GKI Harapan Jaya

Thursday, April 14, 2011

Sekitar 7 Hari Menjelang Kebangkitan-Nya: Kenapa Ada Palem dan Untuk Apa Pembasuhan Kaki?

Bila kita masih ingat dalam renungan lalu tanggal 13 Maret 2011, disebutkan akan upaya mengembalikan Paska sebagai puncak Ibadah Jemaat, dengan melihat kekayaan tradisi gereja mula-mula dalam memperingati peristiwa agung Paska melalui Masa Paska dan Pentakosta. Maka, di dalam tulisan ini kita akan secara khusus menilik akan Minggu Palmarum –dirayakan tepat minggu ini tanggal 17 April 2011-, dan Kamis Putih –dirayakan tanggal 21 April 2011-. Dua peristiwa paradoks sebelum Yesus disalibkan dan bangkit. Satu peristiwa menggambarkan Dia dielu-elukan, sedangkan persitiwa lain menggambarkan sikap Dia yang menghamba.
Menjelang akhir abad ke-4, setiap menjelang hari raya Paska, banyak peziarah yang datang ke kota Yerusalem dan melalukan prosesi ke situs-situs bersejarah yang berhubungan dengan sengsara, kematian, dan kebangkitan Yesus. Prosesi tersebut memakan waktu seminggu dan dimulai sejak hari Minggu sebelum hari raya Paska, atau yang kini disebut Minggu Palmarum (Palem). Hal itu dilakukan merujuk kepada kesaksian penulis Injil Matius, Markus, dan Lukas yang mengungkapkan peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem sebagai hal yang istimewa. Sebab hal itu hanya terjadi sekali dalam hidup Yesus dan terjadi tujuh hari sebelum kebangkitan-Nya. Penulis Injil Matius (21:1-11) mengisahkan bahwa Yesus masuk ke kota Yerusalem dari sisi sebelah Timur, dari Bukit Zaitun. Hal tersebut dilakukan sebagai penggenapan dari Zakaria 14:4. Matius juga memahami hal tersebut sebagai pemenuhan atas Yesaya 62:11 dan Zakaria 9:9. Dalam kesaksiannya -penulis Injil Matius- mengisahkan bahwa, pada waktu itu orang banyak menyambut Yesus dan berseru: “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosanna di tempat yang mahatinggi!” (ay. 9). Dalam liturgi Minggu Palmarum, -biasanya- kepada jemaat dibagikan daun palem dan ruang kebaktian dipenuhi dengan ornamen palem, karena daun palem menjadi lambang perdamaian, kehidupan, kemenangan, dan pengharapan akan pertolongan Tuhan.
Berikutnya, Kamis Putih, kita diajak untuk merenungkan makna perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus bersama para murid. Setiap orang bisa menafsirkan atau memaknai peristiwa ini. Pada malam Kamis Putih yang menarik adalah upacara pembasuhan kaki. Hal ini pun sudah banyak orang yang berusaha memaknainya. Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Murid membasuh kaki gurunya sebab menganggap guru mempunyai status yang lebih terhormat daripadanya. Pada malam Kamis Putih, Yesus mencuci kaki para murid. Jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas dihormati gurunya sedemikian rupa. Tapi Yesus tidak mundur dengan penolakan Petrus, bahkan Dia mengancam kalau Petrus tidak mau maka dia tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya. Tentu yang gelisah dan menolak bukan hanya Petrus melainkan semua murid dan mungkin juga Yudas. Apakah Yesus hanya mau mencari sensasi saja?
Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Yesus sejak awal berusaha membuat sebuah hukum baru, yang berbeda dengan aturan yang berlaku pada umumnya di dunia ini. Yesus membalik aturan dunia (world view) ini. Dia mengajarkan penghormatan dari atasan pada bawahan. Dari guru pada murid. Dari penguasa pada orang yang tidak berkuasa, dari orang terhormat pada para kaum proletar. Ini adalah pukulan penyadaran bagi para murid. Beberapa kali mereka memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka, sebab dengan merasa terbesar mereka berhak mendapatkan penghormatan dari yang lainnya. Ini adalah suatu bentuk ketidakadilan dimana orang hanya menuntut penghormatan sebaliknya dia tidak mau menghormati sesamanya.
Semua manusia adalah citra Allah. Bermartabat sama. Namun tata dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokkan manusia dalam bermacam tingkatan. Pembagian ini berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan sebagainya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara otomatis menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan kebangsawanan. Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang yang bukan bangsawan atau bangsawan yang lebih rendah. Apalagi mereka menikah dan sebagainya. Kisah kasih Pronocitro dan Roro Jogran mencerminkan adanya batasan itu. Dalam budaya Cina juga ada kisah Sam Pek dan Eng Tay yang mencerminkan hal yang sama. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi mendampatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik, kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan. Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka gelar akademik atau aneka jabatan. Semua gelar ditulis rapi agar orang yang tidak punya gelar menghormatinya.
Penghormatan kepada kaum bawahan hanya bisa dilakukan bila orang yang dianggap atasan berani melepaskan atribut pemberian duniawi yang menempel di dirinya. Yesus melepaskan jubahnya yang melambangkan status-Nya sebagai guru. Dia mengambil posisi hamba. Ini adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Yesus sadar bahwa Dia adalah Guru namun, berani melepaskan lambang-lambang keguruan. Keguruan Yesus bukan terletak pada lambang jubah melainkan kewibawaannya dalam mengajar, teguh dalam prinsip, kearifan, kebijaksanaan, belas kasih dan sebagainya. Dengan demikian keguruan Yesus bukan dari apa yang ditempelkan oleh masyarakat melainkan apa yang ada dalam diriNya. Selamat Merayakan Kebangkitan Kristus!