand Pertama yaitu sesuatu yang serba tidak berubah dan Thailand Kedua yaitu situasi yang mengalami perubahan sosial serba cepat.
Oleh karena itu digunakan kata kontekstualisasi yang mengandung kata pembribumian tetapi juga mengandung makna yang lebih dinamis, terbuka terhadap perubahan dan berkiblat pada masa depan.

Kontektualitas dan kontekstualisasi
Kita yang berada di Dunia Ketiga yang tengah dihadapkan dengan realitas historis baru, di mana konteks-konteks, lama dan baru, saling bertemu. Dan tentunya kita tidak dapat memandang secara merata semua konteks, karena tidak semua konteks strategis bagi Missio Dei dalam melaksankan tujuannya melalui sejarah. Tetapi dengan menganggap konteks itu penting, maka dalam pendidikan teologi diperlukan interdisipliner.
Moltmann pada pertemuan Dana Pendidikan Teologi tahun 1971 mengatakan bahwa ada bahaya dalam teologi akademis yang menjadi begitu terkontekstualisasi sehingga menjadi serba kolot, tetapi titik ekstrim lainnya adalah manakala teologi kontekstual menjadi teologi bunglon. Oleh karena itu kontekstualitas adalah penilaian kritis atas apa yang membuat konteks sungguh-sungguh bermakna di dalam terang Missio Dei. Penyadaran yang demikian itu hanya dapat terjadi melalui keterlibatan dan partisipasi, yang dapat memunculkan kesadaran kritis dan dapat menimbulkan juga kemampuan untuk memberi tanggapan dan kontekstualisasi. Kontekstualitas yang otentik mengarah ke kontekstualisasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Dialektika antara kontektualitas dan kontekstualisasi demikian itu menunjukkan cara berteologi yang baru. Tidak hanya mencakup kata-kata saja tetapi juga aksi. Sehingga Refleksi teologis otentik bukan saja bersifat theologia ini loco, memilah-milah kontektualitas di dalam konteks yang kongkret. Tetapi juga harus bersifat theologia viatorum, kontekstulitas selalu harus dilengkapi oleh kontektualisasi yang adalah proses yang bersinambung dan memadai Sehingga, rumusan pernyataan Kebijakan Program Kerja harus mengandung makna mengkontekstualisasikan teologi.

MIKIR DUA SAMPAI TIGA KALI DULU DONG UNTUK MEMBERI PERSEMBAHAN!!

Persembahan adalah salah satu kata yang kurang disukai oleh orang-orang pelit. Apalagi memikirkan untuk memberi gratis kepada orang lain. Di dunia ini ‘kan tidak ada lagi yang gratisan! Coba tengok untuk buang air kecil aja musti bayar, masakan mau terima sesuatu dengan gratisan tanpa bersusah payah?! Mungkin begitu yang menjadi pemikiran hampir setiap orang dalam memberi. Contohnya, berat rasanya bagi kita untuk memberi sekeping atau dua keping recehan untuk pengemis atau pengamen, kalaupun kita ngasih motivasinya supaya itu pengemis atau pengamen cepat pergi dan ‘gak dekat-dekat kita lagi. Lalu apakah perspektif dan pemahaman kita sama dalam memberikan persembahan ke gereja? Cepat-cepat cari recehan agar itu kantong persembahan cepat-cepat “pergi” dari kita. Kalau memberikan dengan jumlah yang agak besar sulit sekali...kuatir! ‘Ntar untuk makan gimana? Berkurang jatahnya...Untuk uang sekolah anak gimana? Susah lagi dapatnya...Buat keperluan rumah tangga? Buat ini dan itu? Buat disini dan disana? Wah...Tuhan juga ngerti ‘kok! Begitu pembelaan kita.
Kolom Bina kali ini ingin mengajak kita untuk “MIKIR DUA SAMPAI TIGA KALI DULU DONG UNTUK MEMBERI PERSEMBAHAN!!” Berarti setuju untuk memberi recehan?!! Mari kita membaca dulu untuk sampai pada kesimpulan akhir.
Sebenarnya, bagaimana kita bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi di dalam persembahan sejak dari Penciptaan sampai kepada Kekekalan?
Penciptaan
“Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu.” (Kej 4:4)

Meskipun kejadian ini terjadi sesudah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, tetapi apa yang dilakukan oleh Habel merupakan contoh yang diinginkan oleh Allah bagaimana persembahan yang seharusnya sejak Penciptaan. Habel mempersembahkan kepada Allah yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya dan yang dipersembahkan adalah lemak-lemaknya. Kalau dibandingkan dengan Imamat 1:2-3 dan apa yang terjadi di dalam Perjanjian Baru, bisa disimpulkan bahwa Habel mempersembahkan persembahan yang berpusat kepada Kristus. Karena apa yang dipersembahkan oleh Habel adalah bayang-bayang dari pengorbanan Kristus, yang sulung dan tidak bercacat cela. Dari persembahan Habel kita bisa mempelajari bahwa persembahan bukan hanya sekedar persembahan, melainkan merupakan suatu pemberian yang terbaik dan berpusat kepada Kristus.
Apa yang berbeda dalam persembahan ketika manusia hidup dalam dosa?


Kejatuhan
“Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.” (Kej 4:3,5)

Di dalam keberdosaannya, persembahan dari Kain mewakili persembahan dari manusia yang jatuh dalam dosa. Sepertinya persembahan Kain juga seharusnya sudah sangat pantas. Ia adalah seorang petani, dan ia mempersembahkan dari hasil yang dikerjakannya. Masalahnya, Alkitab tidak menunjukkan bahwa Kain mempersembahkan yang terbaik. Selain itu, Kain tidak memikirkan apa yang menjadi keinginan dan kehendak Allah. Kain hanya mempersembahkan menurut keinginannya sendiri. Jika Kain memikirkan apa yang dikehendaki oleh Allah, maka sesudah Allah tidak mengindahkan persembahannya, seharusnya Kain menukar hasil pertaniaannya dengan anak sulung lain yang terbaik dari domba yang dimiliki oleh Habel. Pasti Habel akan memberikannya. Ternyata, Kain tidak memikirkan apa yang baik bagi Allah, ia malahan hanya memikirkan dirinya sendiri dan respon apa yang seharusnya ia terima dari persembahannya. Itu sebabnya Kain tidak mengubah persembahannya, melainkan membunuh Habel.
Persembahan Kain mewakili persembahan orang-orang yang berdosa. Tetap melakukan persembahan, tetapi persembahan itu bukanlah yang terbaik dan hanya berpusat kepada dirinya sendiri. Selama ada keuntungan bagi diri sendiri di dalam memberikan persembahan, maka persembahan akan terus diberikan.
Karena itu, Allah harus mengajar dan melatih umatNya di dalam memberikan persembahan. Di dalam Perjanjian Lama kita bisa melihat proses pelatihannya. Umat-Nya dilatih untuk mempersembahkan yang terbaik, tidak bercela dan berpusat kepada Kristus. Salah satu penekanan di dalam konteks hidup orang Israel adalah persepuluhan.
Bagaimana dengan Perjanjian Baru, adakah yang berbeda di dalam persembahan?

Penebusan
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rom 12:1)

Perjanjian Baru ternyata membicarakan persembahan dengan cara yang berbeda. Bukan lagi hanya menekankan kepada persepuluhan. Persembahan yang kudus, yang berpusat kepada Allah tetaplah sama, tetapi sekarang bukan lagi hanya sepersepuluh, melainkan seluruhnya. Mempersembahkan tubuh mewakili persembahan hidup secara keseluruhan. Tuhan Yesus memuji persembahan seorang janda miskin yang memberikan semua nafkahnya (Mar 12:43-44), sekalipun Ia juga menganjurkan memberikan persembahan seperti yang diajarkan oleh Musa (Mat 8:4). Begitu juga dengan kehidupan dari jemaat mula-mula di dalam Kis 2 dan 4, yang tidak memperhitungkan berapa persen lagi yang harus dipersembahkan, tetapi selalu saja ada yang menjual tanah atau rumah untuk mencukupkan hidup jemaat mula-mula yang berasal dari luar Yerusalem.
Perbedaannya terjadi, karena kedatangan Kristus ke dunia. Bapa sudah mempersembahkan Anak-Nya yang tunggal, yang tidak bercacat-cela untuk menebus hidup umat-Nya. Maka, umat-Nya yang sudah diselamatkan menyadari bahwa seluruh hidup dan miliknya, bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik Bapa. Itu sebabnya, seandainya harus mempersembahkan (bahkan sampai semuanya) untuk melakukan kehendak Allah, bukanlah menjadi suatu hal yang sulit, melainkan ada sukacita di dalam melakukannya.
Persembahan menjadi gaya hidup dari orang percaya, karena menyadari sudah terlalu banyak pemberian Allah yang berkelimpahan di dalam hidupnya, maka sudah sewajarnya ia juga memberikan persembahan yang bukan hanya sekedarnya untuk melaksanakan tugasnya, melainkan mempersembahkan yang terbaik, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah.
Adakah persembahan yang sekarang ini berhubungan dengan kekekalan?

Kekekalan/Penyempurnaan
“Dan bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya.” (Wahyu 21:24-26)

Ternyata persembahan bukan hanya dilakukan di dalam hidup yang sementara ini. Persembahan juga dilakukan sampai selama-lamanya. Selain manusia akan beribadah kepada Allah Tritunggal sampai selama-lamanya, maka menusia juga ternyata akan membawa persembahan kepada Allah di Yerusalem yang baru, dimana Allah bertahta. Yang dipersembahkan adalah kekayaan (kemuliaan) dan hormat. Segala yang agung, terbaik, terindah dari hasil usaha manusia, itulah yang dibawa ke Yerusalem baru untuk dipersembahkan.
Maka hidup yang sementara ini adalah kesempatan untuk belajar dan berlatih untuk mempersembahkan yang terbaik, terindah, teragung, apa yang dikehendaki Allah. Itu sebabnya kita perlu belajar mempersembahkan yang terbaik dan yang berpusat kepada Allah untuk kemuliaan nama-Nya.

Jadi, masih perlukah kita main hitung-hitungan atau pertimbangan sistem untung-rugi dalam memberikan persembahan ke gereja, melihat pekerjaan Allah lewat Yesus Kristus dari Penciptaan sampai Penyempurnaan bagi setiap kita umat-Nya? Ayo kita pikir!!

TEOLOGI RELASIONAL: SEBUAH PENGEMBARAAN PEMBERITAAN INJIL BERBASIS SOSIAL

Tantangan bagi teologi gereja dalam menjalankan misi kemanusiaan adalah bagaimana menampilkan sebuah teologi yang relevan di tengah-tengah pergumulan dunia saat ini, yakni pluralitas agama dan problematika dehumanisasi. Tidak dapat dihindari seringkali gereja terlalu bangga dan berpuas diri dengan karya sosial kemanusiaannya dengan pola yang masih terasa eksklusif. Kiprah misiologis yang selama ini ada cenderung dimaksudkan untuk “menjaring jiwa” dan “menobatkan” agama lain. Namun, hal itu tentu berbenturan dengan konteks pluralitas agama, sehingga perlu disusun kembali sebuah paradigma misi yang baru dengan basis antropologi teologis. Dengan adanya paradigma baru, maka akan terkuak cakrawala kita, bahwa masalah yang kita hadapi ketika menjalankan misi kemanusiaan dalam konteks pluralitas agama adalah bagaimana agar ajaran-ajaran inti kekristenan, sebagai yang partikular, dapat benar-benar difungsikan untuk menjawab tantangan kehidupan sehari-hari yang nyata.
Belajar dari cara hidup Kristus, upaya antropologi teologis (baca: antropologi Kristen) untuk merumuskan “jati diri” manusia tidak boleh dilakukan secara terisolir, bukan hanya sebuah pemahaman atas dirinya sendiri, tetapi harus dilakukan dalam dialog dengan lingkungan masyarakat (Teologi Relasional). Dalam komunikasi yang terbuka dan saling memberi respek kepada integritas seluruh umat manusia, akan lebih terjamin upaya membangun sebuah masyarakat yang memiliki basis perdamaian bagi seluruh umat manusia. Karena tuntutan Kristus adalah panggilan/undangan kepada manusia untuk mengalami kasih Allah untuk terwujudnya tanda Kerajaan Allah: keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.
A.A Yewangoe dalam buku Theologia Crusis di Asia mengatakan “tantangan bagi gereja dan teologi Kristen dalam konteks Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya pada saat ini, dicirikan oleh problematika dehumanisasi yang mencolok dan pluralitas sosio-kultural (agama dan budaya).” Dengan demikian, dalam konteks itulah gereja di Indonesia mesti menjalankan “panggilannya.” Namun, -seperti yang kita gumuli- pertanyaan yang muncul adalah model teologi apakah yang dapat dipergunakan dalam menjalankan misi kemanusiaan di Indonesia? Mempertahankan iman Kristen (pendekatan Partikularisme) atau lebih melihat kepada konteks dan menemukan dasar bersama (pendekatan Universalisme)?
Tulisan ini –dengan basis Teologi Relasional- ingin mengajak kita untuk mendamaikan kedua pendekatan: pendekatan Universalitas dan pendekatan Partikularitas, dengan “jalan ketiga”, yang menghasilkan Teologi Relasional. Sebuah bangunan teologi dialektis dalam menjalankan misi kemanusiaan. Paradigma teologis semacam ini akan menghindari sebuah teologi (baca:gereja) yang eksklusif dan tidak memiliki dimensi universal, namun juga menghindari sebuah teologi pluralisme radikal yang dapat membuat kita tidak memiliki fondasi dalam berteologi dan terjerumus dalam sikap relativis.
Gereja misioner adalah gereja yang setia terlibat menjalankan misi Allah di tengah-tengah Dunia, sehingga pendekatan teologi yang diperlukan adalah “teologi yang berdimensi kemasyarakatan.” Istilah yang dipakai dalam tulisan atas teologi yang berdimensi kemasyarakatan tersebut adalah Teologi Relasional. Melalui Teologi Relasional gereja semakin hidup tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mewujudkan Kerajaan Allah, menyalurkan kasih Kristus untuk sesama manusia dan dunia. Dengan demikian, dalam menjalankan misi kemanusiaan, gereja perlu mengalirkan kasih Kristus, karena kasih Kristus tidak boleh tidak mengalir kepada sesama, kasih Kristus tidak boleh tertahan dalam diri kita dan dalam diri gereja.
Bertolak dari Teologi Relasional, maka dalam menjalankan misi kemanusiaan gereja mesti memiliki fondasi misi kemanusiaan dari partikularitas iman Kristen yang diterapkan secara universal bagi seluruh umat manusia. Gereja tetap membangun pergaulan yang akrab dengan Allah dengan juga memiliki sikap membangun pergaulan dengan sesama untuk mewujudkannyatakan pelayanan cinta kasih. Gereja juga menumbuhkan kepekaan terhadap persoalan yang ada di tengah masyarakat Indonesia saat ini dengan semangat keterbukaan dan solider terhadap penderitaan sesama dan menyatakan kesaksian serta pelayanan kepada dunia.
Hal itu berarti gereja harus bersikap “mendahulukan orang miskin” (preferential option for the poor). Pengertian kemiskinan di sini tidak dapat disempitkan dalam perspektif ekonomi semata, namun secara holistik berarti dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik materil maupun spiritual. Leonardo Boff yang berteologi dari penderitaan masyarakat di kawasan-kawasan Amerika Tengah dan Utara (Amerika Latin) mengatakan bahwa gereja dalam peran aktifnya harus menjadi agen perubahan dengan senantiasa bersama-sama orang miskin. Boff menekankan gereja perlu sungguh-sungguh menghayati hidup senasib sepenanggungan terhadap sesama manusia dengan terus menerus mengadakan perenungan-perenungan atas iman Kristen.
Sikap gereja dalam misi kemanusiaan dapat digambarkan dari dua sisi pokok. Yang pertama adalah dari hubungannya dengan Allah yang menampakkan kuasa dan belas kasih-Nya yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus (dimensi teologis). Yang kedua, dari hubungannya dengan penderitaan manusia (dimensi antropologis). Sebagai contoh, jika GKI telah memiliki TIM GKI, bukan berarti ia menjadi contoh yang sempurna bagi gereja-gereja lain di Indonesia, melainkan kita memandangnya sebagai salah satu model misi kemanusiaan gereja di Indonesia. Oleh karena demikian, gereja-gereja di Indonesia, GKI dan Tim GKI harus terus membenahi diri dan tidak puas hati.
Melalui Teologi Relasional, gereja di Indonesia akan memiliki keterlibatan sosial dengan menegaskan kembali kepedulian terhadap penderitaan sesama manusia dan menjadikannya dimensi dalam seluruh hidup dan pelayanan gereja. Gereja harus “berani” menjalankan “panggilannya,” menjadi agen perubahan dalam struktur sosial. Tidak saja dalam bentuk karitatif, tetapi berkembang pada bentuk pelayanan sosial yang transformatif. Iman mempunyai dimensi keterlibatan bersama untuk kesejahteraan hidup bersama, untuk melawan dehumanisasi dalam bentuk apa pun. Maka dapat disimpulkan, sebuah paradigma misi kemanusiaan inklusif fungsional dengan basis Teologi Relasional akan memikirkan secara serius makna pluralitas agama dan sekaligus memikirkan misi bersama agama untuk menjadikan kehidupan ini lebih manusiawi. Artinya, paradigma baru yang kiga gumuli serta diusulkan dalam tulisan ini justru ingin mengembalikan kita (gereja dan teologi gereja) dalam realitas sosial kita dengan refleksi secara mendalam pada iman Kristen, ketika melakukan pemberitaan injil Yesus Kristus di tengah-tengah dunia.

“MEMBERI SUPAYA MENDAPAT LEBIH BANYAK LAGI ATAU MEMBERI KARENA SUDAH DIBERI?” Lukas 21:1-4

Judul yang tampil dalam bentuk pertanyaan di atas menunjuk kepada praktik persembahan di dalam gereja yang dengan demikian sebetulnya mengajak kita –sebagai jemaat- untuk memaknai praktik tersebut secara mendalam. Jika saat ini kita masih berpemahaman, ”memberi persembahan supaya mendapat lagi yang lebih banyak”, maka ini berbanding terbalik dengan Teologi Persembahan yang memberi penekanan, ”memberi persembahan karena sudah diberi terlebih dahulu”. Basis ini menjadi asumsi dalam keseluruhan konsep persembahan, membuat bagaimana seharusnya kita memaknai persembahan. Dalam Kolom Bina minggu ini, kita akan merenungkan berdasarkan Lukas 21:1-4, apakah ciri khas persembahan sejati.
Pertama, persembahan sejati itu memberi tanpa alasan. Ada empat “kekeliruan tindakan” terkait dengan persembahan dan eksesnya. Pertama, banyak orang Kristen memakai kemiskinan sebagai alasan untuk tidak memberi persembahan. Kedua, ada orang miskin yang parahnya, sudah tidak memberi persembahan, masih minta sumbangan dari gereja. Ketiga, ada orang Kristen yang diberi banyak berkat (kaya) tetapi tidak mau memberi persembahan. Paling parah, keempat, orang kaya yang sudah tidak memberi persembahan masih memanipulasi gereja bagi keuntungan sendiri. Inilah keempat “kekeliruan tindakan” persembahan.
Bertolak belakang dengan ini, “si janda miskin” yang tidak disebut namanya ini, malah memberi persembahan tanpa alasan. Sudah janda, miskin lagi. Tapi masih saja memberi persembahan, bahkan persembahan yang amat besar, lebih besar dari orang-orang kaya. Si janda ini memberi persembahan ”dua peser”. ”Peser” dalam bahasa Yunani adalah ”lepton”, mata uang terkecil di antara orang Yahudi. Orang Romawi tidak mengenal dan memakai ”lepton” karena mata uang terkecil mereka adalah ”quadran” (LAI menggunakan istilah ”duit”). Satu ”quadran” sama dengan dua ”lepton”. Berapakah besarnya 1 lepton atau peser jika dikurs ke dalam Rupiah? Berdasarkan Matius 20, upah kerja satu hari adalah 1 dinar. 1 dinar sama dengan 128 lepton. Jika diasumsikan upah kerja satu hari Rp. 30.000,- maka 1 lepton sama dengan Rp. 30.000 bagi 128 yang berarti sama dengan Rp. 234,- Dibulatkan, 1 Lepton / Peser = Rp. 250,-. Berarti, si janda miskin memberi persembahan 2 Lepton, sama dengan Rp. 500,- Dengan tidak memberi persembahan saja si janda miskin sudah susah hidupnya. Ini malah memberi persembahan dan Lukas mengatakan bahwa itu adalah seluruh yang ada padanya.
Kedua, persembahan sejati bermotivasi tulus. Lukas sengaja menempatkan cerita persembahan janda miskin ini di antara cerita tentang ahli Taurat dan orang-orang di Bait Allah. Bagi ahli-ahli Taurat dalam perikop sebelumnya, mereka memanfaatkan agama bagi kemuliaan diri. LAI menggunakan istilah ”suka” tiga kali padahal dalam bahasa Yunani hanya menggunakan istilah ”philo” (cinta) satu kali. Tetapi penggunaan ini bisa dinalar karena membuktikan betapa cintanya ahli Taurat akan kemuliaan diri.
Dalam perikop sebelumnya, dikatakan ahli Taurat suka duduk di ”tempat terdepan” dalam ibadah dan ”tempat terhormat” dalam perjamuan. Kedua istilah ini menggunakan istilah Yunani yang akarnya sama dengan ”protokol”. Istilah protokol dipakai untuk menggambarkan seorang perjabat haruslah mendapatkan layanan terdahulu dan terbaik. Yang dimaksud dengan ”tempat terhormat” dalam perjamuan adalah tempat yang paling dekat dengan pintu di mana pelayan masuk dan melayaninya terlebih dahulu.
Sedangkan dalam perikop sesudah cerita tentang persembahan janda miskin ini, Lukas mencatat tentang orang-orang di Bait Allah yang mengagumi bangunan dan batu yang indah. Orang-orang ini, diduga oleh para penafsir sebagai ornag-orang Lewi / imam-imam yang melayani di Bait Allah. Mereka berstatus sebagai ”hamba Tuhan” tetapi hatinya ”hamba uang”. Memanfaatkan agama bagi kenikmatan dan kepuasan diri.
Kontras ini tajam. Agama bisa dipakai untuk kemuliaan dan kekayaan diri. Tetapi dalam tangan si janda miskin ini, agama dipakai untuk mempertontonkan pengorbanan diri. Cinta kepada manusia dan cinta kepada Allah dipraktekkan dalam agama, dan bukan cinta kepada diri. Motivasinya si janda miskin, hati yang tulus untuk Tuhan bukan untuk diri.
Ketiga, seiring dengan poin ini, kita melihat bahwa konsep persembahan sangat bergantung kepada konsep kita terhadap uang. Dengan kata lain, persembahan adalah ekspresi sikap orang Kristen terhadap uang. Tuhan Yesus mengatakan, ”di mana hartamu berada, di situ hatimu”. Artinya, di sini, konsep kepemilikan. Jikalau harta kita adalah uang, maka kita akan memakai Tuhan bagi uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan, maka kita akan memakai uang bagi Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit memberi persembahan. Orang yang mencintai Tuhan, mudah memberi persembahan. Si janda miskin ini mencintai Tuhan dan bukan mencintai uang sehingga ia memberi seluruh nafkah yang ada padanya.
Keempat, persembahan sejati itu janji iman. Sebelum memberi persembahan saja, si janda miskin sudah harus beriman untuk kebutuhan hidupnya. Mana ada orang yang dapat hidup dengan 1/128 upah harian. Sedangkan saat ini, dengan 1/3 upah harian, Rp. 9 ribu saja sudah dianggap orang dibawah garis kemiskinan. Berarti, setelah memberi persembahan itu, ia harus beriman kepada Tuhan. Sering kali, kekurangan bukan berarti alasan kita tidak memberi persembahan. Kita belajar beriman dengan memberi persembahan. Mungkin kurang tetapi kita harus memberi persembahan. Hidup kita, diserahkan ke dalam tangan Tuhan.
Kelima, persembahan sejati bukan diukur dari jumlahnya tetapi presentasinya dibandingkan dengan penghasilan. Itu sebabnya, dengan poin ini barulah kita mengerti, mengapa Tuhan Yesus mengatakan persembahan janda miskin lebih besar dari persembahan semua orang kaya, yang dalam catatan Lukas, memberi dalam jumlah besar. Jelas, jika membandingkan nominal, logika cara apapun akan mengakui bahwa persembahan Rp. 1 juta lebih besar dari Rp. 100.000. tetapi jika orang yang memberi persembahan satu juta tetapi penghasilannya 1 miliar berarti Cuma 0,1%. Sedangkan ornag yang memberi persembahan Rp. 100 ribu dari penghasilannya Rp. 300 ribu maka presentasi persembahannya adalah 33%. Berarti persembahan 100 ribu lebih besar 330 kali lipat di bandingkan yang persembahan satu juta. Di mata manusia, persembahan satu juta lebih besar 10 kali lipat dari seratus ribu tetapi dimata Tuhan, yang 100 ribu lebih besar 330 kali lipat dari yang satu juta.
Keenam, persembahan sejati bukan saja diukur dari persembahan memberinya tetapi persembahan sisanya. Tidak berarti kita harus memberi persembahan seratus persen karena hal itu tidak realistis. Tetapi, yang dimaksudkan adalah dengan memberi persembahan, kita jangan sombong seolah-olah persembahan kita besar. Kita tahu bahwa kita memberi terlalu sedikit. Pada waktu si janda miskin memberi, ia memberi seluruh nafkahnya, yakni seluruh yang ada padanya kepada Tuhan.
Ia memberi persembahan bukan supaya mendapat lebih banyak lagi, melainkan memberi persembahan karena mengucap syukur karena telah diberi anugerah oleh Tuhan. Sudahkah atau maukah kita sebagai jemaat berlaku demikian? Kembali diajak belajar kepada “si janda miskin?

Thursday, March 11, 2010

Sun Go Kong Bertanya Kristenkah Saya?: Menelusur Kontruksi Iman yang Pluralis dalam Menerima “Yang Lain”


Bukan karena genit, centil, atau latah ketika tulisan ini hendak berangkat dari hikayat negeri Tiongkok –mengingat tahun baru Imlek yang akan disambut 1 minggu lagi-. Namun, lebih dikarenakan kerinduan untuk menelusur kontruksi iman Kristen sesuai dengan konteks saat ini. Sudah barang tentu tidak dapat disanggah, momentum terdekat yah… Tahun Baru Cina, jadi tak ada salahnya kan kalo kita belajar sedikit dari kebudayaan Tionghoa? Kita harus bersyukur ketika orang-orang keturunan di Indonesia mengalami pengakuan (recognation) status politis, sosial, dan budaya di negeri yang membesarkannya pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Akibatnya, saudara-saudara kita tersebut dapat lebih leluasa merayakan, melaksanakan, bahkan menyelenggarakan pesta-pesta budaya leluhur Jet Lee, Wong Fei Hung, dan Kho Ping Ho.

Hikayat Sun Go Kong yang Mewakili Sifat “Ke-aku-an” Manusia
Tulisan ini bukan ingin mengulas ketiga tokoh kungfu diatas, namun hendak meneropong ke sebuah hikayat negeri cina yang tersiar lama dan tetap abadi dalam bentuk novel kuno karya seorang penulis novel dan puisi terkenal pada Dinasti Ming (1368-1644) yaitu, Whu Che’ng en (1500-1582) yang berjudul “His-yu-chi” (Catatan Perjalanan ke Barat) yang menuliskan suatu kisah berdasarkan cerita perjalanan Hsuan-tsang. Kisah cerita ini kemudian menjadi terkenal dengan legenda Kera Sakti Sun Wu-khung (Sun Go Kong atau Sun Hou-zi). Legenda yang mungkin pernah kita tonton dalam film seri di televisi.
Cerita legenda "Catatan Perjalanan ke Barat" tersebut terdiri dari 100 bab yang dapat dibagi atas tiga bagian utama. Bagian pertama dari tujuh bab menceritakan kelahiran Sun Go Kong dari sebutir telur batu dan memiliki kekuatan mahasakti yang tiada tandingannya sehingga mengacaukan kayangan yang kemudian diturunkan dari kayangan dan dikurung di dalam Wu-hsing-shan (Gunung Lima Unsur Alam) sambil menunggu pembebasannya oleh seorang biksu yang akan melakukan perjalanan ke Barat mengambil kitab suci. Bagian kedua berisi lima bab yang berkaitan dengan sejarah Hsuan-tsang dan tugas utamanya dalam melakukan perjalanan ke Barat. Sedangkan bagian ketiga yang berisi 88 bab sisanya menceritakan keseluruhan perjalanan Hsuan-tsang dengan ketiga muridnya yaitu Sun Go Kong, Chu Pa-chieh, dan Sha Ho-shang
Legenda ini merupakan gambaran kisah perjalanan Hsuan-tsang dengan berbagai kesulitan dari seorang manusia yang selalu diliputi oleh berbagai keinginan dan keserakahan (diwakili oleh Chu Pa-chieh), kebodohan batin yang merupakan refleksi karakter manusia yang lemah dan selalu membutuhkan dorongan semangat (diwakili oleh Sha Ho-shang), kesombongan, keegoisan dan pikiran yang liar (diwakili oleh Sun Go Kong). Dia adalah kera nakal yang tak pernah diam. Selalu bergerak ke sana dan ke sini dengan begitu cepatnya. Kalau sudah tidak bisa dikendalikan oleh biksu Tong (Hsuan-tsang), maka akan diperingati terlebih dahulu, tapi kalau masih nakal maka akan dibacakan mantra pemberian Avalokitesvara Bodhisattva.
Sedangkan biksu Tong sendiri menggambarkan suatu kesadaran bahwa setiap tindakan akan ada akibatnya. Tidak kalah pentingnya adalah jubah yang dikenakan oleh biksu Tong, merupakan suatu simbol perlindungan kesucian dari sifat dasar manusia. Jubah ini dikisahkan banyak memberikan perlindungan kepada biksu itu dari segala gangguan siluman yang mencoba membinasakannya ataupun menggodanya. Sedangkan Pai-Ma (kuda putih) hanyalah merupakan pelengkap cerita saja dan tidak mewakili apa-apa.
Demikianlah karya sastra kuno yang berasal dari kehidupan pada jaman dahulu, memiliki makna nilai yang lebih dalam kehidupan, dan semua ini merupakan pengetahuan bersama secara umum. Dan yang membuat orang merasa takjub adalah bahwa pada jaman yang belum maju di masa itu, malah terdapat penuturan tentang "sehari di langit, setahun di bumi" dalam catatannya. Semua ini mungkin merupakan catatan karangan yang paling dini tentang pengetahuan manusia terhadap ruang dimensi lain alam semesta. Manusia dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, telah berubah semakin rumit, kesadaran dan pemikirannya sesudah lahir bagaikan kotoran yang semakin ditumpuk semakin tebal, membentuk zat-zat hitam yang semakin lama semakin keras. Naluri dan watak pembawaan manusia yang polos dan baik, telah dibelenggu. Akibatnya, manusia cenderung bersikap egois, emosional, dan sentimentil dengan antipati kepada “yang lain”. “Yang lain” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah siapa-siapa yang dirasa berbeda oleh kita, baik dari status sosial, budaya, bahkan agama.

Sebuah Telusur Refleksi Iman Sosio-Kultural yang Pluralis
Sesuai dengan tema minggu ini: “Melepas Masa Lalu, Hidup Secara Baru”, maka kita diajak untuk hidup baru, memiliki kacamata yang berbeda, berperspektif dan berparadigma iman yang terus dibaharui, dengan meruntuhkan arogansi layaknya Sun Go Kong, melepaskan keserakahan ala (maaf…) si babi Chu Pa-chieh atau kebodohan dari Sha Ho-shang dan lebih bersifat cerdik dalam menghadapi hidup ini.
Seringkali sebagai orang-orang Kristen, kita malah sering terbentur dan tidak mampu berdialog / menerima “yang lain”, karena memilki sifat-sifat “ke-aku-an” yang begitu kuat. Misteri Allah sesungguhnya memang telah dinyatakan lewat inkarnasi Yesus dalam Kristus, hal itu tidak dapat dihilangkan. Akan tetapi Misteri Allah tidak dapat melekat pada diri kita saja tanpa disalurkan, Misteri Allah tidaklah sederhana tetapi plural (bekerja dalam berbagai bentuk yang tidak dapat dibatasi oleh kehendak manusia). Inilah isi terdalam dan pengajaran Kristen mengenai Trinitas. Keilahian tidak hanya dapat difenisikan satu, karena Allah tidak terbatas dan tidak dapat didefinisikan. Kasih Allah sendiri tidak terbatas, secara universal menekankan kasih terhadap semua manusia, dimana manusia juga harus memanifestasikan kasihnya juga kepada sesama.
Oleh karena itu dalam konteks masyarakat pada saat ini, keunikan (sosial dan budaya) perlu ditinjau kembali. Berbicara mengenai ortodoksi (ajaran yang dinggap benar) dalam iman Kristen tidaklah terlepas dari bahasa Perjanjian Baru mengenai Yesus, salah satunya mengenai gelar yang diberikan kepada Yesus seperti Anak Allah, Penyelamat, dan Sabda Allah. Gelar-gelar tersebut tampaknya menempatkan Yesus dalam kategori superior. Akan tetapi, kini kita harus melangkah lebih lagi dari ortodoksi menuju ortopraksis (tindakan benar). Gambaran Yesus sebagai superior adalah bahasa aksi atau bahasa performatif. Kita harus mengikuti dan bertindak seperti Yesus, yang justru tampil tidak mendominasi, non-subordinatif, justru penuh kederhanaan menerima semua orang dari kelas sosial-budaya manapun. Namun seringkali kita lebih seperti Sun Go Kong dkk. yang nyatanya keluar dari keserhanaan? Sehingga, masih gagah tidak yah kalau kita ‘ngaku orang kristen tapi tak berlaku seperti pengajaran Kristus?
Sabda Allah dalam Yesus bersifat universal, tidak hanya bagi tertutup bagi diri kita saja tetapi bagi semua orang sepanjang jaman. Dengan kata lain mengenal Yesus Kristus berarti merasa bahwa orang-orang lain (dari berbagai status sosial-budaya), perlu mengenal Dia juga. Hal ini berarti bahwa mereka perlu mengakui dan menerima kebenaran yang diwahyukan-Nya (tidak berarti mereka harus dipaksakan menjadi komunitas Kristen –contoh kasus multireligius-).
Inilah yang menjadi garis besar penafsiran kembali mengenai ajaran Kristus, mengenai iman yang pluralis. Dia membawa suatu warta yang universal, menentukan, dan sangat perlu kita aplikasikan dalam konteks majemuk pada saat ini, sehingga kita tidak alergi kepada orang-orang yang ada di sekitar kita, yang secara status sosial-budaya berbeda (kita yang menganggap sebetulnya, Kristus nggak lho!).

Penutup
Kemajemukan adalah sebuah realitas kini yang tidak dapat dihindari, sehingga kita tidak mungkin menutup mata pada keberadaan yang lain. Sebagai umat Kristen kita tidak dapat lagi terjebak pada partikularitas diri kita. Partikularitas ini akhirnya menutup ke-universalitasan kasih Allah, pekerjaan-Nya dan terutama kedaulatan-Nya. Kita secara arogan pada akhirnya membatasi ketidakterbatasan Allah. Allah itu tersembunyi dan tidak dapat didefinisikan. Kesombongan manusia dalam mendefinisikan-Nya sama saja dengan mereduksi Allah sendiri.
Agar dapat mewujudkan kedamaian dalam dunia yang pluralis adalah dengan mengingat persekutuan trinitas (Allah, Kristus, dan Roh Kudus). Sebagai umat Kristen, maka kita juga dituntut untuk mewujudkan persekutuan yang trinitaris yang bersifat korelasional kepada sesama manusia. Kristus sebagai Juru Selamat satu-satunya (the one and only) tak boleh dipandang secara hurufiah, melainkan sebagai sebuah ungkapan konfesional. Untuk mewujudkan dialog-korelasional menuju pluralisme, maka kita harus beranjak dari perspektif yang teologis-dogmatis menuju suatu perspektif yang teologis-etis. Rasul Paulus dalam Efesus 3:1-13 mengatakan bahwa bukan hanya orang Yahudi yang akan diselamatkan tetapi juga non-Yahudi, jelaslah nilai ke-universalitasan ditekankan. Sebagai umat Kristen hal utama yang perlu dilakukan adalah dengan menghadirkan Kerajaan Allah di dalam dunia (Mat 6:33).
Dengan demikian, kalau dalam pengembaraan hidup, kita masih tampil penuh “ke-aku-an” seperti hikayat Tiongkok si Sun Go Kong tadi: alergi kepada orang dari status sosial lain (prinsip miskin-kaya), budaya dan suku lain, atau agama lain sekalipun, maka kita mungkin perlu lebih sering berkaca kembali kepada Kristus dengan memunculkan pertanyaan, “Kristenkah Saya?” Memang Kristus tidak pernah memaksa seperti paksaan Biksu Hsuan-tsang kepada Go Kong, yang kalau nakal dibaca mantra biar puyeng alias stop nakalnya. Kristus mengajar dan mengingatkan kita dengan kasih, kalau kita tetap “nakal” dan membakang kepada Firman Tuhan, tidak mau berubah, tidak mau lahir baru. Maka kita sebagai “Sun Go Kong” musti bertanya “Kristenkah Saya?”

MENGAPA HARUS SAULUS “SI PEMBANTAI” ITU YANG DIPAKAI TUHAN?!


Dalam setiap kesempatan Pemahaman Alkitab (PA), pertanyaan yang kerap kali muncul ketika mengelaborasi setiap peristiwa yang tercantum di dalam Alkitab adalah “mengapa...?”, “kok bisa...?”, “kok dia...?”, “kok begitu...?”. Intinya kita penasaran atas cara kerja Tuhan yang luar biasa misterius sekaligus menggetarkan (mysterium tremendum et fascinans), tidak dapat dinalar atau dilogikakan, dan kadang (bahkan sering) ‘ngga sesuai dengan kehendak, keinginan, cara pandang atau rancangan kita. Akan tetapi memang semestinya demikian, karena begitu pulalah pengalaman iman Nabi Yesaya yang mengatakan bahwa rancangan dan jalan Tuhan-lah yang akan terjadi terhadap manusia dan bukan sebaliknya (bdk. Yes 55:8).
Saulus yang Bertobat
Kisah pertobatan Saulus di dalam Kis 9:1-19, sudah tentu akrab bagi kita, yang intinya mengisahkan pertobatan Saulus, orang Yahudi dari Tarsus, Asia Kecil, yang dulunya adalah pembantai orang-orang yang mengikut ajaran Kristus. Namun kemudian, Yesus sendiri –secara langsung- kemudian bekerja atas diri Saulus dalam peristiwa perjalanan ke Damsyik, yang membawa Saulus ke dalam pertobatan, setelahnya ia lebih dikenal sebagai Rasul Paulus. Melihat kisah ini pertanyaan yang senada agaknya akan muncul, yakni: “mengapa harus Saulus “si pembantai” itu yang dipakai Tuhan? Apa ‘ngga ada orang lain yang lebih saleh dan lurus hidupnya?
Yesus Menolong Saulus dengan Cara-Nya
Dalam peristiwa perjalanan ke Damsyik nampaklah sebuah siratan konfrontasi antara Yesus dengan Saulus. Yesus menampakkan diri kepada Paulus dalan kemuliaan dan kuasa-Nya yang berdaulat. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan Saulus akan ketidakberdayaannya dihadapan Allah. Yesus kemudian membongkar kesalahan dari Saulus, dengan sebuah pertanyaan dakwaan: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” Jawaban Yesus yang mengatakan: “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” menjadi sebuah ledakan dahsyat dalam diri Saulus. Mengapa? Karena Saulus adalah orang yang taat beragama, yang menjalankan hukum Taurat dengan penuh kesungguhan (Flp 3:4-6). Saulus sadar bahwa tindakannya yang membantai orang-orang pengikut ajaran Kristus, dengan motivasi membungkam “kebohongan publik” mengenai kebangkitan Kristus adalah sebuah tindakan keliru. Berita kematian Kristus yang ditiupkan pemimpin agama ternyata keliru, karena ia sendiri telah bertemu langsung dengan Yesus yang telah bangkit.
Mengubah dan Memakai “Si Pembantai”
Yesus sudah mempunyai rencana-Nya yang indah bagi kehidupan Saulus. Yesus berkata kepada Ananias yang diutus-Nya untuk melayani Saulus, bahwa Saulus adalah “alat pilihan-Nya” untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain. Tidak main-main, Allah bahkan sudah memilih dia sejak dalam kandungan ibunya, dan mempersiapkan dia melalui berbagai kesempatan pendidikan dan pengalaman untuk mempersiapkan dia menjadi seorang pelayan yang berkualitas. Dalam rencana-Nya Tuhan bahkan membiarkan Saulus mewujudkan puncak dari kesalahan tindakannya, yaitu penganiaya yang ganas terhadap umat tebusan-Nya. Program-Nya ialah untuk “meremukkan” Saulus, membentuk dia menjadi seorang manusia baru.
Tuhan telah mengubah hidup Saulus secara total. Perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit menjadi titik balik kehidupannya. Sejak itu, Tuhan telah mengubahnya dari seorang penganiaya jemaat menjadi seorang gembala yang setia dari jemaat Tuhan; dari seorang yang memiliki keagamaan yang natural dan terperangkap dalam kepalsuan agama menjadi seorang manusia baru yang memiliki keagamaan yang penuh kesejatian dalam Kristus. Di kemudian hari kita mendapati Paulus sebagai seorang yang memiliki integritas yang murni, seorang pelayan Injil yang setia, seorang penjabar kebenaran Injil Kristus yang cemerlang, seorang misionaris Kristus yang dipakai secara luar biasa untuk memenangkan banyak orang dan wilayah penting bagi kerajaan Allah. Paulus mewariskan kepada kita eksposisi Injil dan nasihat pastoral, dan teladan kehidupan serta pelayanan yang begitu berharga. Siapa sangka “si pembantai”, “pendosa” itu yang justru dipakai Tuhan?
Permenungan
Bertolak kepada judul di atas : “Mengapa Harus Saulus “Si Pembantai” itu yang dipakai Tuhan? Kita mendapatkan jawaban dari kisah pertobatan Saulus, bahwa kedaulatan Tuhan tidak bisa kita intervensi, Dia yang memiliki hak untuk memilih, memakai, dan menggunakan seseorang sebagai alat-Nya dalam memberitakan Kerajaan Allah. Sehingga, “si pembantai” Saulus kemudian diapakai sebagai alat Tuhan yang memenangkan jiwa banyak orang. Bahkan banyak sejarawan mencatat dan mengambil kesimpulan, bahwa keristenan menjadi sangat berkembang melalui peran Rasul Paulus.
Dalam kehidupan keseharian kita di dalam keluarga, gereja, dan masyarakat, kita cenderung “berani” mengambil hak intervensi Allah, dengan menghakimi orang lain atas dasar kacamata kita. Bukankah dengan demikian kita menjadi tidak sadar atas perbedaan kualitatif kita dengan Allah? Bahkan mungkin kita menjadi lebih bergaya “sok Hakim” ketimbang Yesus “ Sang Hakim Agung” itu. Kalau demikian, tepatlah kita seperti yang dipertanyakan oleh Yesus dalam Matius 7:3 : “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”
Selayaknya kita belajar kepada cara Yesus menolong Saulus, yakni dengan sebuah tindakan pastoral yang memanusiakan manusia: menyadarkan diri Saulus dan memberikan kepercayaan dalam menjalankan tugas memberitakan Firman Allah. Kalau hal ini terjadi di dalam kehidupan kita, maka kehidupan kita akan menjadi semakin indah, dengan “berjoget”, dan “bergoyang” bersama dalam sebuah persekutuan yang rukun (Mzm 133).

Wednesday, March 10, 2010

Konstruksi Iman di Tengah Tantangan Berteologi: Sebuah Refleksi Diri Untuk Dapat Beriman di Dalam Percakapan Teologi


Pergumulan teologi bagi saya adalah bagaimana mempertemukan iman dengan percakapan ilmu teologi, atau sederhananya sebuah pertanyaan yang muncul adalah: “Bagaimana saya dapat tetap beriman?”. Di sini penulis memulainya dengan membedakan antara fides quae dan fides qua, antar yang harus dipercaya (objektif) dan yang dipercaya (subjektif). Aktifitas yang berakar di dalam keristenan yang dilakukan oleh gereja adalah sebuah pergumulan dimana di dalamnya terdapat dogmatika Kristen. Bila kita melihat di dalam sejarah dogma-dogma sebenarnya adalah hasil dari sebuah diskusi. Diskusi yang bahkan tidak jarang dimulai dengan sebuah konflik. Konflik itu tidak terdapat di luar gereja tetapi terdapat di dalam gereja. Sebagai contoh: ada konflik mengenai hakikat Kristus: apakah dia memang sama dengan Allah atau tidak. Terdapat disensus yang kemudian melahirkan diskusi di dalam gereja yang mengatakan bahwa walaupun Yesus menyatakan kehendak Allah, namun dia tidak sama dengan Allah. Ada juga yang menyatakan bahwa Yesus seharusnya sama dengan Allah.
Sebuah dogmatika, semua teologi, semua pemikiran manusia berasal dari sebuah konteks. Dengan demikian, ‘berteologi dalam konteks, ingin mengatakan teologi yang tidak berhubungan dengan konteks tidak mungkin ada. Gereja mula-mula menggunakan kata ini untuk memastikan kesimpulan sebuah rapat gereja. Sehingga, kalu kita memperhatikan sejarah kekristenan, maka kita akan didapatkan bahwa iman Kristen-lah yang mewarnai dan mengisi dogma-dogma, walaupun lambat laun berubah. Dogma-dogma diperkuat dan kemudian mendefinisikan iman Kristen. Ia menjadi ‘objek’ kepercayaan dengan ‘subjek’ kepercayaan yang dilupakan.
Akhirnya dogmatika menjadi sebuah aturan yang mengatur. Dogma seharusnya tidak harus menjadi prosuposisi yang tetap dan kaku, tidak harus menjadi klise, dan tidak harus pula menjadi ‘objek’ kepercayaan yang mengatur. Oleh karenanya ketika kita memperhadapkannya dengan percakapan ilmu teologi, kita tidak dapat mengabaikan suara-suara dari tradisi, sejarah gereja, masyarakat, agama lain, dan perjalanan waktu. Inilah yang mewujudkan subjektifitas dari kita, atau saya sebagai penulis yang berfleksi.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, ingin dikatakan bahwa titik tolak dogmatika bukanlah dogmatis, tetapi berakar di dalam teologi. Dogmatika adalah salah satu disiplin dalam ilmu teologi. Lalu bagaimana memulainya, agar kita dapat tetap beriman? Perlu diketahui bahwa proposisi-prosisi yang terdapat di dalam Alkitab (ct.: Monoteisme (atau Henoteisme ); Cerita-cerita mengenai Yesus, dll) mewujudkan sola scriptura menjadi sola fide.
Untuk dapat menjawab tantantang iman tersebut, maka kita perlu kembali kepada sebuah sumber yang ada mengenai perkataan Allah yaitu Alkitab, karena Alkitab-lah yang menjadi referensi teologi itu sendiri. Berbagai pertanyaan mengenai Allah hanya dapat dijawab dan diketahui dengan ‘kata’ Allah sendiri di dalam sebuah teks. Sehingga, cara bagaimana Allah berfungsi di dalam teks agama Kristen menciptakan perasaan mengenai Allah, dan melahirkan ‘teks baru’ (diskursus objektif-subjektif) yang sejajar dengan konteks dimana saat ini kita berada. Apa yang menjadi intisari dari pergumulan penulis adalah bagaimana Allah berfungsi serta apa yang dilakukan-Nya. Gereja berusaha menelusuri hal tersebut untuk menjelaskan kehidupan yang baik dalam Yesus Kristus.
Ketika kita ingin beriman, dogma-dogma tidak dapat menguasai untuk kita harus mengikutinya. Ketika kita ingin berbicara mengenai iman yang dijelaskan dalam aturan dogma-dogma, kita akan memperhatikan sumber-sumber lain dari budaya, sejarah dan perspektif teologis kita. Sumber-sumber lain tersebut tentu perlu ditekankan bukan juga sebagai hegemoni yang menjadi sumber utama sebagai titik berangkat dalam kita merekonstruksi iman kita.

Gereja tidak menjadi ruang kebenaran, tetapi menjadi ruang interpretasi. Ada kebebasan bertanggung jawab untuk melakukan sebuah diskusi objektif dan subjektif bagi kita dalam merekonstruksi iman kita. Dengan demikian, kita dapat tetap beriman dengan melakukan percakapan tersebut, yakni dengan melahirkan sebuah iman yang kontekstual, iman kepada Yesus Krsitus dengan tidak mengabaikan sumber-sumber lain dalam merekonstruksinya. Iman yang tidak kaku, sekaligus juga tidak ‘liar’. Justru hal inilah yang membuat penulis dapat tetap beriman walaupun mendapat tantangan dari ilmu teologi dan konteks modern saat ini.

Friday, February 26, 2010

“SEYA SEYO SIBYE!”: IMAN TRINITATIS (PERICHORETIC COMMUNION) MERUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH


Tepat minggu ini kita akan mulai memasuki rentetan minggu-minggu Pra-Paskah untuk kemudian dilanjutkan dengan perayaan Juma’at Agung dan Paskah dengan menggumuli tema: “KASIH KRISTUS MERUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH.” Tema yang diusung ini berangkat dari sebuah kerinduan terjadinya pemulihan relasi antarsesama dalam kehidupan setiap umat manusia, karena (sadar atau tidak sadar) manusia seringkali membangun tembok-tembok yang menghalangi terciptanya sebuah relasi yang ideal; baik itu relasi dengan diri sendiri, dengan Tuhan dan dengan sesama (untuk lebih jelas kita dapat membaca selengkapnya di bagian Kata Pengantar buku liturgi Klasis Bandung).
GKI Cianjur khususnya panitia Paskah akan mengejawantahkan tema besar ini dalam berbagai macam kegiatan Paskah, baik umum ataupun lewat badan pelayanan. Tentu renungan ini bukan ingin membahas dengan detil setiap rincian kegiatan di jemaat kita, namun ingin sedikit melakukan elaborasi teologis berkenaan benda-benda dekoratif yang akan bermunculan disekitar ibadah dan kegiatan Paskah. Tujuannya sudah tentu agar kita semua sebagai warga jemaat dapat paham betul: “apa sih tujuan dan makna dekorasi masa Paskah tahun ini?!” Jadi, berbagai dekorasi dan tetek bengek-nya (yang mungkin kita lihat bagus atau juga biasa saja) tidak sekadar sebagai parade keindahan, sempalan dari inti masa Paskah, atau penyedap tambahan ala masako, ajinomoto, dkknya agar kelihatan kalau GKI Cianjur tuh juga heboh dalam memasuki masa Paskah, tetapi sebetulnya memilki makna teologis yang mendalam berkenan dengan pesan Paskah dan tema yang kita gumuli.
Di halaman muka buku liturgi Klasis disebutkan tembok-tembok pemisah (8 sifat) yang kerap kali muncul sebagai penghalang dalam relasi manusia dengan diri sendiri, Tuhan dan sesama. Delapan sifat atau karakter itu adalah: kemunafikan, peninggian diri, prasangka negatif, kesombongan, ketidak-sabaran, egoisme, keraguan, egosentrisme, dan men-tuan-kan diri. Dalam dekorasi Paskah tahun ini di jemaat kita, ada sesuatu yang menarik yang muncul yakni corak-corak batik dari berbagai daerah yang mengelilingi salib. Apa maknanya ya, kombinasi batik ini dengan pesan dan tema Paskah tahun ini? Sekali lagi ini bukanlah sekadar pemanis!
Ada delapan buah batik dari berbagai daerah yang saling berhubungan, saling berdekatan, dan saling menempel satu sama lain di kitaran salib. Boleh dikatakan ini merupakan representasi dari delapan tembok pemisah yang sebelumnya telah disebutkan di atas. Dengan demikian, makna dekorasi ini sebetulnya tidaklah jauh berbeda atau boleh dikatakan sama dengan tema Paskah: “KASIH KRISTUS MERRUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH” tetapi lebih dibahasakan secara simbolik dengan gaya artistik dengan tujuan untuk meruntuhkan spirit kompartementalisasi (semangat pengkotak-kotakan dan bentuk pengelompokan yang kompetitif).
Seya seyo..sibye... adalah sebuah tarian dan nyanyian ungkapan situasi kebersamaan antara sesama suku di Papua yang saling menghormati (Maaf…ini tidak lebih dari sekadar contoh bukan untuk menunjukkan sentimen chauvinisme atau malah menjadi terjebak ke dalam kompartementalisasi. Sekali lagi…ini contoh lho!) Diversitas adalah warna khas Papua yang dimanifestasikan dalam bentuk suku dan bahasa. Setidaknya ada 400 lebih bahasa suku di Papua yang beranekaragam, tetapi dengan semangat persatuan dan “sentimen tanah ke-Papua-an”, keanekaragaman itu dapat diminimalisir dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini jugalah yang semestinya kita terapkan sebagai spirit dan gaya hidup di jemaat kita, sehingga kita dapat merefleksikan pesan Paskah dan tema-nya secara nyata dalam kehidupan iman yang holistik. Dengan memilki semangat persatuan dalam satu tubuh Kristus, kita diingatkan untuk tidak malah mencerai-beraikan tubuh-Nya, menyalibkan-Nya untuk kedua kali, dengan sibuk mengelompokan diri dan saling menjatuhkan dalam kehidupan berjemaat!!!
Oleh karena itu, permenungan ini ingin mengajak kita merefleksikan kesatuan kita (sebagai jemaat) dalam Tubuh Kristus dengan tolak reflesi teologis kepada iman Trinitatis –dalam hal ini konsep perichoretic communion-. “Perichoretic communion” artinya ketiga pribadi ilahi yang membentuk persekutuan dalam hubungan timbal balik dan kebersamaan. Dengan konsep Trinitas berarti, Allah tidak bersifat “satu arah.” Allah merupakan suatu persekutuan kasih. Di dalam Allah Trinitas tidak ada tiga kenyataan terpisah, berdasarkan eksistensialnya, yang kemudian menjalin hubungan. Kesatuan Allah merupakan kesatuan tiga pribadi yang saling memberikan kehidupan ilahi dan dalam saling memberi tersebut mereka tetap berbeda tetapi satu sepenuhnya (una substantia, tres personae).
Konsep iman Trinitatis menyatakan manusia adalah gambar Allah Tritunggal. Artinya, hidup manusia berada dalam ruang ketritunggalan. Dengan demikian, eksistensi manusia sendiri berkembang dan menjadi dinamis, tidak dalam ruang kaku dan statis. Oleh sebab itu, sebagai gambar Allah, manusia “dipanggil keluar” oleh Allah. Dalam bahasa latin istilah “dipanggil keluar” adalah pro-vocare, yang dapat diterjemahkan sebagai tantangan atau gugahan. Dari perspektif teologi itu, manusia juga menerima tantangan atau gugahan dari Allah.
Pemanggilan Allah tampak dalam sejarah manusia dengan Allah seperti yang tertuang di dalam teks Kitab Suci. Dalam perjalanan sejarah itu, Allah berulang kali memprovokasi, menantang, dan menggugah manusia, sehingga identitasnya tampak bagi dirinya dan orang lain. Upaya provokasi yang dilakukan Allah terhadap manusia tidak melulu dengan cara yang sama. Ia menampilkannya dalam bentuk kekuatan dan kelemahan, dalam hukuman dan anugerah. Melalui provokasi yang majemuk ini Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang majemuk pula.
Konsep iman Trinitatis melahirkan relasi horisontal dan vertikal dalam hidup manusia. Sebagaimana yang disebutkan di atas, Allah adalah persekutuan kasih dengan ruang kasih di dalamnya, berarti kepada manusia diberikan ruangan hidup yang serupa. Allah merupakan relasi dalam diri-Nya, karena itu manusia yang diciptakan dalam relasi dengan Allah juga diciptakan dalam relasi dengan orang lain (dimensi horisontal). Manusia selaku “makhluk teologis” merupakan “makhluk sosial” juga.
Manusia tidak diciptakan hanya supaya berbakti kepada Tuhan saja, tetapi ia juga terlibat dengan orang lain. Sebagai makhluk, manusia juga berada dalam dimensi horisontal. Dimensi horisontal itu bukan dimensi yang “non-teologis,” karena dimensi tersebut juga mencerminkan ketritunggalan Allah. Oleh karena itu, manusia perlu melihat sekekelilingnya, masuk dalam pergulatan relasional dengan mengkontekstualisasikan dirinya, mengadakan relasi secara terus-menerus dengan Allah dan sesama manusia.
Dari penjelasan di atas jelaslah, dengan bertolak dari konsep iman Trinitatis, bahwa relasi dengan sesama manusia merupakan “panggilan” bagi manusia. Sesama yang dimaksud di sini bukanlah subjek yang berada di luar, melainkan telah ada bersama-sama dengan kita. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang dipanggil untuk menanggapi kehadiran orang lain. Sehingga dapat disimpulkan, bertolak dari fondasi iman Kristen, intersubjektivitas adalah dimensi fundamental manusia dan inilah yang harus tercakup dalam corak teologi. Maka, gereja, secara umum dan jemaat GKI Cianjur, secara khusus, memiliki tantangan untuk mengaplikasikannya.
Sebab kalau kita belajar kepada Yesus Kristus, justru model dikotomi "miskin" ala kompartementalisasi itulah juga yang dilawannya. Terlepas dari problematika hermeneutis biblis, Yesus semasa hidupnya jelas-jelas melawan dan mendobrak kotak-kotak sosial-budaya di masyarakat Yahudi yang terdiri dari status sosial atau status keagamaan. Bagi Yesus, semua manusia adalah imago Dei artinya serupa dan segambar dengan Allah. Manusia sama kedudukannya di hadapan Allah. Demikian pula diantara sesama manusia. Sungguh arogan dan melangkahi Allah, jika manusia membedakan sesamanya lewat sikap pengelompokan masal dan saling menjatuhkan.
Hal ini pula yang dikatakan Paulus kepada jemaat di Galatia untuk senantiasa memiliki persatuan sebagai tubuh Kristus dengan tidak membeda-bedakan. Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu adalah satu di dalam Kristus!
Seya seyo sibye…Hai kita sekalian!!...Janganlah ada lagi pembedaan antara sesama anggota tubuh Kristus. Jangan membuat Yesus menangis dan merintih untuk kedua kalinya karena kita salibkan dengan arogansi kemanusiaan kita yang lebih merepresentasikan dunia.

AYO “SUNATAN” “MASAL” !! : Refleksi Tradisi Sunat dan Doktrin imago Dei di Tahun 2010


Membaca judul tulisan ini, mungkin kita berseloroh: “Kok judulnya aneh sekali?!” Memasuki tahun yang baru, runtutan tema dan khotbah di bulan Januari ini begitu kental mengingatkan kita untuk senantiasa mawas dan siap diri memasuki tahun 2010. Perenungan-perenungan yang diangkat sedikit menggambarkan, bahwa tahun ini dan tahun-tahun berikutnya adalah masa ketidakpastian, penuh kekuatiran, bahkan akan muncul berbagai kekerasan. Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam situasi ketidakpastian tersebut: pertama, menjadi “sprinter” yang lari dari masalah yang dihadapi; atau kedua, menjadi “orang yang tak tahu berenang” yang sibuk menyelamatkan diri sendiri. Dalam nuansa demikian, tulisan ini justru ingin mengajak kita, yang mengaku sebagai orang percaya, untuk “sunatan” “masal” di awal tahun ini! Lho kok sunatan masal?! Apa hubungannya?
Menurut Perjanjian Lama (PL), sunat pertama-tama mewujudkan tanda rohani, dan kedua mempunyai arti kebangsaan yang mencirikan keanggotaan bangsa Israel. Sunat juga merupakan tanda perjanjian yang dibuat oleh Abraham (Kej 17:10, 11, 13, 14). Sunat juga merupakan tanda kasih karunia Allah buat umat manusia yang menandai penyerahan manusia kepada Allah. Sunat (circumcision) dalam tradisi bangsa Israel kemudian menjadi sesuatu yang penting. Bahkan jika tidak melakukan sunat, maka akan mendapatkan hukuman (Kej 17:14; Kel 4:24, 26), tidak diperkenankan melakukan pernikahan campuran dengan orang yang tidak bersunat (Kej 34:14; Hak 14:3), dan tidak boleh bergaul dengan orang yang tidak bersunat (Kis 10:28; 11:3; Gal 2:112).
Lalu apakah Yesus disunat? Tentu saja Yesus disunat, karena ia hidup dalam tradisi dan kebudayaan Yahudi, sehingga Ia juga mengalami dan menjalani praktik inisiasi budaya Yahudi di dalam kehidupan-Nya. Lalu kapan peristiwa itu terjadi? Kesaksian penulis Injil Lukas (Luk 2:21-40) menyatakan, bahwa Yesus disunat ketika genap berusia delapan hari. Saat itulah juga Ia dibawa ke Yerusalem untuk diserahkan kepada Tuhan, untuk kemudian diberi nama Yesus.
Kalau kita bermain hitung-hitungan matematis menurut kalender Romanum (kalender yang kita sebut Masehi pada saat ini), maka delapan hari sesudah kelahiran Yesus (25 Desember) tepat jatuh pada tanggal 01 Januari. Atau dengan kata lain, setiap kita memasuki tahun yang baru, sebagai orang percaya sebetulnya kita merayakan penyunatan Yesus. Oleh karena itu, memasuki tahun 2010 kita kembali diingatkan untuk memaknai “sunat Kristus” itu.
Dalam Perjanjian Baru dengan tegas dinyatakan bahwa tanpa ketaatan, sunat adalah omong kosong (Rm 2:25-29). Tanda lahiriah dalam sunat akan pudar tanpa menaati perintah-perintah Tuhan (1 Kor 7:18,19), beriman (Gal 5:6) dan ciptaan baru (Gal 6:15). Justru yang diperlukan adalah “Sunat Kristus” berupa “penanggalan akan tubuh” atau sebagian dosa, suatu perbuatan rohani yang tidak dilakukan oleh tangan manusia, suatu hubungan dengan Kristus dalam kematian dan kabangkitanNya, yang dimeteraikan dalam peraturan penerimaan atas Perjanjian baru (Kol 2:11, 12). Sebagai akibatnya, orang Kristen adalah “orang yang bersunat”.
Dalam praktik kehidupan kita kini, maka sebagai “orang yang bersunat” kita kemudian memiliki tanggung jawab, tidak bisa menjadi “sprinter” atau “orang yang tak tahu berenang” tadi. Teologi Kristen harus dijalankan dan dikembangkan dalam kerangka persekutuan hidup beriman (antropologi Kristen). Teologi Kristen mempunyai fungsi dalam jemaat Kristen yang ingin menghayati dan menjadi saksi Injil Yesus Kristus dalam situasi masyarakat yang konkret, karena realitas sosial merupakan locus theologicus, dimana Allah menjumpai dan memanggil kita dalam kenyataan hidup kita sekarang ini.
Ketika kita berbicara mengenai konsep mendasar dari antropologi kristen, maka semua akan bermuara pada konsep imago Dei, yang menyatakan manusia sebagai “gambar dan rupa” Allah (Kej 1:26-27). Secara etimologis terdapat dua kata yang berbeda untuk menyatakan manusia sebagai citra (“gambar dan rupa”) Allah: selem dan demuth (Ibrani); eikon dan homoiosis (Yunani); imago dan similitudo (Latin). Kata pertama: selem, eikon, dan imago, menunjuk kepada representasi, sedangkan kata kedua: demuth, homoiosis, dan similitudo menunjuk kepada kesamaan (adanya hubungan). Doktrin imago Dei, secara eskatologi adalah sebuah konsep antropologi Kristen yang mampu menjelaskan akan jalan manusia untuk mentransformasi hidupnya secara lebih baik, membentuk persekutuan terhadap Allah dan sesama, dan senantiasa mewujudnyatakan kemuliaan Allah di atas dunia (Gloria Dei).
Oleh karena itu ada 5 hal yang ingin ditekankan dalam tulisan ini berkenaan dengan aplikasi doktrin imago Dei dalam relasi “masal” adalah:
1. Recognition (Pengakuan)
Dalam perspektif kristiani, kita tentu menyadari skandalon (batu sandungan) dari dogmatika Kristen selalu ada akan bersama kita dalam mengakui keradaan “yang lain.” Namun, Kis 10:34-35 mengatakan : “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” Dengan kata lain, kalimat ini ingin menegaskan adanya pekerjaan Allah yang tidak terbatas bagi semua orang. Oleh karena itu, gereja sebagai pengemban misi Allah di dalam dunia harus dapat mencitrakan karya Allah tersabut dalam tindakan dan perbuatan, yakni sikap terbuka, menghormati, dan mengakui keberadaan sesamanya.

2. Responsibility (Tanggung Jawab)
Melalui sikap tanggung jawab bersama, maka kita didorong untuk merasa bahwa dimensi sosial dari kepribadian manusia dipersoalkan dan ditantang, melebihi segi sosial yang menyangkut persoalan-persoalan pengelompokan masyarakat. Pada akhirnya, kita akan mempersoalkan secara serius apa yang dimaksud dengan menjadi manusia dalam kondisi saat ini. Oleh karena itu, tanggung jawab bersama yang harus dipikul dalam teologi Kristen adalah menampilkan sebuah teologi yang manusiawi.
Dalam kehidupan gereja, maka melalui tanggang jawab bersama ini, gereja memiliki tugas mewujudnyatakannya. Gereja harus dapat memainkan peran positifnya dalam membantu orang lain dan mengenal kebenaran mereka. Gereja seharusnya dapat menjadi alat yang menyuarakan jeritan sesama yang menderita.

3. Solidarity (Solidaritas)
Kita tidak dapat mengelak untuk mendengar panggilan dari sesama manusia. Sikap solidaritas yang sejati dapat kita pelajari dari Yesus Kristus, sebagai manusia yang telah membuka diri terhadap sesamanya. Dia seperti orang Samaria yang murah hati, yang tidak memandang bulu, tetapi menjadi sesama untuk yang terluka. Yesus Kristus juga mengalami tindakan sesamanya dengan menerima kekerasan dan penindasan. Dia selalu melihat dalam diri orang lain, pada orang-orang yang memanggil dan membutuhkan Dia. Dengan sikap solidaritas, kita sebagai individu maupun kolektif, ditantang untuk senantiasa memandang orang lain dengan “meminjam mata Yesus.”

4. Mutuality (Mutualitas)
Konsep mutuality direfleksikan melalui sikap hidup Yesus yang menghancurkan dinding kotak-kotak sosial. Kita telah mengetahui bahwa di dalam tradisi Yahudi terdapat pemisahan antara orang Yahudi dan orang Samaria. Yesus melampaui pengkotakan etnis tersebut, sebaliknya Ia malah mengangkat orang Samaria “yang murah hati” sebagai puncak agape. Di dalam Yoh 4:7, Yesus “berani” membuka percakapan dengan seorang perempuan Samaria yang notabene diremehkan oleh tradisi Yahudi. Hal ini berarti, rintangan-rintangan sosial antara bangsa Yahudi dan non-Yahudi hancur di hadapan Yesus. Sikap demikianlah yang hendaknya dilakukan oleh orang-orang beriman kini, dengan berani secara terus menerus membuka relasi dengan sesama.

5. Equality (Kesetaraan)
Kitab Kej 1-26-28 jelas menunjukkan kesetaraan di antara sesama manusia yang menegaskan tidakadanya perbedaan antara “laki-laki” dan “perempuan,” karena keduanya adalah sama-sama ahli waris baik atas citra ilahi maupun kekuasannya atas bumi. Tidak terdapat makna teks yang menunjukkan salah satu dari kedua seks itu lebih besar keserupaannya dengan Allah daripada yang lain, atau bahwa salah satu dari kedua seks itu lebih besar tanggung jawabnya atas bumi daripada yang lain. Dengan demikian, baik “laki-laki” maupun “perempuan” dari awalnya sama-sama merupakan bagian dari karunia Allah, sebab keduanya sama-sama diciptakan oleh Allah dan serupa dengan gambar-Nya (imago Dei).
Demikian pula Yesus Kristus, yang senantiasa menekankan kesepadanan dalam tindakan dan pengajaran-Nya. Misalnya, di dalam Luk 7:36-50, ketika Ia mengijinkan seorang pelacur mendatangi Dia dari belakang sewaktu hendak duduk makan, membasahi kaki-Nya dengan air matanya, menyeka-Nya dengan rambutnya, dan menciumi-Nya. Yesus menunjukkan kasih kepada perempuan itu, dengan mempertaruhkan diri-Nya terhadap tradisi Yahudi yang melarang pergaulan pria Yahudi dengan perempuan yang dianggap berdosa.
Artinya terdapat hubungan kesepadanan derajat manusia di hadapan Allah, karena kita telah menikmati relasi yang sama terhadap Dia, layaknya Kristus Yesus. Dengan demikian, perbedaan rasial dan sosial tidak menjadi relevan lagi. Sebab semua orang yang beriman kepada Allah, sama-sama diterima, sama-sama merupakan anak-anak Allah, tanpa pengecualian atau pendiskriminasian berdasarkan kelas ataupun kelompok sosial.

Bagi kita, tentu ini sebuah tantangan yang harus terus digumuli di tahun yang baru. Kita harus dapat menjadi pemancar terang kasih Allah, dan menjadi agen perubahan bagi dunia ini. Setelah kita di- “sunat” sebagai bentuk penerimaan anugerah Allah, maka kita juga bertanggung jawab dan siap memiliki semangat “masal” atau relasional di dalam kehidupan yang penuh dengan tidak kepastian ini bukan lari dari masalah atau sibuk menyelamatkan diri sendiri. Sehingga pertanyaan reflektif bagi kita dalam tahun baru ini adalah: “sudah “sunatan” “masal” kah kita ?”