GKI Harapan Jaya

Friday, February 26, 2010

“SEYA SEYO SIBYE!”: IMAN TRINITATIS (PERICHORETIC COMMUNION) MERUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH


Tepat minggu ini kita akan mulai memasuki rentetan minggu-minggu Pra-Paskah untuk kemudian dilanjutkan dengan perayaan Juma’at Agung dan Paskah dengan menggumuli tema: “KASIH KRISTUS MERUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH.” Tema yang diusung ini berangkat dari sebuah kerinduan terjadinya pemulihan relasi antarsesama dalam kehidupan setiap umat manusia, karena (sadar atau tidak sadar) manusia seringkali membangun tembok-tembok yang menghalangi terciptanya sebuah relasi yang ideal; baik itu relasi dengan diri sendiri, dengan Tuhan dan dengan sesama (untuk lebih jelas kita dapat membaca selengkapnya di bagian Kata Pengantar buku liturgi Klasis Bandung).
GKI Cianjur khususnya panitia Paskah akan mengejawantahkan tema besar ini dalam berbagai macam kegiatan Paskah, baik umum ataupun lewat badan pelayanan. Tentu renungan ini bukan ingin membahas dengan detil setiap rincian kegiatan di jemaat kita, namun ingin sedikit melakukan elaborasi teologis berkenaan benda-benda dekoratif yang akan bermunculan disekitar ibadah dan kegiatan Paskah. Tujuannya sudah tentu agar kita semua sebagai warga jemaat dapat paham betul: “apa sih tujuan dan makna dekorasi masa Paskah tahun ini?!” Jadi, berbagai dekorasi dan tetek bengek-nya (yang mungkin kita lihat bagus atau juga biasa saja) tidak sekadar sebagai parade keindahan, sempalan dari inti masa Paskah, atau penyedap tambahan ala masako, ajinomoto, dkknya agar kelihatan kalau GKI Cianjur tuh juga heboh dalam memasuki masa Paskah, tetapi sebetulnya memilki makna teologis yang mendalam berkenan dengan pesan Paskah dan tema yang kita gumuli.
Di halaman muka buku liturgi Klasis disebutkan tembok-tembok pemisah (8 sifat) yang kerap kali muncul sebagai penghalang dalam relasi manusia dengan diri sendiri, Tuhan dan sesama. Delapan sifat atau karakter itu adalah: kemunafikan, peninggian diri, prasangka negatif, kesombongan, ketidak-sabaran, egoisme, keraguan, egosentrisme, dan men-tuan-kan diri. Dalam dekorasi Paskah tahun ini di jemaat kita, ada sesuatu yang menarik yang muncul yakni corak-corak batik dari berbagai daerah yang mengelilingi salib. Apa maknanya ya, kombinasi batik ini dengan pesan dan tema Paskah tahun ini? Sekali lagi ini bukanlah sekadar pemanis!
Ada delapan buah batik dari berbagai daerah yang saling berhubungan, saling berdekatan, dan saling menempel satu sama lain di kitaran salib. Boleh dikatakan ini merupakan representasi dari delapan tembok pemisah yang sebelumnya telah disebutkan di atas. Dengan demikian, makna dekorasi ini sebetulnya tidaklah jauh berbeda atau boleh dikatakan sama dengan tema Paskah: “KASIH KRISTUS MERRUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH” tetapi lebih dibahasakan secara simbolik dengan gaya artistik dengan tujuan untuk meruntuhkan spirit kompartementalisasi (semangat pengkotak-kotakan dan bentuk pengelompokan yang kompetitif).
Seya seyo..sibye... adalah sebuah tarian dan nyanyian ungkapan situasi kebersamaan antara sesama suku di Papua yang saling menghormati (Maaf…ini tidak lebih dari sekadar contoh bukan untuk menunjukkan sentimen chauvinisme atau malah menjadi terjebak ke dalam kompartementalisasi. Sekali lagi…ini contoh lho!) Diversitas adalah warna khas Papua yang dimanifestasikan dalam bentuk suku dan bahasa. Setidaknya ada 400 lebih bahasa suku di Papua yang beranekaragam, tetapi dengan semangat persatuan dan “sentimen tanah ke-Papua-an”, keanekaragaman itu dapat diminimalisir dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini jugalah yang semestinya kita terapkan sebagai spirit dan gaya hidup di jemaat kita, sehingga kita dapat merefleksikan pesan Paskah dan tema-nya secara nyata dalam kehidupan iman yang holistik. Dengan memilki semangat persatuan dalam satu tubuh Kristus, kita diingatkan untuk tidak malah mencerai-beraikan tubuh-Nya, menyalibkan-Nya untuk kedua kali, dengan sibuk mengelompokan diri dan saling menjatuhkan dalam kehidupan berjemaat!!!
Oleh karena itu, permenungan ini ingin mengajak kita merefleksikan kesatuan kita (sebagai jemaat) dalam Tubuh Kristus dengan tolak reflesi teologis kepada iman Trinitatis –dalam hal ini konsep perichoretic communion-. “Perichoretic communion” artinya ketiga pribadi ilahi yang membentuk persekutuan dalam hubungan timbal balik dan kebersamaan. Dengan konsep Trinitas berarti, Allah tidak bersifat “satu arah.” Allah merupakan suatu persekutuan kasih. Di dalam Allah Trinitas tidak ada tiga kenyataan terpisah, berdasarkan eksistensialnya, yang kemudian menjalin hubungan. Kesatuan Allah merupakan kesatuan tiga pribadi yang saling memberikan kehidupan ilahi dan dalam saling memberi tersebut mereka tetap berbeda tetapi satu sepenuhnya (una substantia, tres personae).
Konsep iman Trinitatis menyatakan manusia adalah gambar Allah Tritunggal. Artinya, hidup manusia berada dalam ruang ketritunggalan. Dengan demikian, eksistensi manusia sendiri berkembang dan menjadi dinamis, tidak dalam ruang kaku dan statis. Oleh sebab itu, sebagai gambar Allah, manusia “dipanggil keluar” oleh Allah. Dalam bahasa latin istilah “dipanggil keluar” adalah pro-vocare, yang dapat diterjemahkan sebagai tantangan atau gugahan. Dari perspektif teologi itu, manusia juga menerima tantangan atau gugahan dari Allah.
Pemanggilan Allah tampak dalam sejarah manusia dengan Allah seperti yang tertuang di dalam teks Kitab Suci. Dalam perjalanan sejarah itu, Allah berulang kali memprovokasi, menantang, dan menggugah manusia, sehingga identitasnya tampak bagi dirinya dan orang lain. Upaya provokasi yang dilakukan Allah terhadap manusia tidak melulu dengan cara yang sama. Ia menampilkannya dalam bentuk kekuatan dan kelemahan, dalam hukuman dan anugerah. Melalui provokasi yang majemuk ini Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang majemuk pula.
Konsep iman Trinitatis melahirkan relasi horisontal dan vertikal dalam hidup manusia. Sebagaimana yang disebutkan di atas, Allah adalah persekutuan kasih dengan ruang kasih di dalamnya, berarti kepada manusia diberikan ruangan hidup yang serupa. Allah merupakan relasi dalam diri-Nya, karena itu manusia yang diciptakan dalam relasi dengan Allah juga diciptakan dalam relasi dengan orang lain (dimensi horisontal). Manusia selaku “makhluk teologis” merupakan “makhluk sosial” juga.
Manusia tidak diciptakan hanya supaya berbakti kepada Tuhan saja, tetapi ia juga terlibat dengan orang lain. Sebagai makhluk, manusia juga berada dalam dimensi horisontal. Dimensi horisontal itu bukan dimensi yang “non-teologis,” karena dimensi tersebut juga mencerminkan ketritunggalan Allah. Oleh karena itu, manusia perlu melihat sekekelilingnya, masuk dalam pergulatan relasional dengan mengkontekstualisasikan dirinya, mengadakan relasi secara terus-menerus dengan Allah dan sesama manusia.
Dari penjelasan di atas jelaslah, dengan bertolak dari konsep iman Trinitatis, bahwa relasi dengan sesama manusia merupakan “panggilan” bagi manusia. Sesama yang dimaksud di sini bukanlah subjek yang berada di luar, melainkan telah ada bersama-sama dengan kita. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang dipanggil untuk menanggapi kehadiran orang lain. Sehingga dapat disimpulkan, bertolak dari fondasi iman Kristen, intersubjektivitas adalah dimensi fundamental manusia dan inilah yang harus tercakup dalam corak teologi. Maka, gereja, secara umum dan jemaat GKI Cianjur, secara khusus, memiliki tantangan untuk mengaplikasikannya.
Sebab kalau kita belajar kepada Yesus Kristus, justru model dikotomi "miskin" ala kompartementalisasi itulah juga yang dilawannya. Terlepas dari problematika hermeneutis biblis, Yesus semasa hidupnya jelas-jelas melawan dan mendobrak kotak-kotak sosial-budaya di masyarakat Yahudi yang terdiri dari status sosial atau status keagamaan. Bagi Yesus, semua manusia adalah imago Dei artinya serupa dan segambar dengan Allah. Manusia sama kedudukannya di hadapan Allah. Demikian pula diantara sesama manusia. Sungguh arogan dan melangkahi Allah, jika manusia membedakan sesamanya lewat sikap pengelompokan masal dan saling menjatuhkan.
Hal ini pula yang dikatakan Paulus kepada jemaat di Galatia untuk senantiasa memiliki persatuan sebagai tubuh Kristus dengan tidak membeda-bedakan. Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu adalah satu di dalam Kristus!
Seya seyo sibye…Hai kita sekalian!!...Janganlah ada lagi pembedaan antara sesama anggota tubuh Kristus. Jangan membuat Yesus menangis dan merintih untuk kedua kalinya karena kita salibkan dengan arogansi kemanusiaan kita yang lebih merepresentasikan dunia.

No comments:

Post a Comment