GKI Harapan Jaya

Wednesday, June 23, 2010

TEOLOGI RELASIONAL: SEBUAH PENGEMBARAAN PEMBERITAAN INJIL BERBASIS SOSIAL

Tantangan bagi teologi gereja dalam menjalankan misi kemanusiaan adalah bagaimana menampilkan sebuah teologi yang relevan di tengah-tengah pergumulan dunia saat ini, yakni pluralitas agama dan problematika dehumanisasi. Tidak dapat dihindari seringkali gereja terlalu bangga dan berpuas diri dengan karya sosial kemanusiaannya dengan pola yang masih terasa eksklusif. Kiprah misiologis yang selama ini ada cenderung dimaksudkan untuk “menjaring jiwa” dan “menobatkan” agama lain. Namun, hal itu tentu berbenturan dengan konteks pluralitas agama, sehingga perlu disusun kembali sebuah paradigma misi yang baru dengan basis antropologi teologis. Dengan adanya paradigma baru, maka akan terkuak cakrawala kita, bahwa masalah yang kita hadapi ketika menjalankan misi kemanusiaan dalam konteks pluralitas agama adalah bagaimana agar ajaran-ajaran inti kekristenan, sebagai yang partikular, dapat benar-benar difungsikan untuk menjawab tantangan kehidupan sehari-hari yang nyata.
Belajar dari cara hidup Kristus, upaya antropologi teologis (baca: antropologi Kristen) untuk merumuskan “jati diri” manusia tidak boleh dilakukan secara terisolir, bukan hanya sebuah pemahaman atas dirinya sendiri, tetapi harus dilakukan dalam dialog dengan lingkungan masyarakat (Teologi Relasional). Dalam komunikasi yang terbuka dan saling memberi respek kepada integritas seluruh umat manusia, akan lebih terjamin upaya membangun sebuah masyarakat yang memiliki basis perdamaian bagi seluruh umat manusia. Karena tuntutan Kristus adalah panggilan/undangan kepada manusia untuk mengalami kasih Allah untuk terwujudnya tanda Kerajaan Allah: keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.
A.A Yewangoe dalam buku Theologia Crusis di Asia mengatakan “tantangan bagi gereja dan teologi Kristen dalam konteks Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya pada saat ini, dicirikan oleh problematika dehumanisasi yang mencolok dan pluralitas sosio-kultural (agama dan budaya).” Dengan demikian, dalam konteks itulah gereja di Indonesia mesti menjalankan “panggilannya.” Namun, -seperti yang kita gumuli- pertanyaan yang muncul adalah model teologi apakah yang dapat dipergunakan dalam menjalankan misi kemanusiaan di Indonesia? Mempertahankan iman Kristen (pendekatan Partikularisme) atau lebih melihat kepada konteks dan menemukan dasar bersama (pendekatan Universalisme)?
Tulisan ini –dengan basis Teologi Relasional- ingin mengajak kita untuk mendamaikan kedua pendekatan: pendekatan Universalitas dan pendekatan Partikularitas, dengan “jalan ketiga”, yang menghasilkan Teologi Relasional. Sebuah bangunan teologi dialektis dalam menjalankan misi kemanusiaan. Paradigma teologis semacam ini akan menghindari sebuah teologi (baca:gereja) yang eksklusif dan tidak memiliki dimensi universal, namun juga menghindari sebuah teologi pluralisme radikal yang dapat membuat kita tidak memiliki fondasi dalam berteologi dan terjerumus dalam sikap relativis.
Gereja misioner adalah gereja yang setia terlibat menjalankan misi Allah di tengah-tengah Dunia, sehingga pendekatan teologi yang diperlukan adalah “teologi yang berdimensi kemasyarakatan.” Istilah yang dipakai dalam tulisan atas teologi yang berdimensi kemasyarakatan tersebut adalah Teologi Relasional. Melalui Teologi Relasional gereja semakin hidup tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mewujudkan Kerajaan Allah, menyalurkan kasih Kristus untuk sesama manusia dan dunia. Dengan demikian, dalam menjalankan misi kemanusiaan, gereja perlu mengalirkan kasih Kristus, karena kasih Kristus tidak boleh tidak mengalir kepada sesama, kasih Kristus tidak boleh tertahan dalam diri kita dan dalam diri gereja.
Bertolak dari Teologi Relasional, maka dalam menjalankan misi kemanusiaan gereja mesti memiliki fondasi misi kemanusiaan dari partikularitas iman Kristen yang diterapkan secara universal bagi seluruh umat manusia. Gereja tetap membangun pergaulan yang akrab dengan Allah dengan juga memiliki sikap membangun pergaulan dengan sesama untuk mewujudkannyatakan pelayanan cinta kasih. Gereja juga menumbuhkan kepekaan terhadap persoalan yang ada di tengah masyarakat Indonesia saat ini dengan semangat keterbukaan dan solider terhadap penderitaan sesama dan menyatakan kesaksian serta pelayanan kepada dunia.
Hal itu berarti gereja harus bersikap “mendahulukan orang miskin” (preferential option for the poor). Pengertian kemiskinan di sini tidak dapat disempitkan dalam perspektif ekonomi semata, namun secara holistik berarti dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik materil maupun spiritual. Leonardo Boff yang berteologi dari penderitaan masyarakat di kawasan-kawasan Amerika Tengah dan Utara (Amerika Latin) mengatakan bahwa gereja dalam peran aktifnya harus menjadi agen perubahan dengan senantiasa bersama-sama orang miskin. Boff menekankan gereja perlu sungguh-sungguh menghayati hidup senasib sepenanggungan terhadap sesama manusia dengan terus menerus mengadakan perenungan-perenungan atas iman Kristen.
Sikap gereja dalam misi kemanusiaan dapat digambarkan dari dua sisi pokok. Yang pertama adalah dari hubungannya dengan Allah yang menampakkan kuasa dan belas kasih-Nya yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus (dimensi teologis). Yang kedua, dari hubungannya dengan penderitaan manusia (dimensi antropologis). Sebagai contoh, jika GKI telah memiliki TIM GKI, bukan berarti ia menjadi contoh yang sempurna bagi gereja-gereja lain di Indonesia, melainkan kita memandangnya sebagai salah satu model misi kemanusiaan gereja di Indonesia. Oleh karena demikian, gereja-gereja di Indonesia, GKI dan Tim GKI harus terus membenahi diri dan tidak puas hati.
Melalui Teologi Relasional, gereja di Indonesia akan memiliki keterlibatan sosial dengan menegaskan kembali kepedulian terhadap penderitaan sesama manusia dan menjadikannya dimensi dalam seluruh hidup dan pelayanan gereja. Gereja harus “berani” menjalankan “panggilannya,” menjadi agen perubahan dalam struktur sosial. Tidak saja dalam bentuk karitatif, tetapi berkembang pada bentuk pelayanan sosial yang transformatif. Iman mempunyai dimensi keterlibatan bersama untuk kesejahteraan hidup bersama, untuk melawan dehumanisasi dalam bentuk apa pun. Maka dapat disimpulkan, sebuah paradigma misi kemanusiaan inklusif fungsional dengan basis Teologi Relasional akan memikirkan secara serius makna pluralitas agama dan sekaligus memikirkan misi bersama agama untuk menjadikan kehidupan ini lebih manusiawi. Artinya, paradigma baru yang kiga gumuli serta diusulkan dalam tulisan ini justru ingin mengembalikan kita (gereja dan teologi gereja) dalam realitas sosial kita dengan refleksi secara mendalam pada iman Kristen, ketika melakukan pemberitaan injil Yesus Kristus di tengah-tengah dunia.

No comments:

Post a Comment