GKI Harapan Jaya

Tuesday, November 15, 2011

Yesus “Si Jagoan Solidaritas” (Yohanes 8:2-11)

Kejadian ini berlangsung ketika Yesus mengajar di Bait Allah. Ahli-ahli Taurat dan Farisi mencari Yesus ketika Ia dikerumuni orang banyak. Niat mereka adalah untuk mencobai/menjebak Yesus dan membuat Ia bersalah di hadapan pemimpin-pemimpin termasuk pemimpin dalam pemerintahan sipil (Romawi). Pokok pencobaan itu dasarnya adalah bagaimana Yesus memandang Taurat Musa.
Para pemimpin agama itu mencari kasus yang kira-kira mencolok mata, apakah Yesus akan mempersalahkan perempuan yang berzinah dan membiarkan ia dihukum rajam sesuai ketentuan Taurat. Tetapi apabila Yesus berbuat demikian, maka Yesus akan dipersalahkan oleh penguasa sipil (Romawi). Sebab penguasa sipil Romawi tidak akan membiarkan hukuman itu terjadi, karena hukuman semacam ini tidak terdapat pada hukum-hukum sipil Romawi. Jadi kasus semacam ini dirasa cukup oleh pemimpin agama itu, apakah Yesus akan mengelak keputusan penghukuman dan membiarkan dosa yang diperbuat perempuan itu.
Mereka menempatkan Yesus sebagai hakim atas kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh perempuan yang berzinah tersebut. Kendati hal itu mereka lakukan dengan maksud untuk mencobai Yesus (ayat 6a), namun alasan yang mereka ajukan begitu sangat serius, yakni perbedaan 2 hukum (hukum agama dan hukum sipil). Jika menuruti hukum Taurat Musa, perempuan yang demikian harus dihakimi - dihukum mati dengan cara dilempari dengan batu sampai mati (ayat 5, bdk. Imamat 20:10; Ulangan 22:22-24). Meski hal ini jelas merupakan tipe "penghakiman massa". Penghakiman dalam konteks demikian tidak hanya dilakukan sebagai reaksi spontan atas tindak kejahatan dan dosa perzinahan tetapi juga semakin menemukan motifnya yang suci yakni sebagai usaha pembelaan atas tegaknya hukum Taurat. Dengan kata lain, melempari si pendosa itu dengan batu sampai mati adalah suatu kebenaran seturut hukum. Tetapi pada masa itu hal semacam ini tidak sesuai hukum sipil Romawi. Tuhan Yesus mengerti persoalan itu, bahkan lebih dalam, yaitu bahwa persoalan moralitas itu dibawa oleh mereka yang hendak menghakimi perempuan itu adalah juga orang-orang yang berdosa. Mereka merasa diri orang benar dan hanya bisa melihat serta menilai kekurangan dan kesalahan orang lain, kemudian menghakimi.

Kita baca Ayat 6 : "Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah (, sehingga sepertinya Dia tidak sedang mendengarkan mereka – KJV)."
Apakah yang kira-kira ditulis oleh Yesus? Alkitab tidak menjelaskannya. Dalam beberapa tafsiran mengatakan apa yang dilakukan Yesus itu menunjukkan bahwa Yesus sedang menunjukkan bahwa Dia adalah Allah. Siapakah yang menulis ke-sepuluh firman dengan jariNya diatas dua loh batu yang diberikan kepada Musa di atas gunung Sinai? Alkitab berkata bahwa perintah-perintah ini ditulis oleh jari Allah :

* Keluaran 31:18 :
"Dan TUHAN [YHWH] memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan dia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu, yang ditulisi oleh jari Allah."

Hal itu menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah itu sendiri. Sementara Yesus menulis di atas tanah, ini seolah-olah menunjukkan, "Lihat, Akulah Allah yang menuliskan hukum-hukum itu dengan jari tangan-Ku." Dan sebenarnya, ketika Dia sedang menulis, orang-orang Farisi yang membawa perempuan yang terbukti melakukan dosa-dosa itu. Dan inilah fungsi dari hukum Allah, hukum ini membuktikan adanya dosa. Hukum itu menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang sangat-sangat berdosa.
Setelah para pendakwa itu terus-menerus bertanya kepada Yesus, Dia menjawab pertanyaan mereka dengan penuh otoritas : "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
Kemudian Yesus membungkuk sekali lagi, dan menulis di tanah dan Alkitab tidak juga menjelaskan apa yang ditulisNya itu. Melanjutkan tafsiran seperti diatas tentang hal ini, Dia membungkuk lagi dan menulis dengan jari-Nya. Dan sekali lagi, kisah ini menggambarkan Dia yang menulis pada dua loh batu.
Dalam kasus ini kita mendapatkan pelajaran yang menarik dan sangat berharga, karena Yesus tidak melakukan satupun dari dua hukum itu (Taurat, maupun Hukum Sipil), tetapi Yesus mengalihkan tantangan kepada orang-orang yang ingin menjebaknya. Tuhan Yesus membawa persoalan itu ke dalam hati nurani mereka. Ia mengubah kaidah hukum menjadi kaidah moral.
Tantangan Yesus yang penuh otoritas itu membuat para pendakwa kehilangan keberanian untuk membantah apalagi mempersalahkan jawaban yang diberikan Yesus itu. Kepergian para pendakwa seorang-demi-seorang mulai dari yang paling tua, mempertajam kisah ini. Bahwa, apa yang dilakukan Yesus cukup membuat para pendakwa itu tidak merasa senang, tetapi mereka juga tidak mampu menanggapi tantangan Yesus itu. Sehingga akhirnya tinggallah Yesus dengan perempuan itu.
Di lain pihak, tantangan Yesus itu juga telah menunjukkan dan memberikan arti keadilan bagi hidup perempuan itu. Bahkan, lebih jauh, Yesus juga menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar degan pengampunan. Lalu kata Yesus “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (ay.11)
Tindakan Yesus untuk tidak menghukum perempuan itu secara fisik bukan berarti Yesus permisif terhadap dosa. Kata-kataNya justru berkaitan dengan nasehat yang kuat, teladan dan kasih. Hal ini tepat, para pelanggar-pelanggar pun perlu mendapat kasih, tetapi Yesus dengan jelas tidak mengizinkan perbuatan dosa/perzinahan, dan menuntut kerelaan untuk mengubah hidup agar lebih baik, itu terlihat jelas dengan perintahNya kepada perempuan itu yaitu “jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Demikian juga bagi kita, kita tidak dapat mengelak untuk mendengar panggilan dari sesama manusia (kristen atau bukan). Sikap solidaritas yang sejati dapat kita pelajari dari Yesus Kristus, sebagai manusia yang telah membuka diri terhadap sesamanya. Dia seperti orang Samaria yang murah hati, yang tidak memandang bulu, tetapi menjadi sesama untuk yang terluka. Yesus Kristus juga mengalami tindakan sesamanya dengan menerima kekerasan dan penindasan. Dia selalu melihat dalam diri orang lain, pada orang-orang yang memanggil dan membutuhkan Dia. Dengan sikap solidaritas, kita sebagai individu maupun kolektif, ditantang untuk senantiasa memandang orang lain dengan “meminjam mata Yesus.”