GKI Harapan Jaya

Thursday, February 12, 2009

The Depth of The Riches: A Trinitarian Theology of Religious Ends (Mark Heim)

by Alexander Urbinas

Kehidupan kekristenan kini menghadapi dua tantangan dalam peneguhan imannya. Tantangan pertama adalah klaim sebagai agama yang “satu dan satu-satunya”, penekanannya pada Kristus sebagai relasi antara Allah dan ciptaan. Kristus disebut sebagai poros dalam hubungan tersebut. Tantangan kedua adalah mengenai kebenaran dari agama-agama lain, sebagai realitas yang tidak dapat dihindari.

 Berangkat dari situasi tersebut Heim menawarkan sebuah pendekatan lain guna mempertahankan partikularistik dari agama-agama yakni dengan mengembangkan hipotesis mengenai akhir dari keberagaman agama. Setiap agama memiliki pandangan akan akhir agama yaitu kebenaran agama untuk pembentukan spiritualitas dalam praktik hidup, dalam menghadapi Allah yang tak tepermanaikan. Bagi Heim bukan agama-agama mana yang menguntungkan atau bermanfaat melainkan nilai-nilai apa yang menggenapkan. Titik temu dari keberagaman agama adalah dengan mempertahankan partikularitas. Heim ingin menyampaikan sebuah gagasan dan cara agar keristenan dapat menyapa yang lain, berangkat dari pendekatan trinitarian.
Heim mengatakan, Trinitas sesungguhnya mengajarkan kita bahwa Yesus Kristus tidak dapat menjadi sumber yang sepenuhnya dalam merepresentasikan Allah, bukan juga tindakan sepenuhnya Allah dalam menyelamatkan ciptaan. Trinitas menyatakan akan konsep Allah yang merasa tidak cukup seorang diri (in se). Akibat dari situasi ini adalah menciptakan rasa peka kepada persekutuan, yang menjadi sifat dasar Allah yang personal. Secara terus menerus sebenarnya kita didorong untuk keluar dari batas hubungan dengan Allah yang mutlak untuk membangun persekutuan yang lebih kaya. Heim berpendapat bahwa di dalam ketritunggalan Allah terdapat “kekosongan” yang bukan dalam pengertian tak berisi, “kekosongan” digambarkan sebagai satu relasi Allah dengan ciptaan-Nya. Berarti kita tidak dapat mengelak bahwa dalam relasi Trinitarian ada upaya untuk “membuka ruang bagi yang lain”. 
Heim menyampaikan gagasan bahwa melalui Allah yang Trinitas itulah, maka kekristenan dapat mengerti kebenaran yang terdapat pada agama-agama lain. Pertimbangan Heim adalah dengan melihat bahwa akhir dari agama-agama yang berbeda justru membangun dimensi-dimensi obyektif yang universal, bahwa Allah sesungguhnya membuka saluran cinta kasih dan relasi-Nya dalam ekspresi yang partikular dari tiap agama. Heim bertolak dari konsep Trinitas, ingin menegaskan bahwa ada satu objek religius yang sama yaitu Allah. Akan tetapi Allah yang satu menghadirkan tujuan agamawi yang beragam, bergantung dari saluran apa yang Allah nyatakan pada kondisi (baca: agama) tertentu dan bergantung pada pengalaman religius kita masing-masing.
Heim kemudian sampai kepada tawarannya yang berikut yakni konsep mengenai “plenitude” (kepenuhan). Dasar pemikirannya adalah Allah bekerja dengan melimpahkan kasih-Nya kepada semua ciptaan tanpa terbatas dan universal. Allah tidak hanya berada pada satu kebenaran saja, karena kebenaran yang lain seutuhnya berpartisipasi pada Allah. Jika Allah menolak akan eksistensi kebenaran yang lain, berarti terdapat diskriminasi dan inkosistensi Allah yang menyebabkan konsekuensi kepada ketidakpenuhan. Setelah mengetahui akan konsep Trinitas sebagai sikap iman maka, Kristus tidaklah dapat diabaikan. 
 Dalam gagasan Heim mengenai kepenuhan, ia mengemukakan prinsip-prinsip eskatologi dalam hubungannya pada akhir keberagaman agama, yaitu: (1) keselamatan yang universal dari Allah; (2) posisi konstitutif dalam diri Yesus sebagai Juruselamat; (3) keselamatan universal yang diperoleh; (4) kebebasan dari ciptaan; (5) kemungkinan yang hilang; (6) prinsip teologi kepenuhan.
 Dengan mengatakan bahwa untuk mencapai dari kepenuhan keberagaman agama itu melalui kasih Allah, maka Kristus tidaklah dapat diabaikan. Kristus sebagai peristiwa konstitutif dari tindak penyelamatan dan pencapaian kepenuhan tersebut, memiliki pengaruh bagi orang-orang beragama untuk berhasrat mencari relasi dengan Allah. Hasrat itu dapat terjadi dengan bertolak pada dimensi kehidupan yang trinitaris yang kemudian membawa pada gambaran kesetiaan dari relasi tersebut. Kristus dapat disebut sebagai puncak dalam pengertian ia sebagai pijakan untuk menuju kepada kepenuhan. Akan tetapi, Kristus tidaklah konstitutif bagi keberagaman agama-agama. Hal ini disebabkan sudut pandang yang berbeda dari agama-agama yang berbeda dari akhir pengalaman religiusnya. 
Satu hal yang dapat menyebutkan akan puncak tindakan Kristus adalah keselamatan pada persekutuan. Kritus tidak dapat disebut sebagai puncak dari keberagaman agama karena ini bertolak belakang dari konsep persekutuan sendiri. Dimensi relasi dengan Allah yang dinyatakan oleh agama-agama lain juga mengarah kepada keselamatan yang melalui persekutuan, Kristus tidak dapat menjelaskannya secara konkrit. Inilah yang menjadi alasan bagi keberagaman agama, bahwa Kristus sesungguhnya memiliki keterbatasan. Tetapi di luar itu, Heim juga menjelaskan akan adanya keterbatasan lain dari keberagaman agama yang tidak menjelaskan bagaimana relasi antara Allah dan ciptaan dapat didamaikan seperti yang telah dilakukan oleh Kristus.
 Tanggapan : Pasca-pluralisme ala Heim ingin mengatakan bahwa Allah yang satu justru menghadirkan tujuan agamawi yang beragam. Pemikiran Heim relevan dalam kemajemukan agama, karena konsep teologi yang ditawarkan Heim mampu memberi jalan dan penghargaan pada tradisi agama-agama lain yang dinilai sebagai bagian dari maksud pemeliharaan Allah. Pemikiran Heim dapat digunakan untuk mengikis perpektif eksklusif yang menghambat dialog agama-agama, yang tercipta justru sebaliknya yakni relasi antar agama. Perbedaan perspektif adalah akibat kondisi tekstual manusia bahkan membuat dua pihak berbicara tentang Allah dalam bahasa yang sama sekali berbeda dan bahkan berlawanan.
 Konsep Trinitas ternyata dapat menolong kita memahami hubungan keselamatan agama-agama. Heim ingin menggagas akan model Trinitas yang duniawi. Masing-masing pandangan tampaknya menghargai realitas tujuan agamawi lainnya. Sekalipun dari sudut pandang masing-masing pandangan “yang lainnya” tak sesuai (incompatible). Namun, dari sudut pandang trinitarian pandangan “yang lain” bukan saja incompatible namun juga dapat dihargai (respectable). Dengan demikian perbedaan dirayakan tanpa terjerumus dalm sikap kompromistis. Keunikan dan partikularistik dari agama-agama dapat tetap dipertahankan.
 Allah Tritunggal adalah misteri yang kompleks yang tidak akan diserap oleh teologi manapun, termasuk keristenan. Ia yang tidak terbatas tidaklah dapat didefinisikan, keinginan mendifinisikannya adalah sebuah usaha untuk mereduksi kemuliaan Allah. Sudut pandang keberagaman pengalaman religius dikarenakan manusia selalu mengalami Allah dalam konteksnya, maka disadari bahwa terhadap Allah yang kompleks itu bermacam-macam tujuan keselamatan dihadirkan. Setiap agama partikular dan menjadi unik pada dirinya sendiri, tak terbandingkan satu sama lain. Setiap klaim yang menunjukkan eksklusivitas agama tertentu sama sekali tidaklah relevan untuk dipertahankan dalam sebuah bangunan keagamaan.
 Heim menekankan relasi –bertolak dari Allah Tritunggal- pada dunia ini (this-wordly) bukan pada keselamatan di dunia lain (other-wordly). Masalah yang dihayati adalah bagaimana relasi dengan masalah-masalah di dunia ini. Penekanan utamanya adalah pada praksis imannya sendiri.  

No comments:

Post a Comment