GKI Harapan Jaya

Wednesday, June 23, 2010

“MEMBERI SUPAYA MENDAPAT LEBIH BANYAK LAGI ATAU MEMBERI KARENA SUDAH DIBERI?” Lukas 21:1-4

Judul yang tampil dalam bentuk pertanyaan di atas menunjuk kepada praktik persembahan di dalam gereja yang dengan demikian sebetulnya mengajak kita –sebagai jemaat- untuk memaknai praktik tersebut secara mendalam. Jika saat ini kita masih berpemahaman, ”memberi persembahan supaya mendapat lagi yang lebih banyak”, maka ini berbanding terbalik dengan Teologi Persembahan yang memberi penekanan, ”memberi persembahan karena sudah diberi terlebih dahulu”. Basis ini menjadi asumsi dalam keseluruhan konsep persembahan, membuat bagaimana seharusnya kita memaknai persembahan. Dalam Kolom Bina minggu ini, kita akan merenungkan berdasarkan Lukas 21:1-4, apakah ciri khas persembahan sejati.
Pertama, persembahan sejati itu memberi tanpa alasan. Ada empat “kekeliruan tindakan” terkait dengan persembahan dan eksesnya. Pertama, banyak orang Kristen memakai kemiskinan sebagai alasan untuk tidak memberi persembahan. Kedua, ada orang miskin yang parahnya, sudah tidak memberi persembahan, masih minta sumbangan dari gereja. Ketiga, ada orang Kristen yang diberi banyak berkat (kaya) tetapi tidak mau memberi persembahan. Paling parah, keempat, orang kaya yang sudah tidak memberi persembahan masih memanipulasi gereja bagi keuntungan sendiri. Inilah keempat “kekeliruan tindakan” persembahan.
Bertolak belakang dengan ini, “si janda miskin” yang tidak disebut namanya ini, malah memberi persembahan tanpa alasan. Sudah janda, miskin lagi. Tapi masih saja memberi persembahan, bahkan persembahan yang amat besar, lebih besar dari orang-orang kaya. Si janda ini memberi persembahan ”dua peser”. ”Peser” dalam bahasa Yunani adalah ”lepton”, mata uang terkecil di antara orang Yahudi. Orang Romawi tidak mengenal dan memakai ”lepton” karena mata uang terkecil mereka adalah ”quadran” (LAI menggunakan istilah ”duit”). Satu ”quadran” sama dengan dua ”lepton”. Berapakah besarnya 1 lepton atau peser jika dikurs ke dalam Rupiah? Berdasarkan Matius 20, upah kerja satu hari adalah 1 dinar. 1 dinar sama dengan 128 lepton. Jika diasumsikan upah kerja satu hari Rp. 30.000,- maka 1 lepton sama dengan Rp. 30.000 bagi 128 yang berarti sama dengan Rp. 234,- Dibulatkan, 1 Lepton / Peser = Rp. 250,-. Berarti, si janda miskin memberi persembahan 2 Lepton, sama dengan Rp. 500,- Dengan tidak memberi persembahan saja si janda miskin sudah susah hidupnya. Ini malah memberi persembahan dan Lukas mengatakan bahwa itu adalah seluruh yang ada padanya.
Kedua, persembahan sejati bermotivasi tulus. Lukas sengaja menempatkan cerita persembahan janda miskin ini di antara cerita tentang ahli Taurat dan orang-orang di Bait Allah. Bagi ahli-ahli Taurat dalam perikop sebelumnya, mereka memanfaatkan agama bagi kemuliaan diri. LAI menggunakan istilah ”suka” tiga kali padahal dalam bahasa Yunani hanya menggunakan istilah ”philo” (cinta) satu kali. Tetapi penggunaan ini bisa dinalar karena membuktikan betapa cintanya ahli Taurat akan kemuliaan diri.
Dalam perikop sebelumnya, dikatakan ahli Taurat suka duduk di ”tempat terdepan” dalam ibadah dan ”tempat terhormat” dalam perjamuan. Kedua istilah ini menggunakan istilah Yunani yang akarnya sama dengan ”protokol”. Istilah protokol dipakai untuk menggambarkan seorang perjabat haruslah mendapatkan layanan terdahulu dan terbaik. Yang dimaksud dengan ”tempat terhormat” dalam perjamuan adalah tempat yang paling dekat dengan pintu di mana pelayan masuk dan melayaninya terlebih dahulu.
Sedangkan dalam perikop sesudah cerita tentang persembahan janda miskin ini, Lukas mencatat tentang orang-orang di Bait Allah yang mengagumi bangunan dan batu yang indah. Orang-orang ini, diduga oleh para penafsir sebagai ornag-orang Lewi / imam-imam yang melayani di Bait Allah. Mereka berstatus sebagai ”hamba Tuhan” tetapi hatinya ”hamba uang”. Memanfaatkan agama bagi kenikmatan dan kepuasan diri.
Kontras ini tajam. Agama bisa dipakai untuk kemuliaan dan kekayaan diri. Tetapi dalam tangan si janda miskin ini, agama dipakai untuk mempertontonkan pengorbanan diri. Cinta kepada manusia dan cinta kepada Allah dipraktekkan dalam agama, dan bukan cinta kepada diri. Motivasinya si janda miskin, hati yang tulus untuk Tuhan bukan untuk diri.
Ketiga, seiring dengan poin ini, kita melihat bahwa konsep persembahan sangat bergantung kepada konsep kita terhadap uang. Dengan kata lain, persembahan adalah ekspresi sikap orang Kristen terhadap uang. Tuhan Yesus mengatakan, ”di mana hartamu berada, di situ hatimu”. Artinya, di sini, konsep kepemilikan. Jikalau harta kita adalah uang, maka kita akan memakai Tuhan bagi uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan, maka kita akan memakai uang bagi Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit memberi persembahan. Orang yang mencintai Tuhan, mudah memberi persembahan. Si janda miskin ini mencintai Tuhan dan bukan mencintai uang sehingga ia memberi seluruh nafkah yang ada padanya.
Keempat, persembahan sejati itu janji iman. Sebelum memberi persembahan saja, si janda miskin sudah harus beriman untuk kebutuhan hidupnya. Mana ada orang yang dapat hidup dengan 1/128 upah harian. Sedangkan saat ini, dengan 1/3 upah harian, Rp. 9 ribu saja sudah dianggap orang dibawah garis kemiskinan. Berarti, setelah memberi persembahan itu, ia harus beriman kepada Tuhan. Sering kali, kekurangan bukan berarti alasan kita tidak memberi persembahan. Kita belajar beriman dengan memberi persembahan. Mungkin kurang tetapi kita harus memberi persembahan. Hidup kita, diserahkan ke dalam tangan Tuhan.
Kelima, persembahan sejati bukan diukur dari jumlahnya tetapi presentasinya dibandingkan dengan penghasilan. Itu sebabnya, dengan poin ini barulah kita mengerti, mengapa Tuhan Yesus mengatakan persembahan janda miskin lebih besar dari persembahan semua orang kaya, yang dalam catatan Lukas, memberi dalam jumlah besar. Jelas, jika membandingkan nominal, logika cara apapun akan mengakui bahwa persembahan Rp. 1 juta lebih besar dari Rp. 100.000. tetapi jika orang yang memberi persembahan satu juta tetapi penghasilannya 1 miliar berarti Cuma 0,1%. Sedangkan ornag yang memberi persembahan Rp. 100 ribu dari penghasilannya Rp. 300 ribu maka presentasi persembahannya adalah 33%. Berarti persembahan 100 ribu lebih besar 330 kali lipat di bandingkan yang persembahan satu juta. Di mata manusia, persembahan satu juta lebih besar 10 kali lipat dari seratus ribu tetapi dimata Tuhan, yang 100 ribu lebih besar 330 kali lipat dari yang satu juta.
Keenam, persembahan sejati bukan saja diukur dari persembahan memberinya tetapi persembahan sisanya. Tidak berarti kita harus memberi persembahan seratus persen karena hal itu tidak realistis. Tetapi, yang dimaksudkan adalah dengan memberi persembahan, kita jangan sombong seolah-olah persembahan kita besar. Kita tahu bahwa kita memberi terlalu sedikit. Pada waktu si janda miskin memberi, ia memberi seluruh nafkahnya, yakni seluruh yang ada padanya kepada Tuhan.
Ia memberi persembahan bukan supaya mendapat lebih banyak lagi, melainkan memberi persembahan karena mengucap syukur karena telah diberi anugerah oleh Tuhan. Sudahkah atau maukah kita sebagai jemaat berlaku demikian? Kembali diajak belajar kepada “si janda miskin?

No comments:

Post a Comment