GKI Harapan Jaya

Friday, February 26, 2010

AYO “SUNATAN” “MASAL” !! : Refleksi Tradisi Sunat dan Doktrin imago Dei di Tahun 2010


Membaca judul tulisan ini, mungkin kita berseloroh: “Kok judulnya aneh sekali?!” Memasuki tahun yang baru, runtutan tema dan khotbah di bulan Januari ini begitu kental mengingatkan kita untuk senantiasa mawas dan siap diri memasuki tahun 2010. Perenungan-perenungan yang diangkat sedikit menggambarkan, bahwa tahun ini dan tahun-tahun berikutnya adalah masa ketidakpastian, penuh kekuatiran, bahkan akan muncul berbagai kekerasan. Ada dua kemungkinan yang terjadi dalam situasi ketidakpastian tersebut: pertama, menjadi “sprinter” yang lari dari masalah yang dihadapi; atau kedua, menjadi “orang yang tak tahu berenang” yang sibuk menyelamatkan diri sendiri. Dalam nuansa demikian, tulisan ini justru ingin mengajak kita, yang mengaku sebagai orang percaya, untuk “sunatan” “masal” di awal tahun ini! Lho kok sunatan masal?! Apa hubungannya?
Menurut Perjanjian Lama (PL), sunat pertama-tama mewujudkan tanda rohani, dan kedua mempunyai arti kebangsaan yang mencirikan keanggotaan bangsa Israel. Sunat juga merupakan tanda perjanjian yang dibuat oleh Abraham (Kej 17:10, 11, 13, 14). Sunat juga merupakan tanda kasih karunia Allah buat umat manusia yang menandai penyerahan manusia kepada Allah. Sunat (circumcision) dalam tradisi bangsa Israel kemudian menjadi sesuatu yang penting. Bahkan jika tidak melakukan sunat, maka akan mendapatkan hukuman (Kej 17:14; Kel 4:24, 26), tidak diperkenankan melakukan pernikahan campuran dengan orang yang tidak bersunat (Kej 34:14; Hak 14:3), dan tidak boleh bergaul dengan orang yang tidak bersunat (Kis 10:28; 11:3; Gal 2:112).
Lalu apakah Yesus disunat? Tentu saja Yesus disunat, karena ia hidup dalam tradisi dan kebudayaan Yahudi, sehingga Ia juga mengalami dan menjalani praktik inisiasi budaya Yahudi di dalam kehidupan-Nya. Lalu kapan peristiwa itu terjadi? Kesaksian penulis Injil Lukas (Luk 2:21-40) menyatakan, bahwa Yesus disunat ketika genap berusia delapan hari. Saat itulah juga Ia dibawa ke Yerusalem untuk diserahkan kepada Tuhan, untuk kemudian diberi nama Yesus.
Kalau kita bermain hitung-hitungan matematis menurut kalender Romanum (kalender yang kita sebut Masehi pada saat ini), maka delapan hari sesudah kelahiran Yesus (25 Desember) tepat jatuh pada tanggal 01 Januari. Atau dengan kata lain, setiap kita memasuki tahun yang baru, sebagai orang percaya sebetulnya kita merayakan penyunatan Yesus. Oleh karena itu, memasuki tahun 2010 kita kembali diingatkan untuk memaknai “sunat Kristus” itu.
Dalam Perjanjian Baru dengan tegas dinyatakan bahwa tanpa ketaatan, sunat adalah omong kosong (Rm 2:25-29). Tanda lahiriah dalam sunat akan pudar tanpa menaati perintah-perintah Tuhan (1 Kor 7:18,19), beriman (Gal 5:6) dan ciptaan baru (Gal 6:15). Justru yang diperlukan adalah “Sunat Kristus” berupa “penanggalan akan tubuh” atau sebagian dosa, suatu perbuatan rohani yang tidak dilakukan oleh tangan manusia, suatu hubungan dengan Kristus dalam kematian dan kabangkitanNya, yang dimeteraikan dalam peraturan penerimaan atas Perjanjian baru (Kol 2:11, 12). Sebagai akibatnya, orang Kristen adalah “orang yang bersunat”.
Dalam praktik kehidupan kita kini, maka sebagai “orang yang bersunat” kita kemudian memiliki tanggung jawab, tidak bisa menjadi “sprinter” atau “orang yang tak tahu berenang” tadi. Teologi Kristen harus dijalankan dan dikembangkan dalam kerangka persekutuan hidup beriman (antropologi Kristen). Teologi Kristen mempunyai fungsi dalam jemaat Kristen yang ingin menghayati dan menjadi saksi Injil Yesus Kristus dalam situasi masyarakat yang konkret, karena realitas sosial merupakan locus theologicus, dimana Allah menjumpai dan memanggil kita dalam kenyataan hidup kita sekarang ini.
Ketika kita berbicara mengenai konsep mendasar dari antropologi kristen, maka semua akan bermuara pada konsep imago Dei, yang menyatakan manusia sebagai “gambar dan rupa” Allah (Kej 1:26-27). Secara etimologis terdapat dua kata yang berbeda untuk menyatakan manusia sebagai citra (“gambar dan rupa”) Allah: selem dan demuth (Ibrani); eikon dan homoiosis (Yunani); imago dan similitudo (Latin). Kata pertama: selem, eikon, dan imago, menunjuk kepada representasi, sedangkan kata kedua: demuth, homoiosis, dan similitudo menunjuk kepada kesamaan (adanya hubungan). Doktrin imago Dei, secara eskatologi adalah sebuah konsep antropologi Kristen yang mampu menjelaskan akan jalan manusia untuk mentransformasi hidupnya secara lebih baik, membentuk persekutuan terhadap Allah dan sesama, dan senantiasa mewujudnyatakan kemuliaan Allah di atas dunia (Gloria Dei).
Oleh karena itu ada 5 hal yang ingin ditekankan dalam tulisan ini berkenaan dengan aplikasi doktrin imago Dei dalam relasi “masal” adalah:
1. Recognition (Pengakuan)
Dalam perspektif kristiani, kita tentu menyadari skandalon (batu sandungan) dari dogmatika Kristen selalu ada akan bersama kita dalam mengakui keradaan “yang lain.” Namun, Kis 10:34-35 mengatakan : “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” Dengan kata lain, kalimat ini ingin menegaskan adanya pekerjaan Allah yang tidak terbatas bagi semua orang. Oleh karena itu, gereja sebagai pengemban misi Allah di dalam dunia harus dapat mencitrakan karya Allah tersabut dalam tindakan dan perbuatan, yakni sikap terbuka, menghormati, dan mengakui keberadaan sesamanya.

2. Responsibility (Tanggung Jawab)
Melalui sikap tanggung jawab bersama, maka kita didorong untuk merasa bahwa dimensi sosial dari kepribadian manusia dipersoalkan dan ditantang, melebihi segi sosial yang menyangkut persoalan-persoalan pengelompokan masyarakat. Pada akhirnya, kita akan mempersoalkan secara serius apa yang dimaksud dengan menjadi manusia dalam kondisi saat ini. Oleh karena itu, tanggung jawab bersama yang harus dipikul dalam teologi Kristen adalah menampilkan sebuah teologi yang manusiawi.
Dalam kehidupan gereja, maka melalui tanggang jawab bersama ini, gereja memiliki tugas mewujudnyatakannya. Gereja harus dapat memainkan peran positifnya dalam membantu orang lain dan mengenal kebenaran mereka. Gereja seharusnya dapat menjadi alat yang menyuarakan jeritan sesama yang menderita.

3. Solidarity (Solidaritas)
Kita tidak dapat mengelak untuk mendengar panggilan dari sesama manusia. Sikap solidaritas yang sejati dapat kita pelajari dari Yesus Kristus, sebagai manusia yang telah membuka diri terhadap sesamanya. Dia seperti orang Samaria yang murah hati, yang tidak memandang bulu, tetapi menjadi sesama untuk yang terluka. Yesus Kristus juga mengalami tindakan sesamanya dengan menerima kekerasan dan penindasan. Dia selalu melihat dalam diri orang lain, pada orang-orang yang memanggil dan membutuhkan Dia. Dengan sikap solidaritas, kita sebagai individu maupun kolektif, ditantang untuk senantiasa memandang orang lain dengan “meminjam mata Yesus.”

4. Mutuality (Mutualitas)
Konsep mutuality direfleksikan melalui sikap hidup Yesus yang menghancurkan dinding kotak-kotak sosial. Kita telah mengetahui bahwa di dalam tradisi Yahudi terdapat pemisahan antara orang Yahudi dan orang Samaria. Yesus melampaui pengkotakan etnis tersebut, sebaliknya Ia malah mengangkat orang Samaria “yang murah hati” sebagai puncak agape. Di dalam Yoh 4:7, Yesus “berani” membuka percakapan dengan seorang perempuan Samaria yang notabene diremehkan oleh tradisi Yahudi. Hal ini berarti, rintangan-rintangan sosial antara bangsa Yahudi dan non-Yahudi hancur di hadapan Yesus. Sikap demikianlah yang hendaknya dilakukan oleh orang-orang beriman kini, dengan berani secara terus menerus membuka relasi dengan sesama.

5. Equality (Kesetaraan)
Kitab Kej 1-26-28 jelas menunjukkan kesetaraan di antara sesama manusia yang menegaskan tidakadanya perbedaan antara “laki-laki” dan “perempuan,” karena keduanya adalah sama-sama ahli waris baik atas citra ilahi maupun kekuasannya atas bumi. Tidak terdapat makna teks yang menunjukkan salah satu dari kedua seks itu lebih besar keserupaannya dengan Allah daripada yang lain, atau bahwa salah satu dari kedua seks itu lebih besar tanggung jawabnya atas bumi daripada yang lain. Dengan demikian, baik “laki-laki” maupun “perempuan” dari awalnya sama-sama merupakan bagian dari karunia Allah, sebab keduanya sama-sama diciptakan oleh Allah dan serupa dengan gambar-Nya (imago Dei).
Demikian pula Yesus Kristus, yang senantiasa menekankan kesepadanan dalam tindakan dan pengajaran-Nya. Misalnya, di dalam Luk 7:36-50, ketika Ia mengijinkan seorang pelacur mendatangi Dia dari belakang sewaktu hendak duduk makan, membasahi kaki-Nya dengan air matanya, menyeka-Nya dengan rambutnya, dan menciumi-Nya. Yesus menunjukkan kasih kepada perempuan itu, dengan mempertaruhkan diri-Nya terhadap tradisi Yahudi yang melarang pergaulan pria Yahudi dengan perempuan yang dianggap berdosa.
Artinya terdapat hubungan kesepadanan derajat manusia di hadapan Allah, karena kita telah menikmati relasi yang sama terhadap Dia, layaknya Kristus Yesus. Dengan demikian, perbedaan rasial dan sosial tidak menjadi relevan lagi. Sebab semua orang yang beriman kepada Allah, sama-sama diterima, sama-sama merupakan anak-anak Allah, tanpa pengecualian atau pendiskriminasian berdasarkan kelas ataupun kelompok sosial.

Bagi kita, tentu ini sebuah tantangan yang harus terus digumuli di tahun yang baru. Kita harus dapat menjadi pemancar terang kasih Allah, dan menjadi agen perubahan bagi dunia ini. Setelah kita di- “sunat” sebagai bentuk penerimaan anugerah Allah, maka kita juga bertanggung jawab dan siap memiliki semangat “masal” atau relasional di dalam kehidupan yang penuh dengan tidak kepastian ini bukan lari dari masalah atau sibuk menyelamatkan diri sendiri. Sehingga pertanyaan reflektif bagi kita dalam tahun baru ini adalah: “sudah “sunatan” “masal” kah kita ?”

No comments:

Post a Comment