GKI Harapan Jaya

Friday, February 13, 2009

The Nature of Doctrine (George Lindbeck): Kajian Terhadap Postliberalisme


by Alexander Urbinas

George Lindbeck merupakan seorang teolog yang dikategorikan dalam kelompok arus pemikiran postliberal. Istilah postliberalisme sendiri sebetulnya mengarah kepada kritik terhadap beberapa pemikiran konservatif dan liberal. Postliberalisme banyak diakitkan dengan mazhab Yale, dimana sebagian pemikirnya berasal dan berkarya, sebut saja Hans Frei dan George Lindbeck. Karya Frei, The Eclipse of Biblical Narrative (1974) mengkritik pendekatan kelompok konservatif dan liberal yang dianggap Frei menanggalkan kewibawaan Kitab Suci dengan menempatkan secara fondasional makna pengajaran biblis ke beberapa doktrin dan pengajaran dunia ketimbang Kitab Suci itu sendiri. 
Lewat karya The Nature of Doctine (1984) Linbeck meneruskan kritik Frei. Dengan memakai kesadaran postmodernisme, Lindbeck menggunakan pendekatan “intratekstual” dalam mengklasifikasikan model dari dogmatika, semuanya berhubungan dengan cara bagaimana seseorang menghubungkan bahasa dan agama : (1) model “kognitif-proporsional” (kelompok konservatisme atau preliberalisme) yang menekankan aspek kognitif dari agama dengan melihat pada fungsi dari doktrin sebagai klaim kebenaran yang proporsional dalam menilai realitas. Sehingga cara berpikir pertama ini memahami jika sebuah doktrin benar, maka selamanya ia akan benar, yang bersebrangan dinilai salah; (2) model “eksperiensial-ekspresif” (kelompok liberalisme) yang menginterpretasikan doktrin sebagai sesuatu yang tidak berkesinambungan dengan orientasi eksistensial, atau dengan kata lain cara berpikir kedua ini ingin mengatakan perbedaan doktriner hanya merupakan pengalaman dan ekspresi dari makna yang satu dan yang sama; (3) model ketiga merupakan sebuah opsi dari Lindbeck yakni, “kultural-linguistik”. Doktrin tidak dipahami sebagai klaim kebenaran, melainkan sebagai aturan komunal yang otoritatif.
Lindbeck menyebut dogmatika itu proposisionalisme, dengan demikian jika doktrin itu benar maka selamanya akan benar, dan jika salah maka selamanya akan salah. Sikap demikian hanya akan membuat pemelihara dogma, gereja, menjadi takut dengan pendapat lain, disensus atau pluriformitas. Lewat pendekatan kultural-linguistik Linbeck menyatakan bahwa agama merupakan kerangka budaya maupun dari bahasa/linguistik yang mewujudkan kehidupan dan pemikiran manusia.  
Semua dimulai dari bahasa. Bahasa merupakan cerita-cerita, ritual dan simbol. Oleh karena itu, bahasa sama dengan bentuk kehidupan yang menciptakan perasaan. Allah misalkan, tidak berasal dari sebuah perasaan yang universal atau sumber yang mistis. Ide mengani yang baik dan yang jahat, diciptakan oleh sebuah budaya, dan akan menggambarkan Allah dan semua dogma-dogma mengenai alamnya. Dengan demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah di dalam Islam sama dengan Allah di dalam keristenan. Kita bahkan tidak dapat memperbandingkan Allah di dalam Islam dengan Allah di kekristenan, atau solidaritas di dalam agama Budha dengan cinta kasih di dalam kekristenan.  
Dari pengalaman yang beragam ini, Lindbeck mengambil langkah logis postmodern berikutnya dan sampai pada kesimpulan tentang agama sebagai yang tidak dapat diperbandingkan (incommensurability). Seperti yang telah disebutkan di atas, meskipun kata-kata yang dipakai sama dalam berbagai agama sebut saja “kasih atau Tuhan” kata-kata tersebut mempunyai makna yang benar-benar berbeda. Istilah yang dipakai oleh Linbeck adalah intratekstualitas. Istilah dari sebuah agama dan pengalaman beragama bisa dimengerti dan diyakini sebagai “benar” hanya di dalam teks tertentu atau sistem bahasa dari agama tertentu. Hal ini untuk membedakan dengan ekstratektualitas yang dipahami oleh liberalisme maupun konservatisme, dimana makna religius diletakkan di luar teks, baik di dalam kenyataan objektif yang ditunjukkan secara proporsional (konservatisme) atau di dalam pengalaman yang disimbolkan (liberalisme).  
Lindbeck memberikan alasan yang berikut mengapa agama tidak dapat diterjemahkan dari yang satu ke yang lain. Ia mengamati bahwa tiap agama menawarkan suatu “kerangka komprehensif total, satu perspektif universal”. Namun, tidak ada agama yang dapat diukur oleh agama lain, karena adanya perbedaan bahasa. Pemikiran yang demikian memang menjadi ciri khas dari postmoden yang bersikeras mengatakan bahwa tidak ada asas bersama dan ketidakmungkinan satu agama benar-memahami dan menghakimi yang lain. Hal ini perlu dijelaskan bahwa bukan berarti mereka ingin membangun tembok pemisah di antar agama-agama tetapi lebih karena mereka ingin menjaga dan menghormati berbagai perbedaan antar mereka.  
Dari pemikiran Linbeck dan kelompok postmodern lainnya muncullah pertanyaan: “Apakah mungkin dialog terjadi?” Model yang ditawarkan oleh Lindbeck sebetulnya tidak menutup hubungan atau dialog antar agama. Namun, kelompok postliberalisme ini memiliki pemahaman yang jelas. Bahwa tiap agama-agama harus hidup berdampingan atau bertengga yang baik. Yang perlu dipahami setiap agama adalah bahwa dengan adanya pagar yang baik akan menjadikan hidup bertetangga yang baik, karena setiap agama memiliki halamannya masing-masing. Jadi, biarlah tiap agama mengatur halaman belakangnya sendiri. Untuk bertegur sapa dengan agama lain yang dilakukan adalah dengan melakukannya di seberang pagar halaman, tanpa harus mencari yang mungkin bisa menjadi kesamaan di antara mereka.
Dengan kata lain, dengan berusaha menyesuaikan pesan kristiani dengan apa yang kita sangka merupakan pesan yang sama bagi semua agama kita, maka kita akan mudah kehilangan kepartikularitasan dari apa yang dilakukan Kristus, dan ini disebut Lindbeck dapat merusak iman. Tindakan ini juga dapat mengurangi nilai agama-agama lain dan budaya yang luas. Biarkan tetangga kita mengenal siapa kita sesungguhnya. Tetapi tentu terlebih dahulu kita musti memiliki fondasi yang kokoh terlebih dahulu, yakni dengan hidup sesuai dengan Injil. Agar hidup kita dalam keseharian benar-benar nampak.
Menurut Lindbeck pendekatan terhadap agama-agama model kultural-linguistik merupakan model yang terbaik yang memungkinkan bagi terlaksananya dialog. Model ini tidak mengesampingkan adanya perkembangan berbagai rasional teologis dengan tetap memungkinkan diskusi dan dialog antar agama. Kembali kepada apa yang dikatakan oleh Lindbeck bahwa telah terjadi dan terdapt banyak ‘bahasa’ dalam masyarakat. Semua bahasa tersebut adalah heterogen, inkosisten satu sama lain. Dengan demikian pendapat dari bahasa –dalam hal ini dogma dalam agama sebagai yang partikular- lain tidak dapat diabaikan. Setiap agama memiliki permainan bahasanya masing-masing. 
Pemikiran Lindbeck dan kelompok postliberalisme memang telah berhasil menanggapi warna dominan dalam teologi modern, yakni konservatisme (eksklusivisme) dan liberalisme (pluralisme dan juga inklusivisme). Melalui pendekatan kultural-linguistik Linbeck menyatakatakan bahwa tiap-tiap agama memilki permainan bahasa masing-masing sebagai yang partikular yang tidak dapat dibandingkan atau disejajarkan satu sama lain. Namun, seringkali posisi Lindbeck dipertanyakan, berada di dalam posisi inklusif atau malah eksklusif? 
Pertanyaan ini muncul karena pemikiran Lindbeck yang dalam hubungan antar agama tetap memelihara Christus solus (hanya Kristus), sehingga seakan-akan Lindbeck mencoret kepartikularitasan dari agama-agama lain. Akan tetapi, Lindbeck menekankan bahwa Christus solus bukan menyangkali kemungkinan keselamatan untuk non-Kristian. Kristus memang merupakan saluran keselamatan satu-satunya atau saluran persekutuan penuh dengan Tuhan, namun kebenaran dan realitas dari agama-agama lain sangat tidak dapat diabaikan. Hal-hal yang belum diketahui oleh agama Kristen justru dapat diperkaya dengan menghindari sikap pengabaian tersebut. 
Posisi Lindbeck memang tidak jelas, sehingga tidak ada jawaban pasti apakah dia tergolong eksklusif atau inklusif. Konsep keselamatan dalam eskatologi Lindbeck tetap mempertahankan Christus solus untuk mengabsorbsi agama lain namun disisi lain masih menunjukkan bayang-bayang fondasionalisme yang juga muncul dalam inklusivisme. Mungkin dengan pemikiran yang diajukan oleh Lindbeck kita dapat menggolongkan pemikiaran postliberalisme ala Lindbeck cenderung berada di dalam jalur (post) inklusivisme. 
Tanggapan lain dari penulis adalah Lindbeck selain tidak menggambarkan suatu posisi teologis dari dirinya, ia juga tidak memberikan tawaran praktik berteologi postliberal, karena menurut penulis yang menjadi perhatian tidak lagi sekadar ortodoksi, melainkan lebih kepada ortopraksis. Wadah titik temu atau ruang dialog tidak diberikan oleh Lindbeck, entah harus berbicara dalam ranah kemanusiaan, wacana teologis, atau budaya. Namun yang pasti ini menjadi tugas dari orang-orang beragama sendiri (baca: orang Kristen). Agenda Lindbeck memang belum selesai yang terus menerus akan menjadi pergumulan kepelbagaian agama.  


1 comment:

  1. Pada dasarnya gw sepakat dengan Lindbeck dalam melihat fenomena kepelbagaian agama dengan doktrinnya.... Perkembangan agama dan doktrin tidak dapat dipisahkan dari yang disebut sebagai bahasa... Dan bahasa tidak dapat dipisahkan dari yang namanya budaya..... Sehingga perbedaan budaya dan bahasa menghasilkan sebuah doktrin atau agama yang berbeda pula... Karena itu pengalaman berbahasa dan berbudaya satu agama tidak dapat disandingkan bahkan diperbandingkan dengan yang lainnya... Satu hal yang menjadi kritik terhadap Lindbeck adalah pemikirannya menutup ruang diskusi atau dialog, dimana dalam ruang ini dibutuhkan prinsip komunikasi. Pemikiran Lindbeck telah menutuh ruang komunikasi karena tidak dapat dipungkiri dalam berkomunikasi setiap orang akan menangkap pesan yang disampaikan oleh orang lain dalam kerangka berpikirnya (ataupun bahasa) sendiri.. Ketika bahasa agama diklaim tidak dapat diperbandingkan, bagaimana seorang kristen dapat memahami apa yang dimaksud oleh orang Islam ketika bahasa mereka berbeda? apakah mereka berdua dilarang untuk berkomunikasi, secara lebih khusus berkomunikasi mengenai iman mereka masing2?
    Terlepas dari kritikan terhadap Lindbeck ada satu hal menarik yang dapat ditarik untuk saat ini yaitu menghilangkan segala bentuk 'penjajahan' agama yang satu atas agama lainnya dengan mengklaim bahwa agamanya paling benar.... Pada titik inilah menurut saya Lindbeck berperan besar untuk menyadarkan kita akan artinya dari kepelbagaian itu sendiri

    ReplyDelete