GKI Harapan Jaya

Thursday, March 14, 2013

ROTI DAN ANGGUR PERJAMUAN BAGI ALI (Sebuah Permenungan di Sekitar Perjamuan Kudus dari Pengalaman Imajiner)



          Hari Minggu ini menjadi hari yang nampaknya tidak biasa bagi Ali. Biasanya ia bangun siang hari. Ia memaklumi kebiasaannya itu karena pada hari kerja ia harus bangun pagi-pagi buta untuk mengejar kereta ke arah Jakarta. “Biarin deh ngantuk-ngantuk yang penting perjamuan!” seru Ali pada dirinya sendiri.
Ali rupanya termotivasi cerita Toro, temannya, yang menyaksikan “keajaiban” perjamuan kudus yang diikutinya di salah satu gereja. Toro yang sebelumnya kerja serabutan, kini punya pekerjaan tetap, dan menurut kesaksiannya itu karena perjamuan kudus yang rutin ia ikuti di gerejanya.
Ali yang mendengar kabar bahwa ada kebijakan baru di perusahaannya untuk pengurangan tenaga kerja menjadi sangat gelisah dalam menjalani hari-harinya. Termotivasi pengalaman Toro, maka perjamuan kudus 7 Oktober ini dilihatnya adalah jalan keluar atas kegelisahannya. Ia berharap Tuhan adil, tidak hanya “mengajaibkan” perjamuan kudus di gereja Toro, tapi juga perjamuan kudus di gerejanya.
Pengalaman Ali, mungkin pernah kita alami juga. Contohnya, ketika kita berharap Tuhan bisa bekerja secara ajaib dengan memagiskan perjamuan kudus. Akibatnya perjamuan kudus dianggap sebagai sarana pengobatan dari penyakit, sarana tolak miskin ataupun tolak sengsara.
Bagaimana semestinya memahami Perjamuan Kudus? Perjamuan Kudus merupakan salah satu bagian yang diajarkan dalam doktrin gereja. Doktrin gereja ini sangat riil dengan kehidupan kita sehari-hari sebagai umat Tuhan yang hidup bergereja karena doktrin gereja ini berkenaan langsung dengan pemerintahan gereja, sakramen maupun sarana-sarana anugerah yang lain. Perjamuan kudus merupakan anugerah Tuhan pada kita.
Teologi Calvin misalkan, menyatakan roti itu tetaplah roti dan anggur itu tetaplah anggur tetapi perjamuan kudus itu bukan semata-mata hanya mengenang Kristus. Tidak! Perjamuan kudus merupakan sarana anugerah dimana Kristus hadir secara rohani di dalam karya Roh Kudus sehingga dengan pengertian kebenaran dan iman maka Roh Kudus bekerja sedemikian rupa membawa kita lebih dekat pada Kristus dan masuk dalam hadirat Kristus bahkan lebih dekat ketika kita mendengar kebenaran Firman Tuhan.
Sepintas, orang sulit membedakan manakah yang benar dan bagaimana mengkompromikannya. Calvin melihat bahwa roti dan anggur secara harafiah adalah roti dan anggur namun janganlah kita mensakralkan roti dan anggur itu sendiri. Bukan roti maupun anggur itu yang memberikan mujizat. Tidak! Tuhan Yesus mengatakan, ”Inilah tubuh-Ku...” maka secara rohani, Ia hadir dalam karya Roh Kudus sehingga ketika kita menerima roti dan anggir dengan iman dan pengertian yang benar maka Roh Kudus akan bekerja sedemikan rupa membuat kita memahami kebenaran dan kebenarn itu tertanam dalam hidup kita.
Mengapa sakramen itu menjadi sarana anugerah? Apakah kebenaran Firman Tuhan saja itu tidak cukup bagi kita? Bukankah yang diajarkan dalam sakramen juga telah diajarkan dalam Firman Tuhan? Calvin memberikan jawaban yang sangat berhikmat, yakni pada hakekatnya, Tuhan tidak mau memakai benda-benda yang bersifat fisik untuk menyatakan keberadaan diri-Nya. Tuhan tidak ingin manusia jatuh dalam penyembahan berhala seperti yang pernah dilakukan oleh bangsa Israel pada Perjanjian Lama. Allah adalah Roh, Dia ingin manusia datang dalam roh dan kebenaran. Tuhan memerintahkan pada kita untuk melakukan sakramen Perjamuan Kudus dimana di dalamnya sangat menekankan aspek fisik, roti dan anggur karena kelemahan manusia sehingga firman saja tidak cukup bagi manusia.    
            Ketika kita menerima kebenaran firman, diantara lima panca indera kita, indera manakah yang bekerja? Pastilah indera pendengaran kita yang lebih dominan, bukan? Namun perhatikan, pada saat Perjamuan Kudus itu dijalankan maka bukan hanya indera pendengaran kita yang bekerja tetapi semua indera yang lain turut bekerja.
Dengan mata, kita melihat roti yang melambangkan tubuh Kristus, anggur yang melambangkan darah Kristus yang tercurah. Dengan telinga, kita mendengar firman yang menyertai perjamuan kudus. Dengan mulut, kita mengecap tubuh yang terpecah dan darah yang tercurah dan tangan kita memegang roti dan anggur yang menjadi lambang dari darah yang tercurah. Dengan hidung, kita menghirup aroma dari roti dan anggur. Inilah keunikan dari sakramen Perjamuan Kudus dimana semua panca indera kita terlibat di dalamnya untuk menyatakan akan kebenaran Allah yang dinyatakan kepada setiap kita. Tuhan melihat bahwa manusia itu terlalu lemah sehingga tidak cukup kalau kita hanya mendengar dan melihat kebenaran saja tetapi Tuhan mau menyatakan kebenaran-Nya melalui seluruh panca indera kita.
Ketika perjamuan kudus itu dilakukan, kita memegang roti, kita memegang bukti keberdosaan kita, kita melihat dan juga mengecap betapa kita adalah orang yang berdosa. Pada waktu kita menerima perjamuan kudus dengan pengertian yang benar dan dengan iman maka disana barulah kita memahami bahwa Perjamuan Kudus bukan sekadar ‘kenang-kenangan’, namun bukan pula ajang magis. Melainkan kita menyadari bahwa kita adalah orang berdosa. Bahwa kita semakin disadarkan betapa indah dan mulianya kasih yang Tuhan berikan pada setiap kita orang yang berdosa. Itulah keajaiban PK. Amin.

Thursday, December 6, 2012

Persembahan Usro (1) Lukas 21:1-4



        Usro garuk-garuk kepala seraya tak habis pikir ketika melihat semakin banyaknya amplop persembahan yang diedarkan di gereja.
“Ah amplop melulu!” gerutu Usro dalam hati.
Padahal ia bukan juga orang yang “rajin” memberikan persembahan, namun ia selalu merasa ia punya hak untuk mengkritik soal pengaturan dan perapihan berkaitan dengan tata cara persembahan di gerejanya.
            Apa makna persembahan? Walau terkesan basi, tapi nampaknya kita memang belum selalu paham makna persembahan. Persembahan tentu bukanlah karena atas dasar pola pikir bahwa “di dunia ini tak ada yang gratis”. Atau, jika saat ini kita masih berpemahaman, ”memberi persembahan supaya mendapat lagi yang lebih banyak”, maka ini juga berbanding terbalik dengan Teologi Persembahan yang memberi penekanan, ”memberi persembahan karena sudah diberi terlebih dahulu”. Hal ini menjadi dasar dalam keseluruhan konsep persembahan, membuat bagaimana seharusnya kita memaknai persembahan.
Lukas 21:1-4, membuat kita belajar apakah ciri khas persembahan yang sejati. “Si janda miskin” yang tidak disebut namanya ini, malah menjadi contoh Yesus mengenai sikap persembahan yang sejati. Sudah janda, miskin lagi. Si janda ini memberi persembahan ”dua peser”. ”Peser” dalam bahasa Yunani adalah ”lepton”, mata uang terkecil di antara orang Yahudi. Orang Romawi tidak mengenal dan memakai ”lepton” karena mata uang terkecil mereka adalah ”quadran” (LAI menggunakan istilah ”duit”). Satu ”quadran” sama dengan dua ”lepton”.
Yesus bahkan menilai persembahan “si janda miskin” amat besar, bahkan lebih besar dari orang-orang kaya. Kenapa begitu? Karena persembahan “si janda miskin” bermotivasi tulus. Dalam perikop sebelumnya, dikatakan ahli Taurat suka duduk di ”tempat terdepan” dalam ibadah dan ”tempat terhormat” dalam perjamuan. Sedangkan dalam perikop sesudah cerita tentang persembahan janda miskin ini, Lukas mencatat tentang orang-orang di Bait Allah yang mengagumi bangunan dan batu yang indah.
Apa yang ingin dikatakan oleh Lukas? Bahwa, agama bisa dipakai untuk kemuliaan dan kekayaan diri. Tetapi dalam tangan si janda miskin ini, agama dipakai untuk mempertontonkan pengorbanan diri. Cinta kepada manusia dan cinta kepada Allah dipraktekkan dalam agama, dan bukan cinta kepada diri. Motivasinya si janda miskin, hati yang tulus untuk Tuhan bukan untuk diri.
Dengan kata lain, kita belajar, persembahan adalah ekspresi sikap orang Kristen terhadap uang. Tuhan Yesus mengatakan, ”di mana hartamu berada, di situ hatimu”. Artinya, di sini, konsep kepemilikan. Jikalau harta kita adalah uang, maka kita akan memakai Tuhan bagi uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan, maka kita akan memakai uang bagi Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit memberi persembahan. Sebaliknya, orang yang mencintai Tuhan, mudah memberi persembahan.
Persembahan tidak memaksa, karena itu adalah pengucapan syukur. Mungkin Usro tak sepenuhnya salah, tapi karena gereja kurang menginformasikan tujuan dari pengaturan persembahannya tersebut. Namun lebih dari itu semua, Yesus mengajarkan kita bahwa bila persembahan tidak dilakukan dengan sukacita, maka ia tidaklah menjadi berkat.

Belajar Dari Pengalaman Si Ucup



           

"Jikalau seseorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri,
bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah" (I Tim 3:5)
   


                Seorang GSM bertanya kepada anak Sekolah Minggunya yang bernama Ucup, "Ucup, maukah nanti jadi guru sekolah minggu?"
Ucup pun sontak menjawab, " Mau kak!"
Pertanyaan sang GSM belum berhenti disitu, ia kembali bertanya, " Kalau jadi penatua seperti papi, mau gak?"
Raut muka Ucup berubah suram dan berkata: "Nggak mau, kak! Papi sibuk melulu. Nggak ada waktu liburan denganku."
                Pandangan dan perasaan Ucup bisa jadi tidak jauh berbeda dengan keluarga kita. Contohnya, ketika salah satu anggota keluarga kita terpanggil menjadi penatua, pendeta, atau aktivis gereja. Dari awalnya kita mendukung si "terpanggil", lambat laun berubah menjadi pendemonya. Mungkin ini karena kita merasa "si terpanggil" lebih sibuk mengurus pelayanan gerejanya ketimbang keluarganya. Kalau sudah begini, pelayanan tidak lagi menjadi berkat.
                Lalu apa yang Alkitab katakan mengenai ini? I Tim 3:5 menyampaikan bahwa keluarga tidak kalah penting untuk dilayani ketimbang pelayanan jemaat. Atau kalau mau menggunakan kalimat singkat menggunakan bahasa sehari-hari ayat ini berkata, "kalau gak bisa ngurus keluarga, ya gak usah ngurus pelayanan jemaat!"
                Memang banyak orang sulit untuk mengelola dirinya dalam menggunakan waktu, ketika aktif dalam pelayanan. Roh terasa menyala-nyala. Akibatnya, urusan keluarga pun menjadi urusan belakangan. Anggota keluarga lain pun merasa seperti si Ucup. Kegiatan pelayanan dilihat sebagai "parasit" dan menjadi pelayan adalah "hantu".
                Melalui surat Timotius kita dapat belajar dua hal. Pertama, jadikan keluarga bukan sebagai tempat persinggahan. Tetap sediakan waktu kebersamaan keluarga dengan memanfaatkan waktu libur kerja/weekend. Hidupilah juga persekutuan keluarga setiap hari, sehingga buah pelayanan juga nyata bagi keluarga. Lalu jangan menjadi "singa" di rumah, tetapi "merpati" di gereja. Ingat! Keluarga Anda adalah ruang cinta kasih Allah, yang harus juga merasakan cinta kasih Allah.
                Kedua, jangan jadikan pelayanan sebagai tempat pelarian. Pelayanan adalah pengucapan syukur dan tanggung jawab. Bukan sisa-sia waktu! Tidak pas kita rajin ikut kegiatan gereja karena pusing dengan urusan rumah. Bereskan dulu urusan rumah, sebelum berpelayanan! Karena keluarga pun adalah ruang cinta kasih Allah, dimana cinta kasih itu harus turut kita nyatakan.
                Kami belajar dari pengalamanmu, Cup! Semoga papi si Ucup membaca ini. Semoga si Ucup kelak dapat menjadi penatua atau pendeta. Semoga keluarga Ucup menghidupi cinta kasih Allah. Apakah ada anggota keluarga kita yang merasa seperti si Ucup?