GKI Harapan Jaya

Tuesday, December 27, 2011

MENGGALI KESUKACITAAN NATAL DI TENGAH KRISIS (Sebuah Gugahan dalam Pesan Natal bagi Jemaat Harja)

“Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di atas palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.” (Lukas 2:6-7). 

Hari Natal yang dikenang di seluruh dunia di penghujung tahun sudah makin jauh dari Natal pertama yang syahdu dan sederhana seperti gambaran dalam ayat di atas. Hari Natal pertama diisi dengan kesederhanaan dimana hadir para gembala yang sederhana untuk menyambut kelahiran bayi Yesus, kelahiran-Nya yang tidak dirayakan di penginapan atau di istana, tetapi di sebuah palungan di kota Betlehem tetapi kehadiran damai sejahtera Allah terasa sekali. Inilah makna Natal sebenarnya dimana damai Allah menyertai semua manusia, damai di hati tanpa dekorasi yang berarti. 

Masa kini, memasuki bulan Desember, kita dapat menyaksikan di mana-mana, terutama restoran, mal dan hotel, dan di siaran TV, banyak dikumandangkan persiapan menyambut hari Natal dengan belanja akhir tahunnya, lalu apakah masih ada yang tersisa dari Natal Betlehem di balik hiruk-pikuk perayaan Natal di masa kini? 

Pohon Natal adalah gambaran yang indah di Eropa di musim salju ketika salju memenuhi permukaan bumi dan pohon-pohon berguguran daunnya, di situ kita melihat pohon-pohon cemara yang tegap berdiri, dengan kehijauan daunnya yang tetap memberikan harapan segar. Di malam hari, dari sela-sela daun-daunnya kita dapat melihat kerlap-kerlip lampu-lampu rumah di belakangnya. Apalagi kesan indah ini diiringi lagu ‘Malam Kudus’ memberi rasa syahdu dan damai bagi mereka yang melihat pohon itu dan mendengar lagu itu. Pohon yang kemudian dijadikan lambang pohon terang itu sekarang sudah meluas menjadi hiasan di toko-toko serba ada di seluruh dunia, namun apakah makna sebenarnya Natal yaitu ‘kelahiran Juruselamat manusia’ itu masih bisa dilihat di balik kemeriahan dekorasi itu? 

Sebenarnya Fransiscus dari Assisi-lah yang pertama kali memperkenalkan replika kandang dengan ternak dengan patung-patung kecil Yusuf, Maria dan bayi dalam palungan dan para majus dan gembala disekitarnya, yang sering kita lihat sebagai hiasan Natal baik di gereja maupun di rumah. Replika inilah yang menjadi hiasan sejak abad-13 sebelum pohon Natal diperkenalkan, dan diiringi Christmast Carol yang dinyanyikan sekelompok orang dari rumah ke rumah. Pohon cemara dengan kerlap-kerlip kemudian dijadikan lambang kekekalan dan dijadikan pohon Natal seperti yang kita kenal sekarang. 

Pohon Natal yang sederhana itu kemudian di abad-18 berkembang dengan adanya penambahan dekorasi hiasan-hiasan Natal, dan lama kelamaan dekorasi itu begitu lebatnya sehingga lambang pohon dan sinarnya yang menjadi simbol kekekalan dan kesyahduan menjadi semakin terkubur oleh hiruk-pikuk dan kemeriahan hiasannya. Suasana Natal untuk mengenang kesederhanaan kelahiran Tuhan Yesus yang menyelamatkan manusia kini banyak tertutup oleh pesta pora dengan segala hiasan yang mewah dan bukan lagi dirayakan oleh umat Kristiani saja tetapi meluas oleh umum. Rasa-rasanya, perayaan Natal perlu kembali mengalami ‘de-sekularisasi’. 

Pada abad-11, Nicholas seorang uskup yang baik hati yang suka membagi-bagikan hadiah pada anak-anak dirayakan pada tengah malam tanggal 5 Desember, namun lama-lama legenda ‘Santo’ Nicholas ini di adopsi di negeri Belanda dan dirayakan sebagai ‘Sinter-Klaas’ dan kemudian di Amerika dirayakan sebagai ‘Santa Calus’ yang sekarang dimasukkan ke dalam rangkaian perayaan Natal dan sambil menaiki kereta salju ditarik rusa kutup terbang di atas rumah-rumah penduduk sambil membagi-bagikan hadiah di rayakan di malam Natal. Figur Santa Claus ini merupakan campuran figur Santo Nicholas dan Odin, dewa yang disembah orang Norwegia. Gambaran mitologi Odin ini lebih-lagi pada masakini diisi dengan berbagai pertunjukan gaib dengan peri-peri yang membawa tongkat sihir berujung bintang mendatangkan mujizat-mujizat. Pada masa kini beberapa supermal menghadirkan ‘magic’ Christmas dengan gambaran peri bertongkat-bintang sihir ini. Natal bukan lagi merupakan moral-force yang menobatkan tetapi sekedar perayaan tradisi akhir tahun. 

Benar-benar kemeriahan perayaan Natal masa kini perlu di de-mitologisasikan, agar kita dapat mengenal benar-benar berita kesukaan akan kelahiran Juruselamat yang mendatangkan damai sejahtera bagi semua manusia di dunia. Perayaan yang meriah di gedung gereja yang tertutup, dan lebih lagi di ballroom hotel yang eksklusif sudah jauh berbeda dengan kondisi palungan di malam Natal pertama yang dihadiri para gembala yang sederhana. Umat Kristen sedang menyiapkan hari Natal di akhir tahun ini, dan sudah tiba saatnya umat Kristen mengembalikan hakekat Natal kepada artinya semula dan tidak terkecoh oleh gemerlapannya kerlap-kerlip lampu listrik dan dekorasi yang ‘wah. Umat Kristen perlu men de – sekularisasi - kan dan men de – mitologisasi - kan perayaan-perayaan natal yang sudah melenceng jauh dari makna aslinya. 

Di tengah kepedihan yang dialami ribuan keluarga yang menghadapi PHK, dan begitu banyaknya keluarga digusur dari rumah kumuh mereka atau tempat jualan mereka di kaki lima dan tidak memperoleh tempat membaringkan kepala, dan palunganpun tidak, di tengah krisis kemanusiaan di Papua, di tengah perjuangan jemaat Taman Yasmin untuk mendapat tempat beribadah, di tengah bencana di Fillipina, maka umat Kristiani dipanggil untuk menghadirkan Natal terutama bagi mereka yang tersingkir, yang terpinggirkan, dan yang dilupakan. Setidaknya dengan menjalankan upacara dengan sederhana, apalagi kalau disertai dengan kasih yang meluap keluar ke jalan-jalan yang dingin, setidaknya umat manusia benar-benar lebih bisa merasakan bahwa Natal itu memang mendatangkan damai sejahtera bagi manusia di bumi dan bukan sebaliknya. 

Tema natal tahun 2011 ini adalah “Bangsa yang Berjalan di dalam Kegelapan Telah Melihat Terang yang Besar” Marilah kita menyatakan kemuliaan Allah dengan kesederhanaan dan kepeduliaan. Kita menyatakan kemuliaan Allah dengan berbagi pada sesama kita sehingga mereka yang kini sedang krisis dan berjalan di dalam kegelapan bisa merasakan kemuliaan Allah yang sesungguhnya yaitu Kasih! Selamat Merayakan Natal!

Tuesday, November 15, 2011

Yesus “Si Jagoan Solidaritas” (Yohanes 8:2-11)

Kejadian ini berlangsung ketika Yesus mengajar di Bait Allah. Ahli-ahli Taurat dan Farisi mencari Yesus ketika Ia dikerumuni orang banyak. Niat mereka adalah untuk mencobai/menjebak Yesus dan membuat Ia bersalah di hadapan pemimpin-pemimpin termasuk pemimpin dalam pemerintahan sipil (Romawi). Pokok pencobaan itu dasarnya adalah bagaimana Yesus memandang Taurat Musa.
Para pemimpin agama itu mencari kasus yang kira-kira mencolok mata, apakah Yesus akan mempersalahkan perempuan yang berzinah dan membiarkan ia dihukum rajam sesuai ketentuan Taurat. Tetapi apabila Yesus berbuat demikian, maka Yesus akan dipersalahkan oleh penguasa sipil (Romawi). Sebab penguasa sipil Romawi tidak akan membiarkan hukuman itu terjadi, karena hukuman semacam ini tidak terdapat pada hukum-hukum sipil Romawi. Jadi kasus semacam ini dirasa cukup oleh pemimpin agama itu, apakah Yesus akan mengelak keputusan penghukuman dan membiarkan dosa yang diperbuat perempuan itu.
Mereka menempatkan Yesus sebagai hakim atas kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh perempuan yang berzinah tersebut. Kendati hal itu mereka lakukan dengan maksud untuk mencobai Yesus (ayat 6a), namun alasan yang mereka ajukan begitu sangat serius, yakni perbedaan 2 hukum (hukum agama dan hukum sipil). Jika menuruti hukum Taurat Musa, perempuan yang demikian harus dihakimi - dihukum mati dengan cara dilempari dengan batu sampai mati (ayat 5, bdk. Imamat 20:10; Ulangan 22:22-24). Meski hal ini jelas merupakan tipe "penghakiman massa". Penghakiman dalam konteks demikian tidak hanya dilakukan sebagai reaksi spontan atas tindak kejahatan dan dosa perzinahan tetapi juga semakin menemukan motifnya yang suci yakni sebagai usaha pembelaan atas tegaknya hukum Taurat. Dengan kata lain, melempari si pendosa itu dengan batu sampai mati adalah suatu kebenaran seturut hukum. Tetapi pada masa itu hal semacam ini tidak sesuai hukum sipil Romawi. Tuhan Yesus mengerti persoalan itu, bahkan lebih dalam, yaitu bahwa persoalan moralitas itu dibawa oleh mereka yang hendak menghakimi perempuan itu adalah juga orang-orang yang berdosa. Mereka merasa diri orang benar dan hanya bisa melihat serta menilai kekurangan dan kesalahan orang lain, kemudian menghakimi.

Kita baca Ayat 6 : "Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah (, sehingga sepertinya Dia tidak sedang mendengarkan mereka – KJV)."
Apakah yang kira-kira ditulis oleh Yesus? Alkitab tidak menjelaskannya. Dalam beberapa tafsiran mengatakan apa yang dilakukan Yesus itu menunjukkan bahwa Yesus sedang menunjukkan bahwa Dia adalah Allah. Siapakah yang menulis ke-sepuluh firman dengan jariNya diatas dua loh batu yang diberikan kepada Musa di atas gunung Sinai? Alkitab berkata bahwa perintah-perintah ini ditulis oleh jari Allah :

* Keluaran 31:18 :
"Dan TUHAN [YHWH] memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan dia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu, yang ditulisi oleh jari Allah."

Hal itu menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah itu sendiri. Sementara Yesus menulis di atas tanah, ini seolah-olah menunjukkan, "Lihat, Akulah Allah yang menuliskan hukum-hukum itu dengan jari tangan-Ku." Dan sebenarnya, ketika Dia sedang menulis, orang-orang Farisi yang membawa perempuan yang terbukti melakukan dosa-dosa itu. Dan inilah fungsi dari hukum Allah, hukum ini membuktikan adanya dosa. Hukum itu menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang sangat-sangat berdosa.
Setelah para pendakwa itu terus-menerus bertanya kepada Yesus, Dia menjawab pertanyaan mereka dengan penuh otoritas : "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
Kemudian Yesus membungkuk sekali lagi, dan menulis di tanah dan Alkitab tidak juga menjelaskan apa yang ditulisNya itu. Melanjutkan tafsiran seperti diatas tentang hal ini, Dia membungkuk lagi dan menulis dengan jari-Nya. Dan sekali lagi, kisah ini menggambarkan Dia yang menulis pada dua loh batu.
Dalam kasus ini kita mendapatkan pelajaran yang menarik dan sangat berharga, karena Yesus tidak melakukan satupun dari dua hukum itu (Taurat, maupun Hukum Sipil), tetapi Yesus mengalihkan tantangan kepada orang-orang yang ingin menjebaknya. Tuhan Yesus membawa persoalan itu ke dalam hati nurani mereka. Ia mengubah kaidah hukum menjadi kaidah moral.
Tantangan Yesus yang penuh otoritas itu membuat para pendakwa kehilangan keberanian untuk membantah apalagi mempersalahkan jawaban yang diberikan Yesus itu. Kepergian para pendakwa seorang-demi-seorang mulai dari yang paling tua, mempertajam kisah ini. Bahwa, apa yang dilakukan Yesus cukup membuat para pendakwa itu tidak merasa senang, tetapi mereka juga tidak mampu menanggapi tantangan Yesus itu. Sehingga akhirnya tinggallah Yesus dengan perempuan itu.
Di lain pihak, tantangan Yesus itu juga telah menunjukkan dan memberikan arti keadilan bagi hidup perempuan itu. Bahkan, lebih jauh, Yesus juga menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar degan pengampunan. Lalu kata Yesus “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (ay.11)
Tindakan Yesus untuk tidak menghukum perempuan itu secara fisik bukan berarti Yesus permisif terhadap dosa. Kata-kataNya justru berkaitan dengan nasehat yang kuat, teladan dan kasih. Hal ini tepat, para pelanggar-pelanggar pun perlu mendapat kasih, tetapi Yesus dengan jelas tidak mengizinkan perbuatan dosa/perzinahan, dan menuntut kerelaan untuk mengubah hidup agar lebih baik, itu terlihat jelas dengan perintahNya kepada perempuan itu yaitu “jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Demikian juga bagi kita, kita tidak dapat mengelak untuk mendengar panggilan dari sesama manusia (kristen atau bukan). Sikap solidaritas yang sejati dapat kita pelajari dari Yesus Kristus, sebagai manusia yang telah membuka diri terhadap sesamanya. Dia seperti orang Samaria yang murah hati, yang tidak memandang bulu, tetapi menjadi sesama untuk yang terluka. Yesus Kristus juga mengalami tindakan sesamanya dengan menerima kekerasan dan penindasan. Dia selalu melihat dalam diri orang lain, pada orang-orang yang memanggil dan membutuhkan Dia. Dengan sikap solidaritas, kita sebagai individu maupun kolektif, ditantang untuk senantiasa memandang orang lain dengan “meminjam mata Yesus.”

Thursday, April 14, 2011

Sekitar 7 Hari Menjelang Kebangkitan-Nya: Kenapa Ada Palem dan Untuk Apa Pembasuhan Kaki?

Bila kita masih ingat dalam renungan lalu tanggal 13 Maret 2011, disebutkan akan upaya mengembalikan Paska sebagai puncak Ibadah Jemaat, dengan melihat kekayaan tradisi gereja mula-mula dalam memperingati peristiwa agung Paska melalui Masa Paska dan Pentakosta. Maka, di dalam tulisan ini kita akan secara khusus menilik akan Minggu Palmarum –dirayakan tepat minggu ini tanggal 17 April 2011-, dan Kamis Putih –dirayakan tanggal 21 April 2011-. Dua peristiwa paradoks sebelum Yesus disalibkan dan bangkit. Satu peristiwa menggambarkan Dia dielu-elukan, sedangkan persitiwa lain menggambarkan sikap Dia yang menghamba.
Menjelang akhir abad ke-4, setiap menjelang hari raya Paska, banyak peziarah yang datang ke kota Yerusalem dan melalukan prosesi ke situs-situs bersejarah yang berhubungan dengan sengsara, kematian, dan kebangkitan Yesus. Prosesi tersebut memakan waktu seminggu dan dimulai sejak hari Minggu sebelum hari raya Paska, atau yang kini disebut Minggu Palmarum (Palem). Hal itu dilakukan merujuk kepada kesaksian penulis Injil Matius, Markus, dan Lukas yang mengungkapkan peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem sebagai hal yang istimewa. Sebab hal itu hanya terjadi sekali dalam hidup Yesus dan terjadi tujuh hari sebelum kebangkitan-Nya. Penulis Injil Matius (21:1-11) mengisahkan bahwa Yesus masuk ke kota Yerusalem dari sisi sebelah Timur, dari Bukit Zaitun. Hal tersebut dilakukan sebagai penggenapan dari Zakaria 14:4. Matius juga memahami hal tersebut sebagai pemenuhan atas Yesaya 62:11 dan Zakaria 9:9. Dalam kesaksiannya -penulis Injil Matius- mengisahkan bahwa, pada waktu itu orang banyak menyambut Yesus dan berseru: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosanna di tempat yang mahatinggi!” (ay. 9). Dalam liturgi Minggu Palmarum, -biasanya- kepada jemaat dibagikan daun palem dan ruang kebaktian dipenuhi dengan ornamen palem, karena daun palem menjadi lambang perdamaian, kehidupan, kemenangan, dan pengharapan akan pertolongan Tuhan.
Berikutnya, Kamis Putih, kita diajak untuk merenungkan makna perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus bersama para murid. Setiap orang bisa menafsirkan atau memaknai peristiwa ini. Pada malam Kamis Putih yang menarik adalah upacara pembasuhan kaki. Hal ini pun sudah banyak orang yang berusaha memaknainya. Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Murid membasuh kaki gurunya sebab menganggap guru mempunyai status yang lebih terhormat daripadanya. Pada malam Kamis Putih, Yesus mencuci kaki para murid. Jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas dihormati gurunya sedemikian rupa. Tapi Yesus tidak mundur dengan penolakan Petrus, bahkan Dia mengancam kalau Petrus tidak mau maka dia tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya. Tentu yang gelisah dan menolak bukan hanya Petrus melainkan semua murid dan mungkin juga Yudas. Apakah Yesus hanya mau mencari sensasi saja?
Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Yesus sejak awal berusaha membuat sebuah hukum baru, yang berbeda dengan aturan yang berlaku pada umumnya di dunia ini. Yesus membalik aturan dunia (world view) ini. Dia mengajarkan penghormatan dari atasan pada bawahan. Dari guru pada murid. Dari penguasa pada orang yang tidak berkuasa, dari orang terhormat pada para kaum proletar. Ini adalah pukulan penyadaran bagi para murid. Beberapa kali mereka memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka, sebab dengan merasa terbesar mereka berhak mendapatkan penghormatan dari yang lainnya. Ini adalah suatu bentuk ketidakadilan dimana orang hanya menuntut penghormatan sebaliknya dia tidak mau menghormati sesamanya.
Semua manusia adalah citra Allah. Bermartabat sama. Namun tata dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokkan manusia dalam bermacam tingkatan. Pembagian ini berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara otomatis menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan kebangsawanan. Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang yang bukan bangsawan atau bangsawan yang lebih rendah. Apalagi mereka menikah dan sebagainya. Kisah kasih Pronocitro dan Roro Jogran mencerminkan adanya batasan itu. Dalam budaya Cina juga ada kisah Sam Pek dan Eng Tay yang mencerminkan hal yang sama. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi mendampatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik, kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan. Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka gelar akademik atau aneka jabatan. Semua gelar ditulis rapi agar orang yang tidak punya gelar menghormatinya.
Penghormatan kepada kaum bawahan hanya bisa dilakukan bila orang yang dianggap atasan berani melepaskan atribut pemberian duniawi yang menempel di dirinya. Yesus melepaskan jubahnya yang melambangkan status-Nya sebagai guru. Dia mengambil posisi hamba. Ini adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Yesus sadar bahwa Dia adalah Guru namun, berani melepaskan lambang-lambang keguruan. Keguruan Yesus bukan terletak pada lambang jubah melainkan kewibawaannya dalam mengajar, teguh dalam prinsip, kearifan, kebijaksanaan, belas kasih dan sebagainya. Dengan demikian keguruan Yesus bukan dari apa yang ditempelkan oleh masyarakat melainkan apa yang ada dalam diriNya. Selamat Merayakan Kebangkitan Kristus!

Monday, March 21, 2011

“Memahami Puncak Imanku”: Sebuah Renungan Memasuki Paska

Setelah kita melewati dan merefleksikan diri pada ibadah Rabu Abu yang lalu, maka mulai minggu ini kita, selaku jemaat GKI Harapan Jaya, bersama-sama seluruh jemaat-jemaat lain di seluruh dunia akan mulai memasuki Minggu-Minggu Pra-Paska. Paska datang dari kata “Pesakh” (Ibr.) atau “Passover” (Eng.) yang artinya bahwa Allah meluputkan kita.
Paska (Yun: Πάσχα atau paskha) adalah perayaan (ter-) penting dalam tahun liturgi gerejawi Kristen. Bagi umat Kristen, Paska identik dengan Yesus, yang disebut sebagai "anak domba Paska", jemaat Kristen percaya bahwa Yesus disalibkan, mati dan dikuburkan, dan pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati. Paska merayakan hari kebangkitan tersebut dan merupakan perayaan yang (ter-) penting karena memperingati peristiwa yang paling sakral dalam hidup Yesus.
Mengapa Paska (selalu) lebih sepi ketimbang Natal? Harus diakui keberhasilan misionaris Eropa mempopulerkan perayaan Natal (sebetulnya minus penghayatan Adven) yang semula dari penyembahan untuk Dewa Matahari (dies natalis solis invicti) memang sangat berhasil. Alhasil, perayaan Paska pun sepi dari perhatian Gereja. Padahal perayaan Paska merupakan hari raya Kristen paling utama dan paling besar. Untuk mengembalikan pesta sukacita Paska, mau tidak mau penggalian kekayaan atas sejarah kekristenan musti dilakukan. Kesaksian Gereja Perdana yang terpesona pada sukacita kebangkitan Tuhan seyogyanya mendapat tempat penghayatan secara khusus. Tak pada tempatnya ketika Natal yang bermula dari tradisi penyembahan Dewa Matahari menggeser puncak sejarah keselamatan yaitu hari raya Paska.
Oleh karena itu, upaya mengembalikan Paska sebagai puncak Ibadah Jemaat perlu dengan cukup serius dilakukan, kita perlu mengembalikan kekayaan tradisi gereja mula-mula dalam memperingati peristiwa agung Paska melalui Masa Paska dan Pentakosta. GKI (baca: jemaat Harpan Jaya) pun demikian, dengan bersua kembali juga dengan tradisi Rabu Abu, Minggu Pra-Paska, Minggu Palmarum, Kamis Putih, Jum’at Agung, Sabtu Sunyi, Paska, Minggu Paska, dan Kenaikan Tuhan Yesus.
Kembali kepada makna Paska, maka disadari ataupun tidak, setiap kita banyak diluputkan dari hal-hal yang dapat membahayakan kita. Dalam bahasa Inggris biasa disebut sebagai “Good Luck”, atau “beruntung”. Tetapi, menariknya Baby Face salah satu artis Amerika pernah berkata “I don’t believe good luck, but blessing”. Saya tidak mengetahui kehidupan religius dia, tetapi kalimatnya tersebut merupakan suatu pernyataan imani yang luar biasa karena mewakili esensi kehidupan kristiani, yakni penyangkalan diri.
Kristus bukan hanya mengajarkan semangat penyangkalan diri (Matius 16:24), tetapi lebih jauh lagi Kristus melakukan apa yang diajarkan-Nya. He is a man of His words! His word is His bond! Di hari-hari terakhir-Nya, Dia rela mengayunkan langkah menuju Yerusalem dengan pengetahuan dan kesadaran sepenuh-penuhnya bahwa kematian menantikan Dia di kota yang tragis dan ironisnya, pernah menyambut Dia dengan teriakan “Hosana...Hosana!!” (Matius 21;1-11).
Malam sebelum Dia disalib, Kristus berkumpul bersama murid-murid-Nya di taman Getsemani. Di situ, sebagaimana dicatat di Matius 26:36-46, Lukas 22:39-46, dan Markus 14:32-42 “Ia berlutut dan berdoa ‘…Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin biarlah cawan ini ini lalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki…jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu!’”. Cawan! Dalam Alkitab, istilah ini merupakan metafora “murka” dan “kasih” Allah. Dalam Yeremia 25:15, Mazmur 75:9, dan Wahyu 14:10;16:19, cawan berisi murka Allah. Sebaliknya, dalam Mazmur 23:5 dan Mazmur 116:13, cawan merupakan simbol berkat dan keselamatan dari Allah.
Doa Yesus di Getsemani merupakan refleksi atas kedua simbol ilahi cawan, yakni “murka” dan “kasih” Allah. Peristiwa Getsemani dari tampak lahirnya seolah-olah menunjukkan “titik lemah” kekristenan, dimana Yesus kelihatan sebagai seorang “peragu” dan “berusaha melakukan tawar menawar untuk melepaskan diri dari kematian yang menanti-Nya”. Tidak! Sama sekali bukan begitu!
Peristiwa Getsemani justru memuat dan menyampaikan kekuatan dan tema sentral misi kedatangan Kristus ke dunia. Pesan yang disampaikan dalam doa Kristus tersebut berisikan konfirmasi bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan. “…Jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, (jadilah kehendak-Mu!)”. Dalam bahasa sederhana, doa ini berkata bahwa hanya dengan kematian Kristus, murka Allah atas manusia dapat berlalu. Jikalau cawan (baca: murka Allah) dapat lalu selain apabila Yesus meminumnya (baca: kematian Kristus), Allah pasti akan memilih cara lain tersebut ketimbang menyerahkan Anak-Nya yang tunggal untuk menderita dan mati. Namun, ternyata, hanya dengan Kristus menerima cawan murka Allah, maka manusia dapat menerima cawan yang berisi kasih dan keselamatan Allah.
Pergumulan Kristus atas konfirmasi tersebut sedemikian berat dan serius sehingga “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Lukas 22:39-44). Gejala ini memang ada dan dikenal dalam dunia medis sebagai chromidrosis.
Mereka yang telah menerima keselamatan melalui iman dalam Kristus sudah menerima cawan yang berisi kasih perdamaian dengan ALLAH (Roma 5:10-11). Perdamaian dengan ALLAH tersebut “gratis tetapi sangat mahal”. Gratis, karena yang menerimanya tidak perlu membayar apa-apa kecuali penyangkalan atas kemampuan untuk menyelamatkan diri sendiri (Matius 16:24) dan kesediaan untuk menerima Kristus sebagai Juru Selamat. Mahal, karena Kristus harus menderita hingga mati untuk itu (1 Petrus 1:19). Adakah barang di dunia ini yang sangat mahal tetapi dapat diperoleh secara gratis, selain keselamatan yang diberikan Kristus? Karena itu, kita yang sudah menerimanya mempunyai kewajiban untuk menghargai dan mengerjakan keselamatan tersebut (Filipi 2:12) dengan meneruskan cawan kasih tersebut kepada setiap orang. Selamat Memasuki Masa Paska!

Melayani?! Nanti Dulu Ah…

Jika ditanya, apakah seseorang mencintai Tuhan, maka biasanya tanpa ragu dia akan menjawab “Tentu saja”. Bahkan mungkin jawabannya dengan segenap hati dan jiwa namun ketika ditanya, mana buktinya, orang biasanya akan diam, tergaga-gagap dan hanya mampu bilang, hmm…,anu…Betapa kecewa diri kita, jika pasangan kita mengobral kata-kata cinta, sementara dia tidak mampu membuktikannya.
Alkitab menjelaskan, salah satu bukti nyata kedewasaan spiritual kita adalah perbuatan dan tindakan kita. Hidup kristiani yang berkemenangan tidak semata-mata dibuktikan oleh seberapa banyak kita hafal ayat-ayat alkitab, oleh seberapa rajin kita ke gereja. Itu semua penting! Tapi tidak cukup. Kalau sekedar itu yang dijadikan ukuran, kita tidak terlalu berbeda dengan orang Farisi. Hidup yang berkemenangan, iman yang dewasa, sesungguhnya akan kelihatan dalam tindakan. “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa tindakan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanmu dari perbuatan-perbuatan” (Yak. 2:18)
Perbuatan seperti apa yang menjadi bukti bahwa seseorang beriman? Perbuatan yang melayani, bersedia memberi, seperti apa yang Tuhan Yesus demonstrasikan sendiri. Dengan indah Markus menggambarkan: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk.10:45).
Kenapa Tuhan rela melayani, kenapa Tuhan mau hadir ke bumi, meninggalkan kemuliaan sorgawi, berkorban hingga mati (Flp.2:7)? Hanya satu jawabannya, karena Tuhan cinta, sangat amat cinta kepada dunia, kepada saya dan sudara, kepada semua umat manusia (Yoh.3:16).
Cinta yang seperti itu, memang kelihatan naif buat orang modern. Cinta yang seperti itu dilihat aneh oleh manusia yang egois. Ini dibuktikan oleh suara yang kadang kita jumpai di gereja. Untuk apa melayani di gereja? Apa untungnya buat saya? Bukankah ada kerjaan yang jauh lebih penting ketimbang pelayanan? Atau ada suara yang seringkali berkilah saat diminta melayani: ”Ah…, nanti dulu ah…Saya sibuk”
Mendengar hal di atas, kita hanya bisa diam, sedih, kecewa, prihatin berbaur dalam hati. Apakah virus egoisme diri sudah demikian jauh menyerang kehidupan warga gereja, sehingga untuk membalas cinta Tuhan saja kita sudah tidak bersedia? Apakah pengorbanan Kristus buat jemaat-Nya sama sekali tidak berarti? Tuhan pernah berkata kalau tuaian banyak tapi pekerja sedikit. Marilah kita melihat diri kita. Layanilah Tuhan. Semoga kita, sebagai pribadi dan keluarga dapat senantiasa mendemonstrasikan kasih Kristus dengan melayani Tuhan dan sesama, dimana kita berada.

Menjadi “Spons” : Pengharapan Kekristenan di Tengah Suramnya Kemajemukan

Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit;
kami habis akal, namun tidak putus asa;
kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian,
kami dihempaskan,namun tidak binasa. (2 Korintus 4:8-9)

Suka tak suka, kita orang Kristen adalah minoritas di negeri ini. Dimana-mana di dunia ini kaum minoritas sedikit-banyak ditekan dan ditindas serta acap menjadi korban. Negeri kepulauan yang sangat majemuk bernama Indonesia ini sedang mengalami krisis yang sangat parah di segala bidang (energi, pangan, lingkungan, politik, moral dan terutama hukum). Fakta juga mengatakan, walaupun ada yang kaya-raya dan terlalu mencolok, sebagian besar orang Kristen yang merupakan minoritas itu sebenarnya hidup miskin, kurang berpendidikan dan tercerai-berai. Komplitlah kelemahan itu. Sudah minoritas miskin pula. Sudah miskin kurang berpendidikan pula. Sudah tertinggal, masih saling berkelahi pula. Lantas?
Kenyataan hidup sebagai minoritas di sebuah negeri yang bukan saja belum maju namun terancam perpecahan dan kebangkrutan seharusnya mendorong kita orang kristen benar-benar kritis dan kreatif. Kita perlu menghayati suatu teologi atau konsepsi iman kristen yang sungguh-sungguh dapat membantu kita untuk survive dan eksis di negeri ini. Syukur-syukur dapat menyumbang bagi pemulihan dan perbaikannya.
Bagaimana jika memahami dan menghayati kekristenan kita di Indonesia sebagai “spons” atau karet busa yang biasa digunakan untuk mencuci peralatan rumah tangga?
Pertama, spons itu simpel, sederhana, dan tak berwarna tetapi sangat berguna. Tidak terlalu diperhatikan, namun selalu dicari jika tak kelihatan. Seperti itulah seharusnya kekristenan di Indonesia: tidak pernah ditempatkan di depan, namun sangat fungsional.
Kedua, spons itu sangat adaptif, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dapat menyerap apapun namun tidak larut dan tak bisa tenggelam. Alangkah hebatnya jika orang Kristen dapat beradaptasi dengan lingkungan, menyerap berbagai budaya, namun tidak kehilangan integritas dan identitasnya yang simpel itu, dan tidak tenggelam di pusaran ekonomi atau politik yang bagaimanapun.
Ketiga, spons itu benar-benar kenyal dan tahan banting. Ditekuk, diremas, diinjak, dan dihempaskan spons itu tetap kembali ke bentuk aslinya. Bukankah orang Kristen harus seperti itu?
Pernyataan Rasul Paulus di atas dapat membantu kita mengembangkan teologi atau konsepsi iman dan kehidupan kekristenan bagaikan spons atau karet busa itu. Sama seperti Rasul Paulus, biarpun dalam segala hal kita dijepit namun tetap tak terjepit, dihempaskan namun tak binasa, dijatuhkan namun selalu tegak kembali. Kehabisan energi, pikiran dan dana, namun tidak kunjung putus asa. Itu bukan kata-kata belaka. Iman kepada Kristus yang tersalib dan bangkit memungkinkan kita melakukan hal itu. Dia yang mati dan hidup kembali itu menjadi daya vitalitas yang sungguh-sungguh luar biasa bagi umatNya.
Jika lukisan spons kurang dipandang elok, maka dalam refleksi ini ditawarkan analogi yang lain, bagaimana kalau kita menghayati diri, persekutuan, gereja dan kekristenan kita seperti rumput saja? Bukankah rumput tetap hidup walau selalu diinjak dan dipangkas? Dibabat semakin merambat? Rumput walaupun merendah di tanah juga berguna bagi banyak orang. Amin.


Nb: Thanks to Pdt. Daniel Harahap

Bola, Pemain, dan Komentator

... untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan (Efesus 4:11-12)

Minggu malam beberapa waktu lalu adalah Final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Malam itu, aku (beramai-ramai tepatnya) sedang asyik nonton pertandingan sepakbola. Tim favoritku sedang berlaga! Pasti seru pertandingan itu! Seperti biasa sebuah siaran langsung pertandingan sepak bola selalu dilengkapi dengan komentator pertandingan. Diawal pertandingan menurut pendapatku apa yang dikatakan komentator pertandingan itu sangatlah luar biasa. Awal pertandingan pun nampaknya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh komentator.
Sampai pada suatu adegan dimana seorang penyerang mendapat umpan dari teman setimnya. Dengan manis dia menghentikan bola yang melaju deras itu, menjaganya dari sergapan lawan. Lalu dengan cantik ia membelokkan bola sekaligus mengecoh penjaga gawang. Ia hanya berhadapan dengan gawang sekitar 12 x 2.25 meter yang kosong melompong setelah ditinggal tuannya.
Penonton sudah bersorak, "Gol!!" Waktu seakan berhenti sejenak. Penyerang itu menendangnya. Dug! Jantungku seakan berdetak lebih keras saat menyadari tendangannya hanya melambung tipis. Sontak aku berteriak, "Payah!!! Begitu saja tidak Gol."
Selepas berujar demikian, aku teringat memori 12 tahun lalu saat penyelenggaraan Piala Dunia 1998 yang mempertemukan Brasil dan Perancis di Final, kurang lebih mirip cara berteriakku tadi, ketika saat itu Ronaldo gagal menyelesaikan peluang emasnya di mulut gawang.
Kakekku yang mendengar saat itu hanya tersenyum. Ia berkata, "Kamu tidak merasakan apa yang penyerang itu rasakan. Kamu tidak melihat apa yang ia lihat dan kamu tidak mendengar apa yang ia dengar".

"Mungkin saja gawang begitu besarnya yang kau lihat hanya sebesar rumah semut di matanya. Mungkin saja suara pendukungnya terdengar seperti dentingan jarum jatuh saat kau sedang tenggelam dalam keseriusanmu. Dan sesungguhnya, kita tidak berhak mengadili atau menghakimi sesuatu apabila kita tidak terlibat di dalamnya. Karena kita tidak tau apa yang dirasakan oleh para pemain."

Saat jeda pertandingan, komentator ramai menjelaskan analisanya tentang bagaimana gol itu tidak jadi lahir. Rata-rata komentar mereka terdengar lebih pintar daripada sang pemain atau bahkan dari sang pelatih. Aku mengiyakan apa yang dikatakan kakek silam, "Komentar apapun tidak akan merubah hasil pertandingan. Karena komentator itu tidak terlibat di dalamnya. Ia tidak akan merasakan suasana pertandingan yang sesungguhnya. Lagipula, apa pemain mendengarkan komentarnya? Selagi para komentator ini mengobral suaranya di sini, pemain mendengarkan instruksi pelatihnya. Yang dapat merubah hasil pertandingan hanyalah para pemain."

Kemudian di telingaku terngiang kalimat yang aku dengar sebelumnya. Dan kali ini kubisikkan pelan-pelan kepada komentator itu, meskipun aku sangat yakin ia tidak akan mendengar, "Dan sesungguhnya, kita tidak berhak mengadili atau menghakimi sesuatu apabila kita tidak terlibat di dalamnya. Karena kita tidak tau apa yang dirasakan oleh para pemain".
Dalam dunia pelayanan di gereja, seringkali kita hanya mau menjadi penonton daripada pemain. Omong-omong mengenai penonton, ada sesuatu yang unik sehubungan dengan penonton khususnya penonton olah raga sepak bola. Ada sebagian penonton yang sangat fanatik dengan kesebelasan favoritnya. Mereka mengoleksi atribut-atribut kesebelasan yang mereka dukung dan melakukan apa saja untuk memberi semangat agar kesebelasan dukungan mereka menang. Padahal mereka tidak mendapat keuntungan sedikit pun kalau kesebelasan favorit mereka menang. Yang unik lagi sehubungan dengan penonton sepak bola ialah komentar-komentar penonton yang "membodoh-bodohkan" pemain yang gagal menyarangkan bola ke gawang lawan, padahal penonton itu sendiri tidak becus menendang bola. Memang penonton paling jago berkomentar!
Dalam gereja banyak anggota jemaat yang memilih menjadi penonton. Tapi bukan penonton sepak bola! Tapi penonton pekerjaan pelayanan. Menurut hasil survey di kebanyakan gereja, hanya 10 persen dari seluruh anggota gereja yang terlibat dalam pelayanan. Padahal Firman Tuhan dalam Efesus 4:12 mengatakan bahwa semua orang Kristen harus menjadi pemain-pemain dalam pekerjaan pelayanan. Dengan menjadi pelayan Tuhan kita mengucap syukur atas anugerah keselamatan yang kita terima dan kita akan mengalami sukacita tersendiri dalam melayani Tuhan juga kita akan mendapat upah dari pelayanan kita.

Maka, jadilah pemain, tidak hanya menonton dalam pekerjaan Tuhan!

Tuesday, March 1, 2011

Menelusuri Simbol-Simbol Allah Yang Feminin


Kaum feminis telah mulai memperjuangkan penggunaan gambaran Allah yang bersifat perempuan. Mereka telah berbicara tentang Allah sebagai Ibu sama seperti Bapa dan menggunakan kata ganti she samahalnya dengan he. Berbagai usulan ini kadang-kadang telah menyinggung perasaan dan mengundang rekasi negatif yang kuat. Banyak dari isu itu tidak dipahami dengan baik, bahkan terkadang terkesan membingungkan, namun meskipun ada kebingungan, penjelasan tetap dimungkinkan. Mengutip apa yang dikatakan oleh Paul Tillich dalam bukunya Systematic Theology: “Bila Allah disimbolkan sebagai ‘Bapa’, Ia dibawa turun ke dalam hubungan manusia antara bapa dan anak. Namun, pada saat yang sama hubungan manusiawi ini dikuduskan ke dalam suatu pola hubungan yang ilahi-manusia. Bila ‘Bapa’ dipakai sebagai suatu simbol untuk Allah, kebapaan dilihat dalam kedalaman theonomous-nya dan sakramentalnya.”
Oleh karena itu, dengan melukiskan Allah dalam gambaran laki-laki. Kitab Suci dan tradisi tampaknya meninggikan hal yang berkaitan dengan pria. Pengilahian seperti itu bagi banyak kaum feminis kelihatannya menjadi suatu bentuk penyembahan berhala. Rosemary Ruether dalam buku Sexism and God-Talk menulis, “ Penyembahan berhala itulah yang membuat laki-laki lebih ‘menyerupai Allah’ daripada perempuan. Menggunakan gambaran dan nama Yang Kudus untuk membenarkan dominasi patriakal merupakan penghujatan.”
Beberapa orang feminis menyimpulkan bahwa teisme tradisional itu sedemikian patriakal sehi ngga harus dibuang. Dengan berbicara atak kelompok feminis, Naomi Goldenberg dalam buku Changing of The Gods menulis, “Suatu kebudayaan yang mempertahankan gambaran maskulin untuk keilahiannya yang tertinggi tak dapat memperkenan para perempuannya mengalami dirinya sendiri sebagai yang sederajat dengan kaum laki-laki.”
Reaksi seperti ini mendorong munculnya beberapa usulan. Beberapa orang tertarik pada spiritualitas Amerika Pribumi; dalam spiritualitas ini karakterisasi dari Roh Agung dan manifestasinya dalam keberadaan roh laki-laki dan perempuan tampak lebih egalitarian. Ada sebagian juga yang mencoba berpaling pada politeisme, dengan alasan-alasan yang sama. Bukan hanya karena para dewa dan dewi memiliki derajat yang sama, melainkan juga kebajikan-kebajikan yang dicontohkan oleh pelbagai figur ilahi (cinta, keadilan, kebijaksanaan, dan lain-lain) dipandang karena nilai intrinsiknya dan tidak ditempatkan dalam suatu hierarki.
Yang lain lagi, tanggapan yang cukup berbeda menuntut pemikiran ulang makna dari konsep Kristen tentang Allah yang maskulin itu. Dapatkah Allah secara sederajat dijelaskan sebagai perempuan seperti sebagai laki-laki, sebagai Ibu seperti Bapa? Bebeberapa tokoh feminis semisal: Anne Carr, Sallie McFague, Rosemary Radford Ruether, Elizabeth Schussler Fiorenza, dan Elizabeth A. Jhonson mendalami hal ini dan secara bijaksana memaparkan usulan-usulanya dengan baik.
Perlu disadari, kesulitan kita untuk mendapatkan suatu visi yang jelas tentang isu-isu itu adalah konsep kita yang kabur tentang gender. Salah satu teori beranggapan bahwa konsep ini terutama didasarkan atas biologi reproduktif, bahwa sitem-sistem reproduksi yang berbeda dari laki-laki dan perempuan membentuk pemikiran dan perasaan kita tentang diri kita sendiri. Teori yang lain beranggapan bahwa definisi tentang gender bersemi terutama dari ketidaksadaran, dan bahwa ketidaksadaran itu pada akhirnya menentukan cara-cara yang didalamnya pola pemikiran kita dan ekspresi kultural kita ditata. Teori lain beranggapan bahwa gender merupakan suatu bangunan sosial. Karena laki-laki dan perempuan dipandang secara berbeda dalam kebudayan yang berbeda.
Oleh karena itu, dalam ulasan berikut kita akan merefleksikan kemungkinan untuk menggunakan gambaran perempuan untuk Allah, tanpa masuk secara khsus dalam perdebatan sosiologis mengenai konsep gender. Dalam hal ini, kita akan memperhatikan pemikiran Elizabeth Jhonson dalam bukunya, She Who Is, sebab sumbangan pemikirannya mengenai hal-hal yang kita gumuli di atas, menjadi pelopor untuk karya-karya feminis lainnya.
Langkah pertama adalah melandaskan bahwa bahasa inklusif tentang Allah dalam suatu bahasa doktrinal yang kokoh. Pernyataaan dalam dalam Kitab Kejadian bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut gambar Allah (1:27) telah tertanam secara mendalam dalam tradisi teologis. Jika demikian halnya, praanggapan awal semestinya adalah bahwa metafora untuk Allah dapat secara wajar ditarik dari kehidupan dan pengalaman perempuan sama halnya laki-laki.
Dalam beberapa hal, Kitab Suci benar-benar melakukan itu. Dalam Kitab Yesaya, Allah mempersamakan diriNya dengan seorang ibu yang menyusui bayinya dan memelihara Israel bagaikan seorang bayi (Yes 49:15; 66:13). Memang gambaran tentang ibu terkadang amat hidup.
“Aku membisu sejak dahulu kala, Aku berdiam diri, aku menahan hati-Ku; sekarang Aku mau mengerang seperti perempuan yang melahirkan, Aku mau mengah-mengah dan megap-megap.” (Yes 42:14)
Beberapa ahli sejarah Alkitab menemukan gambaran Allah sebagai ibu dalam Kitab Yeremia. Ketika Allah dikatakan “memperlihatkan belas kasihan” atas Israel, mereka berpendapat bahwa suatu penerjemahan yang lebih baik adalah: “Aku akan benar-benar memperlihatkan kasih sayang keibuan atasnya” (Yer 31:20). Contoh tunggal Perjanjian Baru ada dalam Ratapan Yesus atas Yerusalem: “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau!” (Mat 22:37; Luk 13:34).
Sejalan dengan teks-teks alkitabiah yang tersebar ini juga ada suatu tradisi Abad Pertengahan yang berbicara tentang Yesus sebagai ibu. Dengan menggunakan kata-kata Yesus sendiri, Anselmus berdoa, “Namun Engkau juga, Yesus yang baik, bukankah Engkaupun seorang ibu? Bukankah Engkau seorang ibu yang seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya?” (Patrologia Latina; Jesus as Mother)
Julian dari Norwich membandingkan makanan Ekaristi dengan seorang ibu yang memberi makan anaknya, katanya: “ Seorang ibu dapat memberi anaknya menyusu air susunya, tetapi Ibu Yesus yang mulia dapat memberi kita makan dengan diriNya sendiri, dan melakukannya dengan cara paling halus dan paling lembut, dengan skaramen yang diberkati, yakni makanan yang berharga dari kehidupan yang benar.”
Bernard dari Clairvaux, seorang kepala biarawan Cistercian sering menjelaskan Yesus sebagai ibu. “Ia akan menjadi ibumu, dan kamu akan menjadi anakNya,” demikian ia menulis dalam salah satu suratnya.
Dapat dikemukakan bahwa contoh-contoh dari Kitab Suci dan dari spiritualitas Abad Pertengahan ini menaruh perhatian hanya pada tindakan Allah dan tidak menyantuh secara mendalam hakikat ilahi itu. Jadi, mereka hanya mengemukakan sesuatu secara relatif tidak kontroversial, bahwa Allah melakukan beberapa hal yang dilakukan perempuan, tetapi bukan bahwa keberadaan Allah secara mendalam merefleksikan yang feminin, seseutu yang ingin ditegaskan bahwa Allah sebetulnya tidak mengilahikan patriarki dan merendahkan perempuan. Lalu apakah dalam struktur sosial kita, sebagai gambar Allah, kita masih hidup dan menghidupi ketidaksetaraan gender dengan mengsubordinasi perempuan? Padahal Allah sendiri tidak!

Wednesday, February 16, 2011

Artikulasi Nilai Islam dalam Politik: Menyoal Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dalam Masalah Islam dan Kenegaraan

Ahmad Syafii Maarif yang lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Sumpurkudus, Sumatera Barat adalah seorang cendikiawan, aktivis, sekaligus penulis yang produktif. Tidak sedikit sumbangsihnya di bidang pemikiran Islam.
Melihat pergolakan politik, agama, dan budaya yang terjadi di Indonesia, Syafii Maarif lewat pemikiran dan karyanya melakukan refleksi mendalam serta analisis yang tajam. Ia salah satu dari sedikit cendikiawan muslim Indonesia yang secara serius memikirkan nasib bangsanya.
Indonesia dikenal sebagai bangsa muslim terbesar di dunia. Lebih dari 80% penduduknya bergama Islam, sekalipun Islam tidak disebut dalam konstitusi sebagai agama negara, seperti negara Malaysia misalnya. Akan tetapi di negeri ini, justru para pemeluk agama telah gagal melakukan internalisasi nilai-nilai agamanya. Agama yang seharusnya menjadi salah satu solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan, justru kini menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan legitimasi kepentingaan kelompok. Bahkan, agama sering kali memberikan andil yang cukup besar terhadap radikalisme.
Menurut Maarif, hal ini bukan karena nilai-nilai Islam yang lumpuh dalam menawarkan solusi, melainkan otak dan hati penganutnya yang telah diracuni kepentingan duniawi yang membutakan. Maka, katanya lebih lanjut, janganlah mengherankan jika negeri ini terus terpuruk dalam persoalan yang multidimensional (sosial, politik, ekonomi, dan budaya).


I. Etika Qur’an dalam Berpolitik
Politik adalah sebuah kegiatan yang penuh dengan iklim panas yang selalu berkaitan dengan masalah kekuasaan. Sebuah sistem kekuasaan yang cenderung merusak moral dengan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan tanpa batas. Itulah sebabnya kita sering mendengar ungkapan: politik itu kotor. Maarif melihat bahwa situasi diperparah ketika perbuatan kotor itu dibungkus dalam jubah agama. Dalam ungkapan lain, tidak jarang agama dijadikan kedok untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan.
Bertolak kepada latar belakang lahirnya Islam di dunia, adalah untuk meluruskan segala sesuatu yang tidak semestinya lewat tokohnya, Nabi Muhammad, sekitar abad 7. Keberhasilan Nabi untuk mengubahnya telah diakui oleh kaum Muslim dan non-Muslim. QS Al-Baqarah:148 mengatakan agar manusia berlomba untuk menegakkan kebajikan, bukan berlomba dalam memicu peperangan, perseteruan dan kejagahatan (baca:politik). Etika Islam ketika berbicara dalam kerangka politik, seharusnya juga menjadi pedoman bangsa saat ini dengan melangkah dari doktrin Qurani, Amar Makruf Nahi Mungkar.
Apa yang dimaksud dari doktrin ini adalah untuk menempatkan manusia untuk bertindak makruf (apa yang diperintahkan agama dan dinilai baik oleh akal sehat) dan mungkar (apa yang dilarang agama dan dinilai buruk oleh akal sehat). Perintah dan larangan agama pada esensinya hanya punya satu tujuan: agar manusia secara perseorangan dan kolektif tetap berada di atas jalan lurus dan dalam bingkai moral yang jelas. Islam memang mengajarkan konsep utuh tentang kebaikan dan konsep utuh tentang keburukan. Yang baik menurut agama sebenarnya juga baik menurut akal sehat. Begitu pula sebaliknya. Akal sehat adalah akal yang dibimbing iman.
Doktrin ini tidak hanya berbicara di dalam lingkaran agama saja, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti sosial politik, ekonomi, dan budaya. Bagi Maarif penyelewengan interpretasi sangat membahayakan, ini bukti nyata yang terjadi di Indonesia. Agama, dalam hal ini Islam, tidak lagi menjadi rambu-rambu moral dalam tatanan politik kenegaraan. Agama justru dipakai sebagai tameng untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Islam yang seharusnya menciptakan keadilan justru muncul sebagai elemen yang menohok bangsa ini. Janganlah heran jika, ketidakteraturan menjadi sesuatu yang maklum di negeri ini.

II. Pertautan Islam dan Nasionalisme di Indonesia
Nasionalisme dalam konteks sejarah Indonesia tampaknya dimaknai sebagai kepercayaan dan tindakan politik untuk mengubah secara radikal status Indonesia sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka, upaya untuk meruntuhkan kolonialisme dan imperialisme. Dalam perkembangannya, nasionalisme Indonesia tidak saja ditujukan untuk melawan kolonialisme Barat, tetapi untuk melawan semua tipe kolonialisme. Disini Islam sebagai kekuatan pembebas tidak saja bergandengan dengan nasionalisme itu, tetapi sekaligus memberikan fondasi spiritual yang kokoh kepadanya. Oleh karena itu, Maarif menawarkan apa yang disebut sebagai pengembangan nilai-nilai Islam dalam berpolitik.
Pengembangan nilai-nilai Islam dalam politik terasa aktual dan relevan dengan realitas masyarakat muslim Indonesia. Menurut Maarif lebih lanjut, bangsa ini sekarang sedang dilanda ketidakpastian masa depan, sementara itu para elit santri yang berkuasa juga seperti kehilangan arah. Islam jelas dalam nilai-nilainya yang autentik sebenarnya tidak bertoleransi terhadap segala bentuk kekuasaan yang merenggut kebebasan dan martabat manusia.
Apakah nilai-nilai Islam itu? Dalam bahasa Al-Qur’an yang berkaitan dengan politik kekuasaan, terbaca misalnya dalam ungkapan berikut, “Orang-orang yang apabila kami beri posisi yang kukuh di muka bumi, mereka mendirikan salat, membayar zakat, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dan milik Allahlah muara segala urusan.” Oleh karena itu, tidak ada legalitas absolut dari suatu kekuasaan.
Maarif menggugat doktrin tentang ketaatan umat dalam praktik tidak saja ditujukan kepada penguasa politik, taat kepada ulama pun di kalangan muslim tertentu juga sering ditekankan. Seakan-akan ulama itu orang yang bersih tidak tergoda oleh kekuasaan. Risikonya sebenarnya hanya satu, terjadinya proses perbudakan politik dan spiritual. Umat kehilangan martabat dan kebebasan untuk berpendapat lain selain yang keluar dari mulut penguasa dan ulama.
Inilah kegagalan dalam penerapan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai dasarnya mengenai ketulusan, kejujuran, dan keadilan jarang dijadikan acuan dalam perilaku keseharian umat, kecuali dalam retorika politik. Sebagian orang begitu mudah terpukau oleh simbol-simbol keislaman yang tidak jarang dijadikan tameng untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang jahat. Islam bukan tidak menawarkan solusi, tapi ini dikarenakan kegagalan individu-individu dalam pelaksanaan praksisnya. Oleh sebab itu, orang luar akan sulit menerima bahwa Islam itu adalah solusi karena umat Islam sendiri lebih tertarik kepada kulit ajaran daripada isi.
Bagi Maarif, simbol semata tidak dapat dijadikan jaminan, selama perilaku kesehariannya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati dalam kearifan, kejujuran, toleransi, kejernihan berpikir, dan tidak rakus. Ini akan mempengaruhi kepada citra dan peraan Islam di Indonesia di masa yang akan datang.
Tentang masa depan Islam di Nusantara ini, cerah atau kelabu, akan sangat tergantung pada kemampuan dan kesigapan penganutnya untuk menawarkan nilai-nilai Islam sebagai solusi bagi berbagai kemelut yang sedang terjadi di Indonesia. Sebuah Islam yang tidak dapat memecahkan persoalan manusia, tidak akan mempunyai masa depan. Bagi Maaarif, hal ini tidak diragukan lagi bahwa nilai-nilai Islam seperti yang tercantum dalam sumbernya (Al-Qur’an) mempunyai banyak tawaran kepada politik dan kekuasaan dengan catatan bahwa si pemegangnya masih punya hati nurani dan tidak rakus terhadaap benda dan kekuasaan.
Masa lampau umat muslim dalam kaitannya dengan politik dan kekuasaan perlu dikaji secara kritis dan objektif agar kita tidak terjebak dalam kesalahan yang sama. Dan untuk menghadapi masa depan nilai-nilai Islam yang komprehensif perlu dirumuskan secara cerdas dan penuh tanggung jawab Unsur-unsur peradaban umat yang lepas dari nilai-nilai Islam yang autentik (baca: Al-Qur’an) janganlah dipertahankan sebab akan mengekang manusia untuk bergerak maju. Maarif mengatakan, mempertahankan unsur-unsur yang sudah lapuk sama dengan pemberhalaan masa lampau yang sia-sia yang bukan milik umat Islam.
Dengan situasi yang demikian, maka Indonesia akan memasuki sebuah babak baru, yakni sebuah babakan yang dipenuhi oleh harapan dalam segala aspek kehidupan. Bukan hanya harapan kosong, tetapi harapan yang berangkat dari keprihatinan untuk menuju kepada suatu perubahan yang lebih baik. Inilah yang disebut sebagai dualisme satu arah antara agama (Islam) dan politik (wacana kenegaraan).

III. Indonesia: Menuju Perubahan Format Politik Masa Depan Berangkat dari Keprihatinan
Syafii Maarif yang gerah dengan keadaan bangsa ini mencoba melihat evolusi Indonesia yang penuh dengan keprihatinan untuk menuju kepada format politik masa depan yang menjanjikan. Indonesia yang notabene merupakan sebuah negara kepulauan dengan subkultur dan bahasa yang beraneka ragam, ternyata tidak mudah untuk memenuhi cita-cita kemerdekaan yang oleh pemimpin sering diucapkan, yakni terciptanya sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Baginya, keadilan adalah sesuatu yang nun jauh disana, sementara kemakmuran baru dinikmati oleh sekelompok kecil warga masyarakat. Dengan krisis yang senantiasa terus terjadi ini bagi Maarif, cita-cita di atas tampaknya belum semakin mendekat.
Pendidikan yang semestinya jadi satu-satunya cara yang efektif untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia, keadaannya pun makin tertatih-tatih, seperti telah kehilangan perspektif selama beberapa dasawarsa. Berbagai metode baru pendidikan sudah coba dijalankan namun, belum ada perubahan signifikan di sektor ini. Peningkatan mutu masih menjadi pekerjaan rumah bagi pendidikan nasional Indonesia.
Berbagai persoalan yang menjurus kepada keprihatinan ini muncul mungkin dikarenakan budaya politik yang otoritarian selama sekian dasawarsa. Hal ini menjadi sebab utama mengapa para pemikir bangsa tidak punya peluang yang wajar untuk merealisasikan gagasan-gagasan kreatifnya.
Syafii Maarif dalam pemikirannya yang kritis serta dalam refleksinya mencoba menggambarkan bagaimana format politik Indonesia di masa depan. Indonesia beberapa kali digoyang oleh tindakan-tindakan subversif yang mengatasnamakan kelompok agama, sosial, atau budaya. Apakah dengan begitu model Demokrasi Pancasila sudah tidak relevan lagi di Indonesia? Sebenarnya secara teoritis-filosofis, gagasan tentang Demokrasi Pancasila tidak perlu digugat lagi karena sudah diterima hampir semua lapisan masyarakat. Dengan landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab, kita dapat membangun sebuah demokrasi yang kokoh dan sehat dengan syarat jangan ditafsirkan dengan subjektif.
Menurut Maarif, jika reformasi politik itu tidak dilakukan pada awal abad ke-21, maka akan memunculkan kekawatiran bahwa arus demokratisasi yang sudah semakin mendunia ini akan mengucilkan bangsa ini dari peradaban global. Dalam masalah demokrasi tidak ada salahnya kita mencotoh negara lain dengan syarat disesuaikan dengan kepribadian kita, tetapi dengan tidak mengebiri substansi demokrasi itu sendiri. Praktik politik yang sudah berjalan lebih dari setengah abad di negeri kita ini harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga, hingga pada saatnya mampu menciptakan sebuah demokrasi yang bermutu tinggi, baik secara teori maupun praktik.
Menurut Maarif, Indonesia dan Islam sekarang sedang mendapat tantangan yang sama, yakni tantangan dari peradaban barat yang begitu menjadi momok bagi dunia belahan ketiga seperti Indonesia. Bagaimana situasinya pada millenium yang baru ini, tidak ada yang dapat memprediksi. Tidak ada seorang pun yang dapat mengatakannya dengan pasti. Yang dapat dipastikan adalah bahwa perubahan, ke arah positif atau negatif, akan berjalan dengan sangat dahsyat, kencang, dan spetakuler. Peradaban Barat untuk beberapa tahun yang akan datang tampaknya masih akan memegang kendali secara global, walaupun tanda-tanda kemerosotannya sudah mulai kelihatan.
Menghadapi perubahan sejagat yang sedahsyat itu, bangsa Indonesia tidak boleh lagi merancang format politiknya berdasarkan kepentingan sesaat dan kelompok tertentu, Islam contohnya. Bangsa harus merancangnya berdasarkan pengalaman sejarah yang ditafsirkan bersama-sama secara objektif, rasional, dan adil. Sikap terhadap Pancasila yang selama ini secara teori diagungkan sementara dalam praktik dilecehkan harus dikubur bersama dengan tamatnya milenium kedua.
Sebagai seorang Islam dan berjiwa Pancasila, Maarif menekankan pentingnya kata dan perbuatan yang heruslah seiring sejalan, tidak seperti pengalaman selama ini. Dengan cara ini, diharapkan bahwa bangunan demokrasi yang sehat, kokoh, dan anggun merupakan format politik kita pada masa depan, yang dikemas sebagai jawaban kita menghadapi dunia yang sedang berubah dengan cepat dan tak terduga, dan mengundang segala kemugkinan.

IV. Sebuah Refleksi Atas Pemikiran Syafii Maarif
Islam,sebagai institusi, di Indonesia lebih sering dimanfaatkan dalam percaturan politik. Keadaan ini tanpa disadari merusak dari nilai etis Islam sendiri. Hal ini jelas berpengaruh terhadap keadaan di Indonesia yang terus terpuruk. Ini bukan kegagalan Islam, yang seharusnya mampu memberikan solusi. Ini adalah kegagalan dari masing-masing individu yang gagal dengan tepat meginterpretasikan dan mengamalkan nilai-nilai Islam.
Islam sebenarnya memiliki nilai-nilai Islami yang dapat didopsi dengan percaturan politik di Indonesia. Sebuah format politik yang mengarah kepada perubahan. Rasa-rasanya sudah cukup Indonesia bernaung dalam lingkaran kekuasaan yang otoritarian yang menyebabkan keterpurukan dan keprihatinan. Islam dan Indonesia kini diperhadapkan kepada pekerjaan berat untuk menempatkan Indonesia di hadapan peradaban global.
Namun, patut diingat dan ditekankan berangkat dari pemikiran Maarif, bahwa Islam merupakan sebuah agama yang mengatur moral tanpa ada keabsolutan mutlak. Maksudnya, umat harusnya mampu menyadari bahwa Islam tidaklah bersifat memaksa dan eksklusif, justru sebaliknya Islam sangat terbuka dengan keberagaman (agama, sosial, dan budaya) selama tidak bertentangan dengan moral.
Inilah yang menjadi kegagalan berpolitik bangsa ini, yang selalu mencoba menghubung-hubungkan agama dan negara tanpa interpretasi yang benar-benar Islami, yang benar-benar Qurani, dan yang benar-benar terbuka. Agama sering kali dijadikan kesempatan praktik jubah politik, untuk melegitimasikan kepentingan kelompok tertentu. Terang saja ini adalah perspektif yang keliru.

Wednesday, February 2, 2011

Kant, Ritschl, dan Harnack: Sebuah Pendekatan Injil Sosial

Abad ke-19 dimulai dengan suatu seruan untuk keadilan sosial. Dalam Religion within the Limits of Reason Alone. Immanuel Kant mengaitkan ungkapan “Kerajaan allah” sebagai sesuatu yang membungkus cita-cita Yesus sebagai umat manusia. Ia memberikan “Kerajaan Allah” itu suatu penafsiran sosial dan moral, dengan memandangnya sebagai “suatu persemakmuran etis” atau “umat Allah di bawah hukum-hukum etis” Kant tidak mengidentifikasikan Gereja dengan Kerajaan Allah, tetapi melihat Gereja sebagai yang tunduk kepada kerajaan itu. Gereja hanyalah satu bagian dari masyarakat yang lebih besar dan harus mengarahkan berbagai usahanya untuk mewujudkan cita-cita dari persemakmuran etis yang murni itu.
Setelahnya, masih pada abad ke-19, Albert Ritschl mengumandangkan tema-tema Kantian ini. “Kerajaan Allah” tulis Ritschl dalam buku The Christian Doctrine of Justification and Reconciliation, “sepenuhnya merupakan konsep keagamaan, tetapi juga merupakan “Ide fundamental dari etika”, dan etika adalah fondasi dari suatu masyarakat yang adil. Meskipun pendirian suatu masyarakat yang adil itu adalah kewajiban dari semua orang Kristen, mereka harus melaksanakannya secara langsung melalui saluran-saluran politis yang biasa. Ritschl mengatakan “adalah perlu membedakan antara memandang para pengikut Kristus, pertama, di bawah konsep Kerajaan Allah, dan kedua, di bawah konsepsi komunitas yang beribadah atau Gereja.” Sebagai komunitas yang beribadah, Gereja hanya menjadi pelaku yang tidak langsung dari perubahan sosial.
Akhirnya, dalam karyanya yang sangat berpengaruh What is Chritianity? Adolf Harnack menyatakan,” Injil adalah suatu berita sosial, yang kokoh dan sangat berkuasa dalam kekuatannya, Injil adalah pemberitaan tentang solidaritas dan persaudaraan demi kaum miskin.” Selanjutnya, ”Murid Yesus seharusnya mampu meninggalkan pengejaran atas hak-haknya dan seharusnya bekerja sama dalam pembentukan suatu bangsa dari para saudara, yang didalamnya keadilan dilaksanakan, bukan lagi dengan bantuan kekuatan, melainkan dengan ketaatan yang bebas pada kebaikan, dan yang dipersatukan bukan oleh berbagai peraturan hukum melainkan oleh pelayanan kasih.” Walaupun berita itu bersifat sosial, dalam pandangan Harnack, Kerajaan Allah adalah suatu keadaan batiniah bagi setiap individu. Melalui individu-individu yang bertobat, suatu masyarakat yang adil akan diwujudkan. Secara efektif, Gereja sebagai lembaga tidak memainkan peranan langsung dalam mewujudkan keadilan sosial. Namun berbagai persoalan masyarakat industri, seperti yang berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, membawa perubahan dalam pandangan banyak orang yang ditumbuhkan oleh tradisi Protestan Liberal.