GKI Harapan Jaya

Tuesday, March 1, 2011

Menelusuri Simbol-Simbol Allah Yang Feminin


Kaum feminis telah mulai memperjuangkan penggunaan gambaran Allah yang bersifat perempuan. Mereka telah berbicara tentang Allah sebagai Ibu sama seperti Bapa dan menggunakan kata ganti she samahalnya dengan he. Berbagai usulan ini kadang-kadang telah menyinggung perasaan dan mengundang rekasi negatif yang kuat. Banyak dari isu itu tidak dipahami dengan baik, bahkan terkadang terkesan membingungkan, namun meskipun ada kebingungan, penjelasan tetap dimungkinkan. Mengutip apa yang dikatakan oleh Paul Tillich dalam bukunya Systematic Theology: “Bila Allah disimbolkan sebagai ‘Bapa’, Ia dibawa turun ke dalam hubungan manusia antara bapa dan anak. Namun, pada saat yang sama hubungan manusiawi ini dikuduskan ke dalam suatu pola hubungan yang ilahi-manusia. Bila ‘Bapa’ dipakai sebagai suatu simbol untuk Allah, kebapaan dilihat dalam kedalaman theonomous-nya dan sakramentalnya.”
Oleh karena itu, dengan melukiskan Allah dalam gambaran laki-laki. Kitab Suci dan tradisi tampaknya meninggikan hal yang berkaitan dengan pria. Pengilahian seperti itu bagi banyak kaum feminis kelihatannya menjadi suatu bentuk penyembahan berhala. Rosemary Ruether dalam buku Sexism and God-Talk menulis, “ Penyembahan berhala itulah yang membuat laki-laki lebih ‘menyerupai Allah’ daripada perempuan. Menggunakan gambaran dan nama Yang Kudus untuk membenarkan dominasi patriakal merupakan penghujatan.”
Beberapa orang feminis menyimpulkan bahwa teisme tradisional itu sedemikian patriakal sehi ngga harus dibuang. Dengan berbicara atak kelompok feminis, Naomi Goldenberg dalam buku Changing of The Gods menulis, “Suatu kebudayaan yang mempertahankan gambaran maskulin untuk keilahiannya yang tertinggi tak dapat memperkenan para perempuannya mengalami dirinya sendiri sebagai yang sederajat dengan kaum laki-laki.”
Reaksi seperti ini mendorong munculnya beberapa usulan. Beberapa orang tertarik pada spiritualitas Amerika Pribumi; dalam spiritualitas ini karakterisasi dari Roh Agung dan manifestasinya dalam keberadaan roh laki-laki dan perempuan tampak lebih egalitarian. Ada sebagian juga yang mencoba berpaling pada politeisme, dengan alasan-alasan yang sama. Bukan hanya karena para dewa dan dewi memiliki derajat yang sama, melainkan juga kebajikan-kebajikan yang dicontohkan oleh pelbagai figur ilahi (cinta, keadilan, kebijaksanaan, dan lain-lain) dipandang karena nilai intrinsiknya dan tidak ditempatkan dalam suatu hierarki.
Yang lain lagi, tanggapan yang cukup berbeda menuntut pemikiran ulang makna dari konsep Kristen tentang Allah yang maskulin itu. Dapatkah Allah secara sederajat dijelaskan sebagai perempuan seperti sebagai laki-laki, sebagai Ibu seperti Bapa? Bebeberapa tokoh feminis semisal: Anne Carr, Sallie McFague, Rosemary Radford Ruether, Elizabeth Schussler Fiorenza, dan Elizabeth A. Jhonson mendalami hal ini dan secara bijaksana memaparkan usulan-usulanya dengan baik.
Perlu disadari, kesulitan kita untuk mendapatkan suatu visi yang jelas tentang isu-isu itu adalah konsep kita yang kabur tentang gender. Salah satu teori beranggapan bahwa konsep ini terutama didasarkan atas biologi reproduktif, bahwa sitem-sistem reproduksi yang berbeda dari laki-laki dan perempuan membentuk pemikiran dan perasaan kita tentang diri kita sendiri. Teori yang lain beranggapan bahwa definisi tentang gender bersemi terutama dari ketidaksadaran, dan bahwa ketidaksadaran itu pada akhirnya menentukan cara-cara yang didalamnya pola pemikiran kita dan ekspresi kultural kita ditata. Teori lain beranggapan bahwa gender merupakan suatu bangunan sosial. Karena laki-laki dan perempuan dipandang secara berbeda dalam kebudayan yang berbeda.
Oleh karena itu, dalam ulasan berikut kita akan merefleksikan kemungkinan untuk menggunakan gambaran perempuan untuk Allah, tanpa masuk secara khsus dalam perdebatan sosiologis mengenai konsep gender. Dalam hal ini, kita akan memperhatikan pemikiran Elizabeth Jhonson dalam bukunya, She Who Is, sebab sumbangan pemikirannya mengenai hal-hal yang kita gumuli di atas, menjadi pelopor untuk karya-karya feminis lainnya.
Langkah pertama adalah melandaskan bahwa bahasa inklusif tentang Allah dalam suatu bahasa doktrinal yang kokoh. Pernyataaan dalam dalam Kitab Kejadian bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut gambar Allah (1:27) telah tertanam secara mendalam dalam tradisi teologis. Jika demikian halnya, praanggapan awal semestinya adalah bahwa metafora untuk Allah dapat secara wajar ditarik dari kehidupan dan pengalaman perempuan sama halnya laki-laki.
Dalam beberapa hal, Kitab Suci benar-benar melakukan itu. Dalam Kitab Yesaya, Allah mempersamakan diriNya dengan seorang ibu yang menyusui bayinya dan memelihara Israel bagaikan seorang bayi (Yes 49:15; 66:13). Memang gambaran tentang ibu terkadang amat hidup.
“Aku membisu sejak dahulu kala, Aku berdiam diri, aku menahan hati-Ku; sekarang Aku mau mengerang seperti perempuan yang melahirkan, Aku mau mengah-mengah dan megap-megap.” (Yes 42:14)
Beberapa ahli sejarah Alkitab menemukan gambaran Allah sebagai ibu dalam Kitab Yeremia. Ketika Allah dikatakan “memperlihatkan belas kasihan” atas Israel, mereka berpendapat bahwa suatu penerjemahan yang lebih baik adalah: “Aku akan benar-benar memperlihatkan kasih sayang keibuan atasnya” (Yer 31:20). Contoh tunggal Perjanjian Baru ada dalam Ratapan Yesus atas Yerusalem: “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau!” (Mat 22:37; Luk 13:34).
Sejalan dengan teks-teks alkitabiah yang tersebar ini juga ada suatu tradisi Abad Pertengahan yang berbicara tentang Yesus sebagai ibu. Dengan menggunakan kata-kata Yesus sendiri, Anselmus berdoa, “Namun Engkau juga, Yesus yang baik, bukankah Engkaupun seorang ibu? Bukankah Engkau seorang ibu yang seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya?” (Patrologia Latina; Jesus as Mother)
Julian dari Norwich membandingkan makanan Ekaristi dengan seorang ibu yang memberi makan anaknya, katanya: “ Seorang ibu dapat memberi anaknya menyusu air susunya, tetapi Ibu Yesus yang mulia dapat memberi kita makan dengan diriNya sendiri, dan melakukannya dengan cara paling halus dan paling lembut, dengan skaramen yang diberkati, yakni makanan yang berharga dari kehidupan yang benar.”
Bernard dari Clairvaux, seorang kepala biarawan Cistercian sering menjelaskan Yesus sebagai ibu. “Ia akan menjadi ibumu, dan kamu akan menjadi anakNya,” demikian ia menulis dalam salah satu suratnya.
Dapat dikemukakan bahwa contoh-contoh dari Kitab Suci dan dari spiritualitas Abad Pertengahan ini menaruh perhatian hanya pada tindakan Allah dan tidak menyantuh secara mendalam hakikat ilahi itu. Jadi, mereka hanya mengemukakan sesuatu secara relatif tidak kontroversial, bahwa Allah melakukan beberapa hal yang dilakukan perempuan, tetapi bukan bahwa keberadaan Allah secara mendalam merefleksikan yang feminin, seseutu yang ingin ditegaskan bahwa Allah sebetulnya tidak mengilahikan patriarki dan merendahkan perempuan. Lalu apakah dalam struktur sosial kita, sebagai gambar Allah, kita masih hidup dan menghidupi ketidaksetaraan gender dengan mengsubordinasi perempuan? Padahal Allah sendiri tidak!

No comments:

Post a Comment