GKI Harapan Jaya

Sunday, February 15, 2009

Tanah: Suatu Kajian Mengenai Tanah dalam Konteks Israel Kuno dan Dunia Modern


by Alexander Urbinas


I. Pendahuluan
Tanah dalam tradisi Perjanjian Lama (PL) merupakan sesuatu yang penting, karena makna di dalamnya yang menandakan akan janji dan sejarah penyelamatan Allah kepada umat yang telah dipilihnya (Israel). Dalam PL kata tanah disebut sebagai אֶרֶץ (eretz) yang berarti ‘bumi’ atau ‘negeri’. Kata ‘eretz’ tersebut, mengungkapkan nilai tanah yang bersumber pada pengalaman manusia yang nyata, yakni tanah sebagai suatu lingkungan hidup yang menghidupkan. Oleh karena itu, bagi bangsa Israel tanah bukanlah sebuah benda berharga, dilihat dari segi ekonomisnya, tetapi lebih dari itu. Maka, hingga saat ini tanah merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara kelangsungannya, karena itu berkaitan dengan masalah eksistensi Israel sebagai umat Allah. Oleh alasan inilah, sehingga ikut memengaruhi lahirnya konflik di Timur Tengah.

II. Tanah sebagai Lambang Perjanjian
Janji akan tanah dan pemenuhan dalam pemberian tanah itu bahkan menjadi tema utama kelima kitab Taurat dan kitab-kitab sejarah mula-mula. Israel memiliki tanah untuk didiami karena Allah sudah memberikannya kepada mereka. Tradisi pemberian tanah ini mempunyai implikasi yang luas atas pemikiran dan praktik PL. Perlu dicatat, bahwa pemberian tanah itu bukan sekadar sebuah tindakan pemenuhan janji, melainkan lebih kepada sebuah tindakan anugerah Allah yang telah memilih dan menetapkan Israel sebagai umat-Nya, dan menempatkannya di atas tanah milik-Nya.
 Pemberian tanah dari Allah kepada umat Israel tersebut, berangkat dari pemahaman bahwa telah terjadi kesepakatan antara Allah dengan leluhur umat Israel yang direpresentasikan oleh Abraham, Ishak, dan Yakub. Hal ini nampak jelas dalam beberapa keterangan di kitab PL, seperti dalam Kej 12:1 yang mengatakan bahwa Tuhan berfirman kepada Abram: “…pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.” Begitu pula dalam Kej 15:7: “Akulah Tuhan yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu.” Dengan demikian, ada perjanjian dari Allah kepada umat yang dipilihnya (diwakili oleh leluhur Israel: Abraham) akan tanah yang lebih baik. 
Tanah yang dijanjikan kepada keturunan Abraham tersebut, walupun sudah pasti diberikan oleh Allah namun, pada awalnya tidak ada klaim yang menyatakan keabsolutan atas kepemilikan tanah tersebut. Ini terlihat dari cara hidup para leluhur Israel yang berpindah-pindah. Ada sebuah konstruksi ketegangan yang terjadi antara janji dan pemenuhannya. Dengan demikian, muncul pengharapan dari keturunan Abraham akan pemenuhan janji tersebut. Pada masa perbudakkan Israel di Mesir keterangan mengenai ini muncul (lih. Kel 6:4).  
Pemenuhan akan tanah sebagai janji itu bahkan, tetap menjadi pergumulan bangsa Israel paska keluar dari Mesir. Namun, kehidupan mengembara itu tetap terjadi. Alkitab mencatat bahwa, tanah perjanjian itu diperoleh melalui pengembaraan selama 40 tahun tahun, tanda bahwa perlu ada perjuangan untuk mencapai sesuatu yang tidak ‘murah’. Bil 32:13 menyebutkan bahwa, tidak ‘murahnya’ pemberian tanah tersebut dikarenakan iman umat Israel yang saat itu lemah.  
Peristiwa historis lain yang mengingatkan akan tanah sebagai lambang perjanjian adalah ketika umat Israel berada pada masa pembuangan. Umat Israel pada saat itu merasa kehilangan tempat, terasing, dan kehilangan rasa aman. Pada masa pembuangan, ditengah-tengah kesengsaraannya, umat Israel kembali mengenang dan merindukan akan tanah perjanjian (lih. Mzm 137). Lewat peristiwa inilah eksistensi iman Israel kembali dipertaruhkan. Dalam dunia PL, tanah dan Israel memang merupakan dua entitas yang tidak dapat terpisahkan, saling terkait dan berhubungan satu sama lain. Oleh sebab itu, semua peristiwa yang dialami oleh umat Israel mulai dari pembuangan sampai kembalinya ke tanah tersebut, menjadi suatu kenangan iman tersendiri bagi bangsa Israel. Maka, sejarah Israel dalam PL adalah sejarah mengenai Allah dengan umat-Nya di tanah.  

III. Makna Teologis dari Tanah
Dalam kepercayaan umat Israel, pemberian tanah merupakan puncak dan penggenapan dari suatu rentetan perbuatan-perbuatan Allah. Pemberian tanah itu dimaksudkan Allah untuk menjadikan Israel sebagai milik-Nya yang kudus (Im 20:18; Kel 31:13). Dengan diberikannya tanah tersebut maka, Allah mengharapkan suatu respon, yaitu suatu jawaban atau penetapan sikap dari pihak Israel sendiri. Allah yang menguduskan umatnya merupakan sebuah formula mengenai makna teologis dari tanah. 
Allah lewat segala perbuatan-Nya telah menunjukkan pengudusan akan Israel. Menurut kesaksian PL, Allah menumbuhkan kesadaran dan kegiatan Israel dalam tiga dimensi, yang disebut sebagai ikatan kasih. Pertama, sadar bahwa YHWH selaku Allah-Nya; kedua, sadar akan diri-Nya selaku umat YHWH; dan ketiga, sadar akan tugasnya terhadap bangsa-bangsa disekitarnya. Israel telah dipilih sebagai umat, dibebaskan dari perbudakkan, diangkat menjadi hamba dan anak yang sulung, serta telah mengetahui akan kehendak dari Allah. Pemberian tanah menjadi kenyataan bahwa Israel diperhadapkan kepada suasana yang baru, untuk menampilkan respon timbal balik akan perhatian Allah. 
Kitab Yos 21:43 menyebutkan akan pemberian tanah Israel dari Allah. Tanah yang pada pada awal kependudukannya dikenal dengan sebutan Kanaan. Umat Israel pada dasarnya adalah orang asing di tanah tersebut. Mereka memberikan penyebutan kepada penduduk setempat, yang lebih dahulu menduduki tempat tersebut, dengan sebutan “orang-orang Kanaan” dan “orang-orang Amori”. Penduduk Kanaan yang beranekaragam tersebut juga dicatat di dalam Yos 3:10. 
Perlu diketahui, dengan pemahaman yang mendalam akan tanah, maka dalam hidup keseharian umat Israel, tanah menjadi sesuatu yang penting. Tanah bukan sekadar memiliki nilai ekonomis. Kehilangan akan tanah menjadi suatu ancaman bagi bangsa Israel dan ini merupakan sebuah perkara yang serius. Dengan latar belakang demikian, maka umat Israel tidak mau kehilangan yang sudah diterimanya secara turun temurun, karena ini juga telah diatur di dalam Taurat.  

IV. Tanah sebagai Pemberian
Tanah yang dijanjikan kepada Israel adalah sebuah pemberian. Ini adalah pemberian dari Allah, yang membawa Israel kepada sebuah jalan hidup dan pemahaman yang baru. Umat Israel telah memahami bahwa eksistensi mereka di tanah tersebut bukanlah karena kekuatan dan kehebatan mereka, tetapi karena penyertaan Allah. Tanah sebagai pemberian dari firman Allah adalah pemberian yang terpenuhi (Yos 21:45).
Maka dari itu, umat Israel tidak dapat mengabaikan proses perhatian yang telah lebih dahulu dilakukan oleh Allah kepadanya. Kitab Ul 6:10-11 menyatakan, ketika Tuhan Allah telah membawa umat Israel kepada negeri yang telah dijanjikan dan diberikan, melalui kesepakatan dengan leluhur mereka, umat Israel tidak boleh melupakan kebaikan dari Allah tersebut. Mereka tidak hanya harus menjaga dan menguduskan dirinya, tapi juga tanah yang telah diberikan dan dijanjikan tersebut. 
Pemberian tanah sekali lagi menjadi fakta anugerah yang dimanifestasikan oleh Allah. Kitab Ulangan mencatat, ketika umat Israel menuju tanah Kanaan dari Mesir, Allah senantiasa memberikan penjagaan dan kasih karunianya yakni dengan mana, burung puyuh, dan air, untuk pada akhirnya dapat mencapai tanah perjanjian dimana umat akan dipuaskan. Oleh sebab itu, kesetiaan Tuhan selalu dinyanyikan dalam ibadah Israel (lih. Mzm 136).
Tanah yang telah diberikan oleh Allah tidak boleh digunakan semena-mena dan sekehendak hati umat Israel. Allah sebagai empunya dari alam semesta ini tidak segan-segan untuk mencabut kuasa manusia atas tanah, daerah, atau bumi yang dipijak dan digarapnya. Inilah yang terjadi kepada penduduk asli dari Kanaan, karena perbuatan jahat dan penyelewengan mereka secara moral yang membuat Allah gerah. Maka, tanah tersebut diberikan kepada umat Israel, tapi Tuhan juga memperingatkan umat Israel untuk tidak berbuat fasik seperti orang Kanaan, atau mereka akan menerima kemurkaan dari Tuhan. Ancaman kehilangan tanah tersebut telah terbukti dari peristiwa pembuangan di Babel. Sehingga dari elaborasi ini jelaslah bahwa tanah sebagai pemberian, menitikberatkan kepada hubungan vertikal dan horisontal antara Allah, manusia, dan tanah (bumi), dimana sebuah hubungan segitiga yang saling berhubungan dan sifatnya komrehensif.

V. Persoalan Alternatif Tanah yang Melahirkan Godaan  
Pemberian tanah ternyata melahirkan beberapa persoalan. Kemampuan umat Israel dalam menjaga tanah sebagai pemberian Allah adalah sebuah hakikat yang tidak dapat diabaikan atau dilupakan oleh umat Israel. Namun disinilah permasalahannya, berkat yang melimpah dari tanah yang makmur dapat membawa manusia kepada kesombongan, tinggi hati, dan lupa akan Tuhan. Kitab Ul 8:11-20 telah memperingatkan akan hal tersebut. Kenyataan sejarah Israel dalam PL memperlihatkan, umat Israel sering mengalami hal ini dengan berpaling kepada penyembahan-penyembahan berhala. Pentinglah bagi bangsa Israel untuk terus beribadah kepada Tuhan, karena latar belakang historis serta pengalaman sejarah Israel yang telah menerima perjanjian serta penyertaan Allah.

V. Tanah: Sesuatu yang Dipelihara
Tanah yang diberikan Allah membawa kepada tanggung jawab umat dalam memeliharanya. Injil Luk 12:48 menyebutkan bahwa, siapa yang tidak melakukan kehendak Allah akan memperoleh hukuman yang setimpal. Taurat telah mengatur mengenai relasi vertikal-horisontal umat Israel. Hubungan antara Taurat dan tanah memang sangat terpusat, pengaturannya, bahkan cenderung cukup keras dalam aturan yang legal dan mengikat. Allah sebagai yang transenden telah menghadirkan karunianya dalam kehidupan umat Israel. Tanah sebagai buktinya. Oleh karena itu, tanah sebagai sesuatu yang dipelihara juga disebutkan dalam perayaan sabat. Tanah yang menjadi sumber kehidupan umat Israel membawa kepada konstruksi untuk saling menopang satu sama lain dalam hubungan interpersonal umat.  

VI. Tanah sebagai Ancaman
Pemberian tanah kepada bangsa Israel juga tidak terlepas dari ancaman. Hal ini telah terjadi sejak awal tanah itu diberikan kepada umat Israel. Sejarah Israel, telah mencatat bagaimana umat Israel setelah mendiami tanah Kanaan mendapat ancaman dari bangsa-bangsa sekitar yang ingin juga menduduki tanah tersebut. Ancaman itu tidak hanya dikarenakan oleh ‘gangguan dari luar’ tetapi juga dikarenakan ‘gangguan dari dalam’. Maksudnya ‘gangguan dari luar’ adalah ancaman dari bangsa-bangsa sekitar Isarel, yang ingin menduduki tanah Kanaan, sedangkan ‘gangguan dari dalam’ adalah karena eksistensi iman Israel sendiri yang sering melupakan Allah. Maka, janganlah kaget jika begitu banyak pergolakan yang terjadi di tempat yang kemudian pada jaman modern disebut sebagai Palestina tersebut. Keadaan ini pula yang kemudian mendorong suasana politis pada masa dunia modern.

VII. Tanah yang dijanjikan kepada Israel dalam Konteks Dunia Modern  
Tanah Kanaan yang dalam konteks dunia modern dikenal sebagai tanah Palestina, memang melahirkan problematik. Yang menarik, berkembangnya problematik ini diakibatkan oleh pemahaman religius yang dipolitisir. Tanah yang dianggap suci, kudus dan diklaim sebagai hak tunggal bangsa Israel, ingin dikuasai dan diduduki kembali. Maka, berdirinya negara Israel modern pada tahun 1948 mendorong untuk mencapai tujuan itu dan memurnikan tanah itu dari ras-ras di luar Yahudi. 
Sebenarnya ada perubahan pemahaman antara dunia Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) mengenai tanah. PL identik menggambarkan tanah sebagai sebuah teritorial, sedangkan PB menggantinya dengan keberadaan Yesus Kristus. Latar belakangnya sebenarnya sangat beralasan, karena layaknya tanah sebagai sumber kehidupan yang memberikan kelimpahan dalam hidup, kehadiran Yesus Kristus ke tengah dunia juga diyakini pula membawa kepada kelimpahan. Ia menjadi sumber kehidupan yang seutuhnya. Tanah merupakan anugerah bagi umat Israel, demikian pula dengan Yesus Kristus yang merupakan anugerah yang memberikan keselamatan kepada umat manusia secara universal.
Nampak jelas yang berbeda disini adalah sebuah pemahaman yang lebih inklusif dari dunia PB yang tidak menitikberatkan tanah Israel secara teritorial, tetapi makna tanah yang mendalam dan lebih luas yakni, janji keselamatan lewat Yesus Kristus.  
Oleh karena itu semangat yang tumbuh di sekitar umat Israel Modern, yang melegitimasikan nubuat PL dalam mencapai cita-cita dan pemenuhan akan janji Allah adalah sebuah interpretasi yang keliru. Kerinduan umat Israel untuk kembali pulang ke tanah yang dijanjikan dengan melegalkan segala cara bahkan kekerasan jelas melanggar Taurat. Ini sama sekali tidak dikehendaki oleh Allah, karena ada pengabaian akan terciptanya hubungan horisontal yang harmonis.

VIII. Tanggapan Kritis Penulis
Tanah yang telah dijanjikan Allah kepada umat Israel memiliki dua dimensi, yaitu dimensi iman dan dimensi fisik. Bertolak dari PL, maka tanah adalah sesuatu yang sifatnya kudus karena itu adalah hasil pemberian dari Allah kepada umat pilihan yang dikasihi oleh-Nya. Tanah menjadi anugerah sekaligus sumber kehidupan bagi umat yang mendiaminya. Umat Israel yang telah menerima anugerah tersebut memiki tanggung jawab untuk senantiasa memelihara tanah tersebut dan membangun hubungan yang harmonis terhadap Allah dan sesama.
Pemahaman ini kemudian berubah dan mengalami perkembangan pada masa dunia PB, dimana kehadiran Yesus Kristus ke tengah-tengah dunia merupakan analogi dari tanah dalam Perjanjian Lama. Yesus Kristus menjadi implementasi dari anugerah Allah kepada umat manusia secara menyeluruh. Tanah tidak lagi teritotial sifatnya, sejarah PL baiknya menjadi sebuah peristiwa untuk mengenang mengenai penyertaan Allah kepada manusia sejak dahulu kala. Interpretasi yang subjektif hanya akan menyebabkan penyelewengan pemahaman. Ini yang terjadi di dunia modern yang menyebabkan konflik Timur Tengah, karena prapaham akan tanah yang dianggap kudus dan suci tersebut.

“Teroris atau Hero?”: Studi Tentang Gerakan Zionisme Israel di Palestina dalam Perspektif Etika Kristen


by Alexander Urbinas

I. Pendahuluan
Konflik antara bangsa Arab Palestina melawan Israel sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Meski sudah terjalin perdamaian resmi antar PLO dan Israel, atau antara Israel dengan Mesir dan Yordania, tetapi perdamaian tuntas tampaknya masih jauh dari harapan. Baik di pihak Yahudi maupun Arab, unsur-unsur yang menentang terwujudnya perdamaian antara kedua belah pihak masih cukup kuat.  
Yitzak Rabin, Perdana Menteri Israel, tewas di tangan Yigal Amir, sebaliknya tokoh Hamas semacam Yeshiya Ayash maupun Dr Fathi Shaki dari Jihad Islam juga masih menjadi korban keganasan Mossad. Semua peristiwa ini jelas semakin mempertajam pertentangan antara kedua bangsa yang dalam beberapa tahun terkhir ini bermusuhan. 
Sejarah mencatat bahwa, pada awalnya hubungan antara Israel dan Palestina sebenarnya berlangsung dengan baik. Namun, semua ini berubah ketika berlangsungnya penjarahan tanah bangsa Palestina oleh kaum Zionis (Israel). Gerakan Zionisme internasional yang diprakarsai oleh Theodore Herzl lewat Kongres Basle pada 1892 merupakan awal bencana dalam hubungan antara Arab dan Yahudi, Zionisme merupakan gerakan rasialis yang mencita-citakan negara yang ‘murni’ ras Yahudi. Sejak semula ideologi ini tidak memberi ruang sama sekali bagi bangsa-bangsa lain untuk bisa hidup bersama-sama dengan damai. 
Lalu bagaimana dunia melihat realitas kontemporer tersebut? Terjadi dikotomi disini. Ada kelompok yang mendukung gerakan Zionis Israel, namun tidak sedikit pula yang mengutuk gerakan tersebut. Latar belakangnya beragam dari agama, sosial, politik, budaya, dll. Oleh karena itu, di dalam pembahasan sajian ini penulis mencoba melihat secara objektif bagaimana sebenarnya keristenan, khususnya ditinjau dari perspektif etika, melihat gerakan Zionisme Israel di Palestina.

II. Munculnya Zionisme Israel
  Gerakan Zionisme dan berbagai macam kekejamannya telah menjadi problematik dunia. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, gerakan Zionis ini pada awalnya adalah suatu gerakan yang hanya menjadi impian seorang wartawan Theodore Herzl. Ia kemudian sukses melaksanakan programnya dalam waktu yang relatif singkat, sekitar 50 tahun setelah Kongres I Zionis di Basle pada 1892. Perlu dicatat, sebelumnya ideologi Zionisme sudah muncul dan berkembang di kalangan warga Yahudi, terutama kaum Askhenazi di Eropa. Hanya saja baru di tangan Theodore Herzl, gerakan Zionisme mencapai terobosan yang sangat penting. Kunci sukses Herzl mengembangkan ideologi Zionisme karena ia menguasai benar senjata terpenting abad XX: media massa, lobi, dan public relations. Herzl sukses mengantarkan gerakan Zionisme menjadi ideologi yang semula kurang diterima di kalangan masyarakat Yahudi sndiri dan juga masyarakat internasional, menjadi suatu kekuatan yang mampu merebut Palestina dari tangan bangsa Arab.
II.1 Apa itu Zionisme?
Istilah “Zionisme” berasal dari akar kata “Zion” yang pada masa awal sejarah Yahudi menjadi sinonim dengan penyebutan untuk kota Yerusalem. Kata ini mempunyai arti khusus bagi orang Yahudi terutama sejak terjadinya penghancuran Sinagog pertama, untuk mengekspresikan kerinduan memiliki sebuah tanah air. Nathan Birnbaum dalam jurnalnya yang bernama Selbstemanzipation (1 April, 1890) mencatat bahwa, Zionisme adalah gerakan dengan tujuan kembalinya bangsa Yahudi ke Erez Israel (Palestina).  
Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia karya J.S Badudu menjelaskan bahwa, Zionisme adalah gerakan (politik, dsb) bangsa Yahudi yang ingin mendirikan negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di Palestina. 
Dengan beberapa definisi di atas, maka kita dapat menemukan bahwa apa yang dimaksud dengan gerakan Zionisme adalah sebuah cita-cita yang dimiliki oleh bangsa Yahudi untuk dapat kembali ke Palestina yang dianggap sebagai tanah leluhur mereka, dengan memurnikan tanah tersebut dari kaum non-Israel. Untuk memanifestasikannya maka, berbagai hal akan dilakukan, salah satunya adalah kontak senjata. Melihat perkembangan yang demikian, muncullah pertanyaan apakah gerakan Zionisme serupa dengan gerakan terorisme.
II.2 Samakah Zionisme dan Terorisme? 
Gerakan Zionisme yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, ikut berpengaruh terhadap kestabilitasan dunia. Semangat untuk kembali ke Palestina, ternyata tidak dapat disalurkan dengan cara damai. Ketika delegasi kedua belah pihak tidak dapat menemukan kata sepakat dalam pembicaraan damai, maka kontak senjata-lah yang berbicara. Akibatnya adalah dirugikannya masyarakat sipil baik jiwa dan materi. Ada beberapa catatan sejarah yang merekam peristiwa tersebut.
Pada Mei 1948 di bawah pimpinan David Ben Gurion, tokoh utama Zionis yang kemudian menjadi presiden Israel pertama, tentara Israel melakukan serangan ofensif terhadap Lebanon, Trans-Yordania, dan Syria. Seluruh penduduk lokal yag didominasi oleh warga keturunan Arab sebagian besar tewas, sedangkan sisanya diusir dari darah tersebut, untuk kemudian ditempati oleh bangsa Yahudi. Selang beberapa tahun kemudian, di bawah pimpinan Zvi Ankori, kelompok pasukan Zionos garis keras yang menamakan dirinya Haganah, menyerang beberapa daerah potensial di Palestina. Wartawan asing yang sedang meliput di lokasi bernama Leni Brenner dari surat kabar The Iron Wall memberi kesaksian yang mengerikan dari peristiwa serangan tersebut. Ia melihat bagaiman kekejaman tentara Haganah yang memotong keemaluan laki-laki Palestina dan merobek-robek perut tiap perempuan Palestina.  
Perlu diketahui, bahwa ternyata tidak selamanya gerakan Zionisme, yang mengatasnamakan keseluruhan bangsa Yahudi benar-benar memperhatikan kepentingan bangsa Yahudi sendiri. Apa yang menimpa kaum Yahudi Sephardim merupakan salah satu contohnya. Mereka adalah kaum Yahudi yang paling menderita akibat dari berkembangnya gerakan Zionisme internasional. Mereka akhirnya harus ikut angkat kaki dari kampung halamannya di berbagai negara Arab, seperti Marokko, Yaman, Iraq, Libya, Aljazair dan sebagainya. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga nergara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi (Yahudi yang berasal dari negara Eropa) yang menguasai elit politik dan ekonomi negara. 
Dengan melihat berbagai perilaku gerakan Zionisme Israel dapatkah kita ketegorikan sebagai gerakan terorisme? Ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa definisi dari terorisme. Istilah ‘terrorism’ pertama kali muncul dalam Revolusi Prancis yang digunakan untuk mendifinisikan kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Kamus Umum Bahasa Indonesia, menyebutkan terorisme sebagai praktek-praktek tindakan teror, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).  
Brian M. Jekins mengatakan, “terorisme adalah tindakan ancaman kekerasan yang sering diikuti oleh tuntutan yang spesifik. Kekerasan pada umumnya diarahkan kepada sasaran sipil, dengan motif politis. Pelakunya biasanya adalah anggota kelompok yang teroganisir, dan tidak sebagaimana kelompok penjahat, mereka memiliki tujuan yang dianggap mulia. Dan terakhir, tindakan itu ditujukan menghasilkan efek yang melampaui kerusakan fisik yang terjadi pada saat peristiwa.” Alex P. Schmid menyebutkan, “terorisme adalah sebuah metode yang menghasilkan ketakutan dari tindakan kekerasan, dilakukan oleh individu atau kelompok dengan alasan kriminal atau politik. Korban manusia yang langsung biasanya dipilih secara acak (target of oppurtinity) ataupun dipilih (representative of symbolic targets) dari populasi yang menjadi target, dan berfungsi sebagai penyampai pesan. Namun, tidak selamanya konsep terorisme selalu berhubungan dengan politik.” 
 Apa yang terjadi dalam konflik di Palestina, berangkat dari definisi di atas maka, gerakan Zionisme yang melupakan pratek jalan damai dapat dikategorikan sebagai gerakan terorisme. Penulis sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Brian M. Jekins, dimana kehadiran Zionisme Israel di Palestina jelas-jelas telah melahirkan ancaman kekerasan terutama bagi masyarakat sipil, motifnya pun sangat politis. Gerakan Zionisme juga telah teroganisir dengan baik dan tidak hanya sampai di situ, ada tuntutan yang dipropagandakan, yakni berdirinya negera Israel Modern. Gerakan Zionisme Israel juga melakukan justifikasi bahwa yang dilakukannya adalah sebuah tujuan yang mulia, dengan mengambil alasan biblis bahwa tanah Palestina adalah tanah warisan milik Israel hasil pemberian Allah lewat perantara nenek moyang mereka. 
Alasan inilah yang kemudian membuat gerakan Zionisme mendapat dukungan, terutama dari kalangan kristen sayap kiri yang menganggap mereka sebagai pahlawan, bahkan merupakan tentara Allah. Oleh karena itu, pada bagian yang ketiga ini kita akan melihat pandangan etika kristen terhadap isu tersebut.

III. Pandangan Etika Kristiani Terhadap Zionisme Israel 
Pada bagian ini kita akan melihat etika kristen membedah persoalan di atas. Gerakan Zionisme dalam usaha kependudukannya di Palestina menggunakan dasar Alkitab yang kemudian dipolitisir. Dasar Biblis tersebut mengingat bahwa, Palestina adalah tanah warisan dan sepenuhnya menjadi hak Israel (Kej 17:7-8, 21:10-11, dsb.), maka meskipun bangsa Israel berada dalam diaspora selama ribuan tahun, tetapi pada suatu saat akan kembali ke Palestina lagi. Sebab wilayah tersebut adalah tanah yang dijanjikan untuk Israel (Promised Land) sebagaimana yang termaktub dalam kitab Yehezkiel 11:17-20 dan Amos 8:11-13. Ramalan akan tanah perjanjian ini telah mengakar kuat di kalangan umat Kristen –khususnya fundamentalis- sedunia. Sehingga mereka selalu mendukung dan membenarkan pencaplokan tanah Palestina oleh Israel meskipun dengan cara yang paling keji. 
Robert Borrong dalam bukunya Etika Politik Kristen (2006) memperhatikan hal ini. Baginya, situasi antara Israel dan Palestina jelas mengatakan bahwa kekerasan tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat untuk mengakhiri kekerasan. Sebaliknya kekerasan akan melahirkan kekerasan baru yang tidak pernah akan berakhir. Kalau bangsa Israel menggunakan landasan biblis sebagai kiblat gerakannya jelas itu adalah interpretasi yang keliru. Agama manapun tidak pernah mendorong kepada tindak kekerasan, sebaliknya cinta damai justri menjadi tolak ukur relasi antar manusia. 
Jika kita melihat kepada landasan Alkitabiahnya maka apa yang tertulis di dalam Matius 5:9 yang mengatakan, “berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka disebut sebagai anak-anak Allah” dapat menjadi tolak ukur. Perang/kontak senjata yang dilaakukan Zionisme Israel jelas tidak mendapat tempat di dalam agama. 
Dalam tradisi Yudaisme, dikenal perang untuk keadilan (just war). Hukum Yahudi melegalkan dua bentuk perang untuk keadilan (just war) yaitu agama (religious war) dan perang biasa (optional war) untuk kepentingan sosial-politik. Melihat tindakan dari gerakan Zionisme maka ada percampuran dari keduanya. Invasi Israel ke Palestina tidak lepas dari interpretasi alkitabiah yang juga tidak lepas dari kepentingan politik.
Etika Kristen melihat situasi konflik tersebut, tentu tidak berpihak kepada salah satu pihak. Tindakan yang dilakukan oleh Israel dengan gerakan Zionisme jelas, sudah lepas dari konteks Alkitabiah yang menekankan cinta damai. Karena itu sudah menjadi hakekat dari Yudaisme dan Kristen sebagai agama yang pro-pasifis. Zionisme Israel menguduskan perbuatan mereka, untuk mencapai tuntutan yang spesifik, yakni mendirikan negara Israel Modern, serta memurnikannya dari ras non-Israel.
Tindakan yang dilakukan gerakan tersebut untuk mencapai tujuannya juga melanggar kode etik pengakuan dan penghormatan Hak Asasi Manusia. Kalau kita melihat kepada perlakuan tentara Israel selama usaha kependudukan, tidak sedikit kerugian jiwa dan materi yang berjatuhan, khususnya bagi masyarakat sipil. Bila gerakan Zionisme paham kepada pesan orisinil agamanya tentu hal ini tidak akan terjadi. Borrong mengatakan, pesan orisinil agama inilah yang seharusnya terus dikedepankan dan ditonjolkan dalam membangun relasi antar manusia dan antar bangsa, sehingga dunia kita ini benar-benar menjadi dunia pasifis, dunia cinta damai.  

IV. Penutup
Zionisme masih akan menjadi perbincangan dalam waktu-waktu yang akan datang. Meski PLO dan pemerintah Israel sudah berdamai, tetapi harapan terwujudnya perdamaian yang langgeng dan abadi tampaknya masih jauh dari harapan. Kesemuanya berakar dari pokok masalah cita-cita kaum Zionis yang merampas tanah Palestina dari bangsa Arab untuk dijadikan pemukiman khusus Yahudi. Sikap rasialis seperti inilah yang menyebabkan selalu muncul ketegangan yang berkepanjangan di Timur Tengah.
Seperti dalam penjabaran yang telah dilakukan di atas, dalam melakukan invasinya gerakan Zionisme Israel tidak segan-segan melakukan kekerasan dalam bentuk kontak senjata. Akibatnya banyak korban berjatuhan. Namun, sinilah masalahnya apakah tindakan mereka dapat dikategorikan sebagai teroris atau justru hero (pahlawan)?
Penulis lewat penjelasan dan argumen di atas mengambil posisi bahwa, gerakan Zionisme Israel dapat dikategorikan sebagai gerakan terorisme, melihat gerakannya yang terorganisir, melahirkan kekerasan fisik, mempunyai tujuan yang spesifik, dan untuk mencapai tujuan yang mulia. Ini jelas-jelas tidak dapat ditolerir, terutama jika kita kembalikan kepada sudut pandang etika Kristen.
Kristen dan Yudaisme, juga agama-agama lain, memiliki doktrin yang tidak melegalkan berbagai tindak kekerasan, karena hakikatnya yang mencintai kedamaian (pro-pasifis). Oleh, karena itu berbagai kekerasan dari gerakan Zionisme Israel bertentangan dengan nilai-nilai etika Kristen. Juga bertentangan dengan hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini dikarenakan kekeliruan interpretasi biblis yang juga sengaja dipolitisir.

Bultmann, Yesus Sejarah dan Kebangkitan


by Alexander Urbinas

I. Pendahuluan: Sekilas Mengenai Bultmann dan Latar Belakangnya
Pemahaman Gereja dan teologi tradisional yang mengambil pengertian-pengertian filsafat Yunani, mengakibatkan interpretasi akan penyataan dan wahyu Allah sebagai sesuatu yang terpisah dari kejadian-kejadian di dalam dunia ini. Ketika dunia memasuki babakan baru, yakni dunia modern, pandangan teologis demikian digoyahkan oleh model interpretasi historis baru, yang kemudian disebut sebagai metode historis kritis yang membunuh tiap bentuk yang supranaturalistik. Sejarahlah yang menentukan nasib teologi. Hal ini disebabkan proses sekularisasi, maka pemikiran historis memiliki tempat yang radikal dan universal. Manusia modern sudah melepaskan diri dari paradigma tradisional yang memandang manusia sebagai personal yang berdiri di atas dua landasan (atas, bawah), dan lebih melihat bahwa dirinya berdiri di atas satu landasan, yaitu bumi ini.  
Dari latar belakang itu muncullah seorang yang berusaha keras untuk dapat menjadikan berita Alkitab dapat dimengerti di dalam perspektif pemikiran historis yaitu, Rudolf Bultmann yang lahir pada tahun 1884. Tujuan teologis yang dipakai dalam arah gerak pemikirannya ialah soal percaya dan mengerti (Glauben und Verstehen). Oleh karena itu, ia kemudian menyampaikan gagasan mengenai demitologisasi atau pengupasan mite, sebagai bentuk skeptiknya akan ‘christ-event’ . Ini sebagai argumen Bultmann yang ingin menyajikan berita kristiani sedemikian rupa, hingga hubungan berita itu dengan sejarah dan Allah dikemukakan tanpa dikurangi.  

II. Demitologisasi ala Bultmann
Lahirnya modernisme mendorong pemahaman bahwa Alkitab, terutama mengenai Allah dan tindakannya merupakan sebuah mitologi. Dimulai dari pemahaman lapisan dunia (atas-bawah-tengah) sampai dengan peristiwa yang dialami Yesus, seperti inkarnasi, penyaliban, dan kebangkitan. Berbagai hal yang merupakan adopsi dari mitologi apokaliptik Yahudi dan dari mite gnostik. Disinilah dimulai persoalannya, siapa yang dapat menerima dan percaya begitu saja, dengan hal-hal supranaturalis itu dimana rasionalisme dan sekularisme telah menjadi momok yang menohok manusia. Oleh karena itu, diperlukan demitologisasi. Demitologisasi bukan berarti mereduksi makna dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai mitos (model teologi liberal). Lebih dari itu demitologisasi berarti mengupas mite, dan menggali pesan yang ada didalamnya supaya dapat dimengerti.  
Bultmann melihat bahwa apa yang ditawarkan oleh Perjanjian Baru juga harus mengalami demitologisasi. Pengupasan mitologi itu perlu sekali, sebab gambaran dunia manusia sekarang telah berubah. Baginya tugas teologi bukan untuk secara kritis meniadakan mite-mite itu, melainkan untuk menginterpretasikan mite-mite itu secara eksistensial, bukan membuang isi Alkitab, melainkan mengupas kulitnya, mengupas gambaran dunianya yang sudah tidak laku lagi.  

III. Mendemitologisasi Kejadian yang terjadi pada Kristus
Bertolak kepada demitologisasi, maka Bultmann kemudian melihat bahwa kejadian yang terjadi pada Kristus (Christ-event) juga menampilkan terminologi mite. Keberadaan dan kejadian yang dialami oleh Yesus, dalam berita kristiani diidentikkan dengan sejarah penyelamatan. Yesus sebagai inkarnasi dari Anak Allah yang telah turun ke dunia, adalah sebuah penggambaran mitologi. Namun, jangan dilupakan ada fakta historis juga dimana Yesus ternyata diketahui identitasnya, siapa ayah dan ibunya (Yoh 6:42). 
Tidak berhenti sampai disitu, dalam kejadian yang dialami oleh Yesus peristiwa penyaliban yang diikuti oleh kebangkitan merupakan tanda akan penebusan dosa manusia baik yang terjadi di masa lampau dan masa yang akan datang. Dalam kejadian yang terjadi pada Kristus, terjadi perpaduan yang unik antara yang historis dan mistis. Perpaduan antara sejarah dan mitologi ini menjadi anak kunci bagi interpretasi pengupasan mitologi. 
Melihat hal ini, maka kita akan memperhatikan secara khusus kepada kebangkitan. Kebangkitan yang secara rasional tidak dapat diterima begitu saja oleh manusia modern, dinilai penuh mitos dan metafora. Bagaimana Bultmann melihat kebangkitan Kristus?

IV. Kebangkitan: Mendekati Pemikiran Manusia Modern dan Yesus Sejarah 
Kebangkitan Yesus paska penyaliban merupakan sebuah peristiwa lampau yang memiliki makna yang tersendiri. Perjanjian Baru menyatakan kebangkitan Yesus sebagai tanda akan kebangkitan seluruh umat manusia yang menyelamatkan. Ia yang dikirim ke dunia dan bangkit sebagai tindak pembenaran. Kebangkitan dan juga penyaliban merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebab kebangkitan itulah pengungkapan tentang pentingnya salib, yaitu bahwa kematian kematian Kristus disalib tidak dapat dipandang sebagai kematian insani.
Kematian di salib itulah penghakiman Allah yang membebaskan, dengannya maka Allah memberikan keselamatan pada dunia serta menciptakan kemungkinan untuk dapat hidup dengan sungguh-sungguh. Kebangkitan Kristus adalah sesuatu hal yang harus dipercaya juga. Kebangkitan merupakan peristiwa menakjubkan yang menampilkan sisi eskatologi akan janji masa depan. 
Pengakuan akan kebangkitan Yesus tersebut, seakan diperkuat dengan disebutkannya saksi mata dalam peristiwa tersebut. Tengok saja dalam Perjanjian Baru, tepatnya di dalam I Kor 15:3-8. Karl Barth kemudian menjelaskan mengenai I Kor 15, bahwa itu bukanlah bukti nyata dari kebangkitan, dengan disebutkannya saksi-saksi mata. I Kor 15 ialah untuk membuktikan bahwa pengajaran dari para rasul tersebut serupa dengan pengajaran kekristenan mula-mula yang menyatakan dan mengimani kebangkitan Yesus.  
Namun, bagi Bultmann kebangkitan yang dialami oleh Yesus bukanlah sebuah peristiwa yaang menakjubkan jika tidak terlebih dahulu mengimani akan Kristus sendiri. Percaya pada kebangkitan berarti percaya pada firman yang sekarang dan saat ini diberitakan kepada kita. Percaya kepada kebangkitan, selayaknya juga percaya kepada salib sebagai suatu peristiwa penyelamatan. Juma’at Agung dan Paskah yang terjadi dalam satu hari. Dalam kehidupan kekristenan, kita tidak hanya berpartisipasi di dalam kematian Kristus saja, tetapi juga kebangkitannya (Roma 6:11). 
Kini peristiwa kebangkitan tidak dapat disebut sebagai kejadian mitos, tetapi bagian dari iman yang menjelaskan akan maksud dari penyaliban itu sendiri, sebagai bentuk penggambaran akan rekonsiliasi Allah dan manusia. Oleh karena itu, ketika kita tidak dapat mengimani hanya sebagian saja dari keseluruhan. Maksudnya, bila kembali kepada kejadian yang dialami Kristus, kita tidak hanya dapat percaya kepada penyaliban saja dengan mengabaikan akan kebangkitannya. Kebangkitan bukan hanya sebagian kecil dari iman, karena di dalam kebangkitan ada janji eskatologi.
Itulah sebabnya Perjanjian Baru nampak jelas tertarik kepada kebangkitan. Paulus dalam bahasa gnostiknya menjelaskan akan makna dari kebangkitan, bahwa kebangkitan Kristus merupakan kebangkitan dari seluruh orang mati yang kemudian penggenapan akan janji dan pemberian terang.  
Dalam hidup kini, khususnya dalam kehidupan kekristenan, kita tidak hanya berpartisipasi di dalam kematian Yesus, tetapi juga kepada kebangkitan-Nya. Berangkat dari pemahaman ini, maka kebangkitan bukanlah sebuah mitologi, tetapi merupakan bagian dari iman yang menjelaskan akan penyaliban itu sendiri. Iman kepada kebangkitan berarti iman kepada penyaliban maka, iman kepada penyaliban berarti iman kepada Kristus sendiri. Tidak mungkin kita dapat terlebih dahulu percaya kepada Kristus, sebelum mempercayai salib.
Karena itulah untuk mempercayai sejarah penyelamatan, kita harus melihat kepada kebangkitan dan penyaliban sekaligus. Kini kita memperoleh dari berita kristiani (kerygma) yang diberitakan. Percaya pada kebangkitan Kristus berarti percaya kepada pada firman yang kini dan disini diberitakan kepada kita. Iman Paskah yang sejati ialah iman yang menemukan arti yang terkandung di dalam firman yang diberitakan. Sebab menurut Bultmann, Yesus benar-benar hadir di dalam di dalam kerygma. Kerygma yang ditujukan kepada para pendengarnya ialah firman yang sebetulnya firman dari Kristus sendiri.  
Kerygma menjadi inti akan ajaran dari Bultmann. Begitu pula mengenai kebangkitan, yang merupakan sebuah pemberitaan akan sejarah penyelamatan yang bersifat eskatologi. Kebangkitan sebagai kerygma berarti pemberitaan kini yang merupakan sapaan, suatu teguran pribadi Allah kepada kita, serta memanggil kita untuk mengambil keputusan. Pemberitaan itu menjadi realitas kini dan disini. Lewat pemberitaan itulah Allah memperkenalkan diri kepada manusia. 

V. Sebuah Refleksi akan Kebangkitan Kristus: Berangkat dari Pemikiran Bultmann
Dunia yang ditinggali dan dihadapi oleh manusia tidak dapat terlepas dari perubahan dan perkembangan. Begitu pula gereja dan teologi yang ada, lahir, dan bereksistensi di tengah-tengah dunia. Dunia modern telah mendorong kepada sekularisme, rasionalisme, dan humanisme. Kenyataan ini ternyata ikut mendorong perubahan berpikir teologis, segala sesuatu hal yang berbau tradisionil dan supranaturalis yang bertolak belakang dengan dunia modern dikritisi. Begitu pula dengan Alkitab.
 Bultmann dengan demitologisasinya mencoba menjadi jembatan antara dimensi iman dan dimensi ilmiah. Dunia modern ikut membentuk cara berteologinya. Apakah ini membantu manusia modern untuk percaya dan mengerti kepada hubungan Allah dan manusia, yang saat itu menjadi perdebatan hangat?
 Melalui demitologisasi, Bultmann sebenarnya berharap agar manusia modern dapat memahami kesemua itu. Namun, pada akhirnya ia terlalu menekankan pada pertemuan pribadi antara Allah dan manusia, sehingga sepertinya ia lupa bahwa Allah sebenarnya bertindak secara keseluruhan. Iman hanya mengenal historisitas bukan histori.
Oleh sebab itu, ketika kejadian yang terjadi pada Kristus (Christ-event) didekati oleh kritik historis, yang tinggal bersisa adalah historisitas pribadi Yesus. Segala kejadian yang terjadi pada Kristus dan kerygma, dijadikan suatu kejadian eskatologis, dimana Allah mengusahakan keselamatan dunia. Akibat dari itu semua, terdapat dualisme, antara Yesus yang historis dan Yesus yang kerugmatis yang secara bersama-sama tidak menjumpai kita. Dengan demikian, hubungan antara Yesus yang hidup di dunia dan Kristus yang diberitakan dihapuskan. Kejadian yang terjadi pada Kristus juga kehilangan sifatnya, Injil yang membawa berita kesukaan. Apa yang menonjol adalah hanya fakta keselamatan belaka.  
 Merefleksikan kejadian yang terjadi pada Kristus khususnya kepada kebangkitan, maka penulis setuju kepada ide yang disampaikan oleh Bultmann bahwa iman kepada Kristus, harus terlebih dahulu melewati proses iman kepada penyaliban dan kebangkitan-Nya sekaligus. Ini sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi, karena keduanya merupakan janji akan keselamatan. Tidak bisa kita hanya mengakui kepada penyaliban saja dengan mengabaikan kebangkitan.
 Memang muncul persoalan jika kembali kepada gaya pemikiran modern. Apakah Yesus benar-benar bangkit secara daging, seperti kesaksian di dalam Perjanjian Baru, atau itu hanya merupakan bahasa metafor tradisi Yahudi-Hellenis untuk melegalkan iman keristenan? Ini pertanyaan besar di dalam pendekatan kritik historis. 
Lewat metode kritik historis memang telah banyak membantu pembaca Alkitab dalam memahami Sitz im Leben (situasi historis) dari kitab-kitab yang dibaca, seperti dalam Perjanjian Baru. Sampai batas ini, metode tersebut telah berperan dalam proses penafsiran. Namun demikian, penulis Alkitab dianggap menjadi sama sekali tidak netral, sebab mereka dengan sengaja melibatkan Yang illahi di dalam sejarah (dimensi iman menjadi karakteristik intern dari Alkitab).  
Namun jangan keliru menginterpretasikan kebangkitan, jika berangkat dari pemikiran Bultmann, yang dipersoalkan bukanlah benar atau tidaknya kebangkitan itu terjadi. Merongrong nilai historisnya. Lebih dari itu, sebenarnya adalah apa makna dari kebangkitan itu (lagi-lagi demitologisasi!). Kebangkitan merupakan sejarah penyelamatan, yang menampilkan eskatologi. Sebuah janji pembenaran kepada manusia,baik pada masa kini dan masa yang akan datang. 
Kebangkitan bila dianggap sebagai suatu metafora merupakan sebuah pengkerdilan dan pereduksian akan kebangkitan itu sendiri. Pereduksian akan iman kita kepada Kristus, dan secara tidak langsung pereduksian kepada iman kita sendiri. Berarti kita tidak beriman seutuhnya, karena kita hanya beriman kepada sebagian saja (misal penyaliban) dengan mengabaikan yang lain (kebangkitan). Bagi Bultmann, sebenarnya adalah bagaimana menghadirkan kebangkitan dan penyaliban itu sekarang dan disini. Bahwa ada esensi eskatologi di dalamnya, manusia hanya memerlukan bagaimana pesan teologis itu dapat sampai kepada pembaca Alkitab. Inilah yang disebutkan dengan pemberitaan firman (kerygma), lewat kerygma kebangkitan diperkenalkan kepada manusia, sehingga membangun iman kepada Kristus dengan tidak mendiskerpansi antara dimensi iman dan dimensi ilmiah. 


Friday, February 13, 2009

The Nature of Doctrine (George Lindbeck): Kajian Terhadap Postliberalisme


by Alexander Urbinas

George Lindbeck merupakan seorang teolog yang dikategorikan dalam kelompok arus pemikiran postliberal. Istilah postliberalisme sendiri sebetulnya mengarah kepada kritik terhadap beberapa pemikiran konservatif dan liberal. Postliberalisme banyak diakitkan dengan mazhab Yale, dimana sebagian pemikirnya berasal dan berkarya, sebut saja Hans Frei dan George Lindbeck. Karya Frei, The Eclipse of Biblical Narrative (1974) mengkritik pendekatan kelompok konservatif dan liberal yang dianggap Frei menanggalkan kewibawaan Kitab Suci dengan menempatkan secara fondasional makna pengajaran biblis ke beberapa doktrin dan pengajaran dunia ketimbang Kitab Suci itu sendiri. 
Lewat karya The Nature of Doctine (1984) Linbeck meneruskan kritik Frei. Dengan memakai kesadaran postmodernisme, Lindbeck menggunakan pendekatan “intratekstual” dalam mengklasifikasikan model dari dogmatika, semuanya berhubungan dengan cara bagaimana seseorang menghubungkan bahasa dan agama : (1) model “kognitif-proporsional” (kelompok konservatisme atau preliberalisme) yang menekankan aspek kognitif dari agama dengan melihat pada fungsi dari doktrin sebagai klaim kebenaran yang proporsional dalam menilai realitas. Sehingga cara berpikir pertama ini memahami jika sebuah doktrin benar, maka selamanya ia akan benar, yang bersebrangan dinilai salah; (2) model “eksperiensial-ekspresif” (kelompok liberalisme) yang menginterpretasikan doktrin sebagai sesuatu yang tidak berkesinambungan dengan orientasi eksistensial, atau dengan kata lain cara berpikir kedua ini ingin mengatakan perbedaan doktriner hanya merupakan pengalaman dan ekspresi dari makna yang satu dan yang sama; (3) model ketiga merupakan sebuah opsi dari Lindbeck yakni, “kultural-linguistik”. Doktrin tidak dipahami sebagai klaim kebenaran, melainkan sebagai aturan komunal yang otoritatif.
Lindbeck menyebut dogmatika itu proposisionalisme, dengan demikian jika doktrin itu benar maka selamanya akan benar, dan jika salah maka selamanya akan salah. Sikap demikian hanya akan membuat pemelihara dogma, gereja, menjadi takut dengan pendapat lain, disensus atau pluriformitas. Lewat pendekatan kultural-linguistik Linbeck menyatakan bahwa agama merupakan kerangka budaya maupun dari bahasa/linguistik yang mewujudkan kehidupan dan pemikiran manusia.  
Semua dimulai dari bahasa. Bahasa merupakan cerita-cerita, ritual dan simbol. Oleh karena itu, bahasa sama dengan bentuk kehidupan yang menciptakan perasaan. Allah misalkan, tidak berasal dari sebuah perasaan yang universal atau sumber yang mistis. Ide mengani yang baik dan yang jahat, diciptakan oleh sebuah budaya, dan akan menggambarkan Allah dan semua dogma-dogma mengenai alamnya. Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah di dalam Islam sama dengan Allah di dalam keristenan. Kita bahkan tidak dapat memperbandingkan Allah di dalam Islam dengan Allah di kekristenan, atau solidaritas di dalam agama Budha dengan cinta kasih di dalam kekristenan.  
Dari pengalaman yang beragam ini, Lindbeck mengambil langkah logis postmodern berikutnya dan sampai pada kesimpulan tentang agama sebagai yang tidak dapat diperbandingkan (incommensurability). Seperti yang telah disebutkan di atas, meskipun kata-kata yang dipakai sama dalam berbagai agama sebut saja “kasih atau Tuhan” kata-kata tersebut mempunyai makna yang benar-benar berbeda. Istilah yang dipakai oleh Linbeck adalah intratekstualitas. Istilah dari sebuah agama dan pengalaman beragama bisa dimengerti dan diyakini sebagai “benar” hanya di dalam teks tertentu atau sistem bahasa dari agama tertentu. Hal ini untuk membedakan dengan ekstratektualitas yang dipahami oleh liberalisme maupun konservatisme, dimana makna religius diletakkan di luar teks, baik di dalam kenyataan objektif yang ditunjukkan secara proporsional (konservatisme) atau di dalam pengalaman yang disimbolkan (liberalisme).  
Lindbeck memberikan alasan yang berikut mengapa agama tidak dapat diterjemahkan dari yang satu ke yang lain. Ia mengamati bahwa tiap agama menawarkan suatu “kerangka komprehensif total, satu perspektif universal”. Namun, tidak ada agama yang dapat diukur oleh agama lain, karena adanya perbedaan bahasa. Pemikiran yang demikian memang menjadi ciri khas dari postmoden yang bersikeras mengatakan bahwa tidak ada asas bersama dan ketidakmungkinan satu agama benar-memahami dan menghakimi yang lain. Hal ini perlu dijelaskan bahwa bukan berarti mereka ingin membangun tembok pemisah di antar agama-agama tetapi lebih karena mereka ingin menjaga dan menghormati berbagai perbedaan antar mereka.  
Dari pemikiran Linbeck dan kelompok postmodern lainnya muncullah pertanyaan: “Apakah mungkin dialog terjadi?” Model yang ditawarkan oleh Lindbeck sebetulnya tidak menutup hubungan atau dialog antar agama. Namun, kelompok postliberalisme ini memiliki pemahaman yang jelas. Bahwa tiap agama-agama harus hidup berdampingan atau bertengga yang baik. Yang perlu dipahami setiap agama adalah bahwa dengan adanya pagar yang baik akan menjadikan hidup bertetangga yang baik, karena setiap agama memiliki halamannya masing-masing. Jadi, biarlah tiap agama mengatur halaman belakangnya sendiri. Untuk bertegur sapa dengan agama lain yang dilakukan adalah dengan melakukannya di seberang pagar halaman, tanpa harus mencari yang mungkin bisa menjadi kesamaan di antara mereka.
Dengan kata lain, dengan berusaha menyesuaikan pesan kristiani dengan apa yang kita sangka merupakan pesan yang sama bagi semua agama kita, maka kita akan mudah kehilangan kepartikularitasan dari apa yang dilakukan Kristus, dan ini disebut Lindbeck dapat merusak iman. Tindakan ini juga dapat mengurangi nilai agama-agama lain dan budaya yang luas. Biarkan tetangga kita mengenal siapa kita sesungguhnya. Tetapi tentu terlebih dahulu kita musti memiliki fondasi yang kokoh terlebih dahulu, yakni dengan hidup sesuai dengan Injil. Agar hidup kita dalam keseharian benar-benar nampak.
Menurut Lindbeck pendekatan terhadap agama-agama model kultural-linguistik merupakan model yang terbaik yang memungkinkan bagi terlaksananya dialog. Model ini tidak mengesampingkan adanya perkembangan berbagai rasional teologis dengan tetap memungkinkan diskusi dan dialog antar agama. Kembali kepada apa yang dikatakan oleh Lindbeck bahwa telah terjadi dan terdapt banyak ‘bahasa’ dalam masyarakat. Semua bahasa tersebut adalah heterogen, inkosisten satu sama lain. Dengan demikian pendapat dari bahasa –dalam hal ini dogma dalam agama sebagai yang partikular- lain tidak dapat diabaikan. Setiap agama memiliki permainan bahasanya masing-masing. 
Pemikiran Lindbeck dan kelompok postliberalisme memang telah berhasil menanggapi warna dominan dalam teologi modern, yakni konservatisme (eksklusivisme) dan liberalisme (pluralisme dan juga inklusivisme). Melalui pendekatan kultural-linguistik Linbeck menyatakatakan bahwa tiap-tiap agama memilki permainan bahasa masing-masing sebagai yang partikular yang tidak dapat dibandingkan atau disejajarkan satu sama lain. Namun, seringkali posisi Lindbeck dipertanyakan, berada di dalam posisi inklusif atau malah eksklusif? 
Pertanyaan ini muncul karena pemikiran Lindbeck yang dalam hubungan antar agama tetap memelihara Christus solus (hanya Kristus), sehingga seakan-akan Lindbeck mencoret kepartikularitasan dari agama-agama lain. Akan tetapi, Lindbeck menekankan bahwa Christus solus bukan menyangkali kemungkinan keselamatan untuk non-Kristian. Kristus memang merupakan saluran keselamatan satu-satunya atau saluran persekutuan penuh dengan Tuhan, namun kebenaran dan realitas dari agama-agama lain sangat tidak dapat diabaikan. Hal-hal yang belum diketahui oleh agama Kristen justru dapat diperkaya dengan menghindari sikap pengabaian tersebut. 
Posisi Lindbeck memang tidak jelas, sehingga tidak ada jawaban pasti apakah dia tergolong eksklusif atau inklusif. Konsep keselamatan dalam eskatologi Lindbeck tetap mempertahankan Christus solus untuk mengabsorbsi agama lain namun disisi lain masih menunjukkan bayang-bayang fondasionalisme yang juga muncul dalam inklusivisme. Mungkin dengan pemikiran yang diajukan oleh Lindbeck kita dapat menggolongkan pemikiaran postliberalisme ala Lindbeck cenderung berada di dalam jalur (post) inklusivisme. 
Tanggapan lain dari penulis adalah Lindbeck selain tidak menggambarkan suatu posisi teologis dari dirinya, ia juga tidak memberikan tawaran praktik berteologi postliberal, karena menurut penulis yang menjadi perhatian tidak lagi sekadar ortodoksi, melainkan lebih kepada ortopraksis. Wadah titik temu atau ruang dialog tidak diberikan oleh Lindbeck, entah harus berbicara dalam ranah kemanusiaan, wacana teologis, atau budaya. Namun yang pasti ini menjadi tugas dari orang-orang beragama sendiri (baca: orang Kristen). Agenda Lindbeck memang belum selesai yang terus menerus akan menjadi pergumulan kepelbagaian agama.  


Menggugat Arogansi Kekristenan - Jesus and the Other Names (Paul F. Knitter)


by Alexander Urbinas

Paul F. Knitter adalah Guru Besar Teologi di Xavier University di Cincinnati. Ia mendapatkan Licentiat Teologi dari Pontifical Gregorian University di Roma dan belajar di bawah bimbingan Karl Rahner sebelum menjadi orang Katolik pertama yang mendapatkan gelar Doktor Teologi dari Department of Protestant Theology di University of Marburg. Lewat buku Menggugat Arogansi Kekristenan (Jesus and the Other Names), Knitter ingin menunjukkan bahwa kalaupun memang ada alasan mengapa orang Kristen dapat dan harus terus menyatakan bahwa tidak ada nama lain (ct: Kis 4:12), alasan itu tidak menghilangkan kemungkinan, bahkan keharusan, untuk memajukan pembicaraan dan kerja sama antara Yesus dan tokoh-tokoh agama lain dalam sejarah dan jaman kita. Knitter akhirnya mengajukan untuk berdialog dengan “yang lain” melalui tolak ukur pengalaman dan iman Kristen.

  Knitter melihat memang seringkali sebagai orang-orang Kristen, kita sering terbentur dan tidak mampu berdialog karena adanya Sabda Perutusan Allah (Amanat Agung). Ia menawarkan perlunya kesadaran atau iman kosmologis yang mengundang umat beragama untuk melakukan dialog inter-religius dan bersifat kritis.
 Misteri Allah sesungguhnya memang telah dinyatakan lewat inkarnasi Yesus dalam Kristus, hal itu tidak dapat dihilangkan. Akan tetapi Misteri Allah tidak dapat melekat pada satu agama, Misteri Allah tidaklah sederhana tetapi plural. Inilah isi terdalam dan pengajaran Kristen mengenai Trinitas. Keilahian tidak hanya dapat difenisikan satu, karena Allah tidak terbatas dan tidak dapat didefinisikan. Kasih Allah sendiri tidak terbatas, secara universal menekankan kasih terhadap semua manusia, dimana manusia juga harus memanifestasikan kasihnya juga kepada sesama.
 Beberapa teolog kontemporer menyebutkan alasan mengapa jemaat Kristen perdana membuat begitu banyak pengakuan mengenai Yesus sebagai “satu dan satu-satunya” adalah karena mereka tidak mengalami pluralisme religus sebagaimana kita alami sekarang ini. Penegasan akan keilahian Kritstus menempatkan Kristus bukan pada posisi superioritas tetapi dalam posisi kedaulatan. Tidak seorang pun dapat menggunakan keilahian Kristus untuk mengalahkan yang lain.
  Oleh karena itu menurut Knitter keunikan perlu ditinjau kembali. Berbicara mengenai ortodoksi (ajaran yang dinggap benar) dalam iman Kristen tidaklah terlepas dari bahasa Perjanjian Baru mengenai Yesus, salah satunya mengenai gelar yang diberikan kepada Yesus seperti Anak Allah, Penyelamat, dan Sabda Allah. Gelar-gelar tersebut tampaknya menempatkan Yesus dalam kategori superior terhadap semua pendiri dan pemimpin agama lain. Bagi Knitter kini kita harus melangkah lebih lagi dari ortodoksi menuju ortopraksis (tindakan benar). Gambaran Yesus sebagai “satu dan satu-satunya” adalah bahasa aksi atau bahasa performatif. Kita harus mengikuti dan bertindak seperti Yesus.
  Yesus adalah inkarnasi Allah tetapi tidak identik dengan Allah. Umat Kristen tidak dapat membanggakan Sabda definitif Allah dalam Yesus. Sabda Allah yang menyelamatkan di dalam Yesus tidak dapat diagung-agungkan dan dianggap sebagai yang tidak tertandingi, seolah-olah Allah tidak dapat diwahyukan lebih banyak kepenuhan-Nya dalam berbagai cara yang lain pada waktu yang lain. Sabda Allah dalam Yesus bersifat universal, tidak hanya bagi umat Kristen tetapi bagi semua orang sepanjang jaman. Dengan kata lain mengenal Yesus Kristus berarti merasa bahwa orang-orang lain, Muslim misalnya, perlu mengenal Dia juga. Hal ini berarti bahwa mereka perlu mengakui dan menerima kebenaran yang diwahyukan-Nya (tidak berati mereka akan menjadi komunitas Kristen). 
  Inilah yang menjadi garis besar penafsiran kembali keunikan Yesus. Dia bukan kebenaran Allah yang total, definitif, tidak tertandingi, tetapi Dia membawa suatu warta yang universal, menentukan, dan sangat perlu. Interpretasi baru mengenai keunikan Yesus ini mencoba mengembangkan transformasi pada agama-agama lain. Menggambarkan Yesus sebagai unik berarti melihat Dia berdiri seorang diri saja. Dia harus berdiri dengan yang lain. Sebuah keunikan relasional, bukan keunikan individual.

Tanggapan saya atas buku Knitter ini adalah : Keunikan agama Kristen tidak dapat diabaikan, demikian pula dengan keunikan yang dimiliki oleh agama-gama lain. Kebanyakan teologi-teologi gereja yang berkembang saat ini, melihat wacana Kristen mengenai keunikannya dalam Yesus telah berkembang hingga menjadi kepastian, kemutlakan, kenormatifan, keunggulan unik agama Kristen dibandingkan dengan agama-agama lain di dunia. Namun, kini realitas dunia dihadapi dengan kemajemaukan. Melalui buku ini ingin diperlihatkan bahwa perubahan pluralistis sedang terjadi.
  Kemajemukan adalah sebuah realitas kini yang tidak dapat dihindari, sehingga kita tidak mungkin menutup mata pada keberadaan yang lain. Sebagai umat Kristen kita kerap terjebak pada partikularitas yang dimiliki oleh Yesus. Partikularitas ini akhirnya menutup ke-universalitasan kasih Allah, pekerjaan-Nya dan terutama kedaulatan-Nya. Kita secara arogan pada akhirnya membatasi ketidakterbatasan Allah. Allah itu tersembunyi dan tidak dapat didefinisikan. Kesombongan manusia dalam mendefinisikan-Nya sama saja dengan mereduksi Allah sendiri. Allah tidak saja bekerja bagi orang Kristen, tetapi juga bagi agama-agama lain (Islam, Budha, Hindu,dll).
  Agar dapat mewujudkan kedamaian dalam dunia yang pluralis adalah dengan mengingat persekutuan trinitas (Allah, Kristus, dan Roh Kudus). Sebagai umat Kristen, maka kita juga dituntut untuk mewujudkan persekutuan yang trinitaris yang bersifat korelasional kepada sesama manusia. Kristus sebagai Juru Selamat satu-satunya (the one and only) tak boleh dipandang secara hurufiah, melainkan sebagai sebuah ungkapan konfesional. Untuk mewujudkan dialog-korelasional menuju pluralisme, maka kita harus beranjak dari perspektif yang teologis-dogmatis menuju suatu perspektif yang teologis-etis. Rasul Paulus dalam Efesus 3:1-13 mengatakan bahwa bukan hanya orang Yahudi yang akan diselamatkan tetapi juga non-Yahudi, jelaslah nilai ke-universalitasan ditekankan. Sebagai umat Kristen hal utama yang perlu dilakukan adalah dengan menghadirkan Kerajaan Allah –yang dijelaskan Knitter- di dalam dunia (Mat 6:33).

Theology for the Third Millenium (Hans Küng)


by Alexander Urbinas

Buku Theology for the Third Millenium (1988) karya Hans Küng menggambarkan periode dunia ini sebagai periode transisi dari era modern ke postmodern. Agama kini dinilai Küng telah mengalami krisis kredibilitas. Lewat buku ini Küng ingin hendak mencari jalan bagi agama untuk melakukan fungsi kritis bagi kehidupan manusia secara individual maupun bersama. Dengan demikian agama dinilai Küng harus menemukan kembali kredibilitas dan vitalitasnya, karena komitmen manusia kini terarah lagi pada nilai kemanusiaan dan lingkungan dimana mereka hidup. Di tengah-tengah keprihatinan manusia untuk melindungi kemanusiaannya inilah peran agama dinanti-nantikan. 

Peran agama yang diharapkan tidak lagi yang berbentuk opresif dan represif, seperti pernah terjadi pada masa modern atau abad pertengahan. Manusia telah melewati masa-masa itu dan telah semakin dewasa atau yang disebut Küng telah mengalami “emansipasi”. Oleh karena itu hubungan antara agama dan manusia maupun hubungan antar agama-agama dunia harus ditinjau lagi secara dewasa. Manusia tidak dapat lagi meniadakan agama (gejolak modernisme), layaknya yang dilakukan filsuf ateistik semacam Feuerbach, Marx dan Nietzche, yang dinilai Küng telah menemui jalan buntu. Karena manusia yang demikian telah mengabaikan akan kodrat manusia yang selalu merindukan “the wholly Other” atau yang disebut sebagai agama (Rudolf Otto). Sebaliknya Küng juga memperingatkan kelompok agamawan yang dinilainya tradisonalis.
Tujuan Küng mengkritik tradisionalisme dan agnotisme adalah untuk menemukan kembali jiwa agama supaya bisa disumbangkan bagi humanisme sekuler dan nihilistik. Hipotesis yang melandasi pemikiran-pemikiran teologis Küng adalah bahwa agama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Agama justru menyempurnakan kemanusiaan. Memang agama tidak untuk didefinisikan, apalagi diperdebatkan (religion is as hard to difine as art). Untuk meringkas usaha Küng dalam mencari klarifikasi konsep agama, kita cukup melihat unsur-unsur yang terpenting yang digarisbawahinya. Agama itu bukan hanya menyangkut hal-hal teoritis, melainkan hidup sebagaimana kita hayati. Agama menurut Küng memberikan makna yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat, dan memberikan komunitas.
Lalu dapatkah kita menyamaratakan agama? Küng mengambil jalan tengah, via media. Kita harus memandang kedudukan agama-agama dari dua arah: dari luar dan dari dalam. Dari luar diakuinya ada bermacam-macam agama yang benar. Inilah dimensi relatif dari suatu agama. Dari dalam diakui adanya satu agama yang benar. Inilah dimensi mutlak dari suatu agama. Namun, semestinya agama-agama dapat melengkapi, mengkoreksi, dan memperdalam satu sama lain. Inilah pendirian kritis-ekumenis dari Küng. Sikap-sikap ekstrem seperti: abosulitisme, eksklusivisme, relativisme, sinkretisme, indiferentisme ataupun pluralisme, ditanggapi Küng dengan menunjukkan sikap indiferens terhadap ortodoksi, yang diperlukan adalah hubungan (relationship).  
  Sebagai seorang teolog Küng ingin merintis usaha untuk mencari konsensus di bidang teologi yang bisa menjadi dasar dialog. Oleh karena itu, Küng memulainya dengan memberi dasar epistemologis dengan memakai analisis pergeseran paradigma (pradigm shift) yang dikemukanan oleh Thomas S. Kuhn. Küng memperlihatkan adanya pergeseran-pergeseran paradigma dengan akibatnya pada teologi. Memang seakan-akan Küng ingin menyamaratakan atau mengatasi semua perbedaan agama-agama. Justru tidak, sebaliknya Küng justru bermaksud menembus batas-batas esoteris dan denominasional. Pemikirannya ingin meneerobos doktrin-doktrin yang dianggap vital. Küng yakin usahanya mencari model teologi postmodern dapat diterapkan secara analogis dalam agama-agama lain (universalitas).
Oleh karena itu, dengan teologi kritis-ekumenisnya, Küng bermaksud untuk menempatkan Kitab Suci dan manusia sebagai pusat refleksi teologis dengan metode kritis historis. Inilah yang menjadi kerangka dasar teologi Küng, yakni teologi yang ekumenis. Küng yakin bahwa setiap agama –baik secara individual maupun bersama- mempunyai tanggung jawab untuk mencari struktur konstan pesan asli yang terkandung di dalam Kitab Suci atau di dalam doktrin.
Nampak bahwa Küng dengan proyek berteologinya berusaha untuk menjalin perdamaian di antara agama-agama dan memberian warna baru bagi dunia yang telah mengalami krisis makna, nilai dan norma. Küng melihat kemungkinan yang bisa disumbangkan oleh agama-agama untuk melaksanakan tanggung jawab bersama itu, yaitu mencari konsensus moral di antar agama-agama di dunia. Usaha untuk mencari konsensus moral antar agama-agama ini tidak dimaksudkan untuk mereduksi agama semata-mata bersifat moral atau manusiawi. Bukan pula untuk meremehkan ciri-ciri dan kriteria khas dari setiap agama yang mengancam keunikan dari setiap agama. Sebaliknya sebagai langkah kooperaif dan kritis untuk merumuskan tanggung jawab global. Dunia mengalami berbagai masalah sosial, karenanya agama yang benar tidak hanya bertentangan dengan kemanusiaan, tetapi juga menyempurnakan kemanusiaan.
Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah usaha Küng tersebut memungkinkan? Kita tentu memahami bahwa dalam dalam masalah dogma, agama-agama memilki perbedaan yang amat besar. Akan tetapi dalam etika dan perilaku, agama-agama mempunyai banyak hal yang sama. Etika yang dimaksud adalah masalah praksis hidup, masalah hidup sebagaimana dihayati. Etika berkenaan dengan sikap kita akan yang baik dan buruk, apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak kita lakukan. Setiap agama memang memilki kerangka acuan teoritis yang berbeda sebagai fakta yang harus diperhitungkan untk melakukan langkah-langkah konsensus, tetapi tidaklah menjadi hambatan prinsipil sebagai tanggung jawab global.
Menurut Küng agama yang baik dan benar pasti tidak akan bertentangan dengan kemanusiaan, humanitas. Agama tidak hanya tak bertentangan dengan kemanusiaan, tetapi menyempurnakan kemanusiaan. Küng mengambil kemanusiaan (humanum) sebagai kriterium kebenaran suatu agama. Agama dinyatakannya sebagai prasyarat optimal bagi realisasi kemanusiaan. Bagaimana pemikiran Küng tersebut jika berhadapan dengan suatu sistem etika non-religius?
Küng mengakui bahwa manusia tanpa agama pun dapat mengarahkan hidupnya menjadi sungguh-sungguh manusiawi. Tuntutan hidup baik secara moral bersifat universal dan inheren pada kemanusiaan kita. Küng sungguh-sungguh tetap ingin mengajak ke moralitas yang berdasarkan nilai-nilai religius. Hal ini dikarenakan agama pada dasarnya manusiawi. Bukan berarti teonomi mengabaikan otonomi manusia. Pemikiran Küng merupakan cara optimal dalam mnegupayakan pelaksanaan sumber moral dan spiritual dari semua agama terhadap persoalan dasar etis dunia yang tidak mudah untuk diatasi. Küng memang tidak memberikan jalan keluar yang pasti mengenai bagaimana menempuh langkah-langkah teknis dan pelik untuk konsesus moral ini dapat tercapai.
Karena itulah sulit rasanya kita menentukan berada di posisi mana sebenarnya pandangan teologis Küng, apakah dikelompokkan ke dalam pluralisme atau ia masih berada di dalam area inklusivisme. Namun kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ia cenderung mengambil posisi pluralis. Küng tidak lagi berteologi dalam perspektif kristosentris, melainkan beralih dalam perspektif teosentris sifatnya. Agama lain juga dipandangnya secara kondisional, namun agama-agama lain itu dikondisikan dalam pengertian kristiani, atau disebut Küng sebagai agama humanum.
Perjumpaan kekristenan dengan agama-agama lain harus dialihkan ke dalam kriteria yang lebih meluas, yaitu kriteria etis (the humanum). Tentu ini merupakan sebuah pendekatan progresif dalam perjumpaan agama-agama. Dialog tidak lagi dipandang secara sempit yang berbicara sekitar percakapan intelektual dan dogmatis tanpa menemukan titik temu dan seakan teoritis tanpa aplikasi, namun justru diwujudnyatakan dalam upaya bersama (konsensus) membuat masa depan bersama yang lebih damai. 
Agama bukanlah semata-mata sekumpulan norma dan lebih luas daripada etika. Etika yang dimaksudkan Küng merupakan realitas sehari-hari dan sejarah kehidupan yang dinamis. Oleh karena itu, setiap komunikasi tentang etika merupakan diskusi etis yang begitu relevan bagi pembentukan masyarakat yang bertanggung jawab. Dialog interreligius kini musti bergeser dari perspektif teologi-dogmatis menuju teologis-etis sebagai cita-cita membentuk dunia yang manusiawi. 

Thursday, February 12, 2009

The Depth of The Riches: A Trinitarian Theology of Religious Ends (Mark Heim)

by Alexander Urbinas

Kehidupan kekristenan kini menghadapi dua tantangan dalam peneguhan imannya. Tantangan pertama adalah klaim sebagai agama yang “satu dan satu-satunya”, penekanannya pada Kristus sebagai relasi antara Allah dan ciptaan. Kristus disebut sebagai poros dalam hubungan tersebut. Tantangan kedua adalah mengenai kebenaran dari agama-agama lain, sebagai realitas yang tidak dapat dihindari.

 Berangkat dari situasi tersebut Heim menawarkan sebuah pendekatan lain guna mempertahankan partikularistik dari agama-agama yakni dengan mengembangkan hipotesis mengenai akhir dari keberagaman agama. Setiap agama memiliki pandangan akan akhir agama yaitu kebenaran agama untuk pembentukan spiritualitas dalam praktik hidup, dalam menghadapi Allah yang tak tepermanaikan. Bagi Heim bukan agama-agama mana yang menguntungkan atau bermanfaat melainkan nilai-nilai apa yang menggenapkan. Titik temu dari keberagaman agama adalah dengan mempertahankan partikularitas. Heim ingin menyampaikan sebuah gagasan dan cara agar keristenan dapat menyapa yang lain, berangkat dari pendekatan trinitarian.
Heim mengatakan, Trinitas sesungguhnya mengajarkan kita bahwa Yesus Kristus tidak dapat menjadi sumber yang sepenuhnya dalam merepresentasikan Allah, bukan juga tindakan sepenuhnya Allah dalam menyelamatkan ciptaan. Trinitas menyatakan akan konsep Allah yang merasa tidak cukup seorang diri (in se). Akibat dari situasi ini adalah menciptakan rasa peka kepada persekutuan, yang menjadi sifat dasar Allah yang personal. Secara terus menerus sebenarnya kita didorong untuk keluar dari batas hubungan dengan Allah yang mutlak untuk membangun persekutuan yang lebih kaya. Heim berpendapat bahwa di dalam ketritunggalan Allah terdapat “kekosongan” yang bukan dalam pengertian tak berisi, “kekosongan” digambarkan sebagai satu relasi Allah dengan ciptaan-Nya. Berarti kita tidak dapat mengelak bahwa dalam relasi Trinitarian ada upaya untuk “membuka ruang bagi yang lain”. 
Heim menyampaikan gagasan bahwa melalui Allah yang Trinitas itulah, maka kekristenan dapat mengerti kebenaran yang terdapat pada agama-agama lain. Pertimbangan Heim adalah dengan melihat bahwa akhir dari agama-agama yang berbeda justru membangun dimensi-dimensi obyektif yang universal, bahwa Allah sesungguhnya membuka saluran cinta kasih dan relasi-Nya dalam ekspresi yang partikular dari tiap agama. Heim bertolak dari konsep Trinitas, ingin menegaskan bahwa ada satu objek religius yang sama yaitu Allah. Akan tetapi Allah yang satu menghadirkan tujuan agamawi yang beragam, bergantung dari saluran apa yang Allah nyatakan pada kondisi (baca: agama) tertentu dan bergantung pada pengalaman religius kita masing-masing.
Heim kemudian sampai kepada tawarannya yang berikut yakni konsep mengenai “plenitude” (kepenuhan). Dasar pemikirannya adalah Allah bekerja dengan melimpahkan kasih-Nya kepada semua ciptaan tanpa terbatas dan universal. Allah tidak hanya berada pada satu kebenaran saja, karena kebenaran yang lain seutuhnya berpartisipasi pada Allah. Jika Allah menolak akan eksistensi kebenaran yang lain, berarti terdapat diskriminasi dan inkosistensi Allah yang menyebabkan konsekuensi kepada ketidakpenuhan. Setelah mengetahui akan konsep Trinitas sebagai sikap iman maka, Kristus tidaklah dapat diabaikan. 
 Dalam gagasan Heim mengenai kepenuhan, ia mengemukakan prinsip-prinsip eskatologi dalam hubungannya pada akhir keberagaman agama, yaitu: (1) keselamatan yang universal dari Allah; (2) posisi konstitutif dalam diri Yesus sebagai Juruselamat; (3) keselamatan universal yang diperoleh; (4) kebebasan dari ciptaan; (5) kemungkinan yang hilang; (6) prinsip teologi kepenuhan.
 Dengan mengatakan bahwa untuk mencapai dari kepenuhan keberagaman agama itu melalui kasih Allah, maka Kristus tidaklah dapat diabaikan. Kristus sebagai peristiwa konstitutif dari tindak penyelamatan dan pencapaian kepenuhan tersebut, memiliki pengaruh bagi orang-orang beragama untuk berhasrat mencari relasi dengan Allah. Hasrat itu dapat terjadi dengan bertolak pada dimensi kehidupan yang trinitaris yang kemudian membawa pada gambaran kesetiaan dari relasi tersebut. Kristus dapat disebut sebagai puncak dalam pengertian ia sebagai pijakan untuk menuju kepada kepenuhan. Akan tetapi, Kristus tidaklah konstitutif bagi keberagaman agama-agama. Hal ini disebabkan sudut pandang yang berbeda dari agama-agama yang berbeda dari akhir pengalaman religiusnya. 
Satu hal yang dapat menyebutkan akan puncak tindakan Kristus adalah keselamatan pada persekutuan. Kritus tidak dapat disebut sebagai puncak dari keberagaman agama karena ini bertolak belakang dari konsep persekutuan sendiri. Dimensi relasi dengan Allah yang dinyatakan oleh agama-agama lain juga mengarah kepada keselamatan yang melalui persekutuan, Kristus tidak dapat menjelaskannya secara konkrit. Inilah yang menjadi alasan bagi keberagaman agama, bahwa Kristus sesungguhnya memiliki keterbatasan. Tetapi di luar itu, Heim juga menjelaskan akan adanya keterbatasan lain dari keberagaman agama yang tidak menjelaskan bagaimana relasi antara Allah dan ciptaan dapat didamaikan seperti yang telah dilakukan oleh Kristus.
 Tanggapan : Pasca-pluralisme ala Heim ingin mengatakan bahwa Allah yang satu justru menghadirkan tujuan agamawi yang beragam. Pemikiran Heim relevan dalam kemajemukan agama, karena konsep teologi yang ditawarkan Heim mampu memberi jalan dan penghargaan pada tradisi agama-agama lain yang dinilai sebagai bagian dari maksud pemeliharaan Allah. Pemikiran Heim dapat digunakan untuk mengikis perpektif eksklusif yang menghambat dialog agama-agama, yang tercipta justru sebaliknya yakni relasi antar agama. Perbedaan perspektif adalah akibat kondisi tekstual manusia bahkan membuat dua pihak berbicara tentang Allah dalam bahasa yang sama sekali berbeda dan bahkan berlawanan.
 Konsep Trinitas ternyata dapat menolong kita memahami hubungan keselamatan agama-agama. Heim ingin menggagas akan model Trinitas yang duniawi. Masing-masing pandangan tampaknya menghargai realitas tujuan agamawi lainnya. Sekalipun dari sudut pandang masing-masing pandangan “yang lainnya” tak sesuai (incompatible). Namun, dari sudut pandang trinitarian pandangan “yang lain” bukan saja incompatible namun juga dapat dihargai (respectable). Dengan demikian perbedaan dirayakan tanpa terjerumus dalm sikap kompromistis. Keunikan dan partikularistik dari agama-agama dapat tetap dipertahankan.
 Allah Tritunggal adalah misteri yang kompleks yang tidak akan diserap oleh teologi manapun, termasuk keristenan. Ia yang tidak terbatas tidaklah dapat didefinisikan, keinginan mendifinisikannya adalah sebuah usaha untuk mereduksi kemuliaan Allah. Sudut pandang keberagaman pengalaman religius dikarenakan manusia selalu mengalami Allah dalam konteksnya, maka disadari bahwa terhadap Allah yang kompleks itu bermacam-macam tujuan keselamatan dihadirkan. Setiap agama partikular dan menjadi unik pada dirinya sendiri, tak terbandingkan satu sama lain. Setiap klaim yang menunjukkan eksklusivitas agama tertentu sama sekali tidaklah relevan untuk dipertahankan dalam sebuah bangunan keagamaan.
 Heim menekankan relasi –bertolak dari Allah Tritunggal- pada dunia ini (this-wordly) bukan pada keselamatan di dunia lain (other-wordly). Masalah yang dihayati adalah bagaimana relasi dengan masalah-masalah di dunia ini. Penekanan utamanya adalah pada praksis imannya sendiri.