GKI Harapan Jaya

Monday, March 21, 2011

Menjadi “Spons” : Pengharapan Kekristenan di Tengah Suramnya Kemajemukan

Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit;
kami habis akal, namun tidak putus asa;
kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian,
kami dihempaskan,namun tidak binasa. (2 Korintus 4:8-9)

Suka tak suka, kita orang Kristen adalah minoritas di negeri ini. Dimana-mana di dunia ini kaum minoritas sedikit-banyak ditekan dan ditindas serta acap menjadi korban. Negeri kepulauan yang sangat majemuk bernama Indonesia ini sedang mengalami krisis yang sangat parah di segala bidang (energi, pangan, lingkungan, politik, moral dan terutama hukum). Fakta juga mengatakan, walaupun ada yang kaya-raya dan terlalu mencolok, sebagian besar orang Kristen yang merupakan minoritas itu sebenarnya hidup miskin, kurang berpendidikan dan tercerai-berai. Komplitlah kelemahan itu. Sudah minoritas miskin pula. Sudah miskin kurang berpendidikan pula. Sudah tertinggal, masih saling berkelahi pula. Lantas?
Kenyataan hidup sebagai minoritas di sebuah negeri yang bukan saja belum maju namun terancam perpecahan dan kebangkrutan seharusnya mendorong kita orang kristen benar-benar kritis dan kreatif. Kita perlu menghayati suatu teologi atau konsepsi iman kristen yang sungguh-sungguh dapat membantu kita untuk survive dan eksis di negeri ini. Syukur-syukur dapat menyumbang bagi pemulihan dan perbaikannya.
Bagaimana jika memahami dan menghayati kekristenan kita di Indonesia sebagai “spons” atau karet busa yang biasa digunakan untuk mencuci peralatan rumah tangga?
Pertama, spons itu simpel, sederhana, dan tak berwarna tetapi sangat berguna. Tidak terlalu diperhatikan, namun selalu dicari jika tak kelihatan. Seperti itulah seharusnya kekristenan di Indonesia: tidak pernah ditempatkan di depan, namun sangat fungsional.
Kedua, spons itu sangat adaptif, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dapat menyerap apapun namun tidak larut dan tak bisa tenggelam. Alangkah hebatnya jika orang Kristen dapat beradaptasi dengan lingkungan, menyerap berbagai budaya, namun tidak kehilangan integritas dan identitasnya yang simpel itu, dan tidak tenggelam di pusaran ekonomi atau politik yang bagaimanapun.
Ketiga, spons itu benar-benar kenyal dan tahan banting. Ditekuk, diremas, diinjak, dan dihempaskan spons itu tetap kembali ke bentuk aslinya. Bukankah orang Kristen harus seperti itu?
Pernyataan Rasul Paulus di atas dapat membantu kita mengembangkan teologi atau konsepsi iman dan kehidupan kekristenan bagaikan spons atau karet busa itu. Sama seperti Rasul Paulus, biarpun dalam segala hal kita dijepit namun tetap tak terjepit, dihempaskan namun tak binasa, dijatuhkan namun selalu tegak kembali. Kehabisan energi, pikiran dan dana, namun tidak kunjung putus asa. Itu bukan kata-kata belaka. Iman kepada Kristus yang tersalib dan bangkit memungkinkan kita melakukan hal itu. Dia yang mati dan hidup kembali itu menjadi daya vitalitas yang sungguh-sungguh luar biasa bagi umatNya.
Jika lukisan spons kurang dipandang elok, maka dalam refleksi ini ditawarkan analogi yang lain, bagaimana kalau kita menghayati diri, persekutuan, gereja dan kekristenan kita seperti rumput saja? Bukankah rumput tetap hidup walau selalu diinjak dan dipangkas? Dibabat semakin merambat? Rumput walaupun merendah di tanah juga berguna bagi banyak orang. Amin.


Nb: Thanks to Pdt. Daniel Harahap

No comments:

Post a Comment