GKI Harapan Jaya

Wednesday, June 23, 2010

Not Without My Neighbour: Issues in Interfaith Relations (Wesley Ariarajah)

Pendahuluan: Ariarajah dalam Dialog
Wesley Ariarajah merupakan teolog dari Sri Lanka, sehiingga dalam melakukan analisis seputar dialog antar-agama, ia banyak berangkat dari pendekatan dan konteksnya sebagai seorang Sri Lanka. Sebagai seorang yang berkecimpung dalam Dewan Gereja Dunia (DGD), maka Ariarajah juga banyak berpartisipasi seputar dialog antar-agama di lingkungan DGD. Oleh karena itu penting untuk mengetahui lima fase dialog yang disebutkannya sebeleum melangkah pada isu-isu dalam relasi antar iman.
Lima fase, lapisan, atau dimensi itu adalah: Fase pertama lebih banyak berbicara tentang konsep dialog itu sendiri. Karena hal ini menyangkut masalah hakikat hubungan dengan sesama yang beragama lain, maka terjadi perdebatan panjang tentang apa itu dialog dan bukan dialog. Perdebatan itu memunculkan beberapa pertanyaan tentang iman kita sendiri beserta formulasinya. Apa arti “misi” dalam hubungan yang baru ini?, sehingga dalam fase kedua ini kita diajak meninjau kembali iman kita sendiri untuk mencari dasar-dasar hubungan baru itu sekaligus menegaskan kembali iman kita.
Fase ketiga adalah hubungan-hubungan institusi yang baru. DGD melalui program dialognya mencoba memungkinkan pertemuan baru dengan dunia Yahudi, Islam, Budha, dan berbagai mitra dalam agama lainnya, untuk kebebasan agama dan partisipasi aktif dalam berbagai peristiwa antar-agama internasional. Selain itu, hal ini juga merupakan usaha untuk mempromosikan dialog di tingkat lokal. Namun untuk melakukan promosi pada aras lokal, ada beberapa masalah pastoral yang perlu diperhatikan. “Apakah dibenarkan melaksanakan kebaktian antar-iman? Bagaimana caranya?” “bagaimana cara menangani pernikahan lintas agama? Apakah ini berarti kesempatan untuk berdialog seumur hidup?” dan masih banyak lainnya. Masalah-masalah ini memang sulit, namun relevan, langsung dan memerlukan perhatian, inilah fase keempat usaha berdialog. Fase terakhir adalah apa yang disebut “masa depan agama dan agama-agama dalam globalisasi”. Apa dampak dari meningkatnya “budaya” sekuler, teknologi, dan global terhadap agama dan kehidupan beragama?
Berangkat dari penjabaran kelima fase tersebut, maka di dalam paper ini akan dijelaskankan dua isu pertama yang disebutkan oleh Ariarajah dalam buku Not Without My Neighbour, yakni Dialog dan Konflik serta Dialog dan Spiritualitas.

Dialog dan Konflik: Adakah Batas-batas dalam Dialog
Ada tiga peristiwa konflik yang diangkat oleh Ariarajah dalam menggambarkan kebutuhan dialog antar-agama. Pertama di Srilanka, ketika masa kolonial banyak penduduk India yang beragama Hindu dan Islam dibawa ke pulau Fiji, dimana penduduk aslinya beragama Kristen, untuk bekerja di perkebunan tebu. Lama kemudian penduduk India menjadi hampir setengah penduduk kepulauan Fiji yang hanya sebagai pemilik tanah. Penduduk India itu semakin berkembang dan menjadi kelompok yang berpengaruh di berbagai bidang, sehingga memicu ketegangan antar etnis dan konflik. Pihak Kristen yang “mayoritas” mencoba melakukan konspirasi dengan mengganggu ketenteraman hidup umat beragama, menghalangi pembangunan rumah ibadah lain, atau menolak pengajaran agama lain di sekolah, atau membantu dan mendorong dibuatnya hukum yang mendiskriminasi agama “minoritas”.
Kedua di Nigeria, konflik yang terjadi menjadi sangat parah ketika pemerintah kolonial membentuk negara Nigeria dan mempersatukan wilayah Utara yang 90% penduduknya Islam yang hidup di bawah hukum syariat dengan wilayah Selatan yang 80% penduduknya Kristen. Yang menyedihkan adalah Nigeria seperti dua negara yang dinikahkan bukan hanya di luar kemauan mereka, melainkan juga untuk hubungan yang menguntungkan bagi kolonial, yang tidak berguna bagi keduanya. Hal ini bukan untuk memberikan catatan buruk penjajah, namun latar belakang sejarah penting untuk memahami setiap situasi khusus.
Ketiga mengenai Yerusalem, kota ini memiliki arti religius penting bagi umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Untuk itu DGD mencoba mempertemukan dan memberikan kesempatan bagi umat ketiga agama tersebut untuk saling mendengarkan tentang “pentingnya Yerusalem secara spiritual” bagi masing-masing tradisi agama. Pertemuan itu dilaksanakan dengan kerjasama antara Dewan Dialog Antar-agama Kepausan, Komisi Takhta Suci untuk Hubungan-hubungan Agama degan Yahudi, dan Federasi Gereja Lutheran se-Dunia. Hasilnya adalah pernyataan bersama yang setiap perwakilan menyatakan pandangannya dengan memakai pronominal “kami”, sehingga keberadaan setiap utusan dapat menyatakan pendapatnya tanpa mendiskreditkan pihak yang lain.
Dari ketiga peristiwa di atas –dan berbagai peristiwa di tempat lain- memang dibutuhkan sebuah dialog sebagai sarana untuk mencari titik temu, namun bukan berarti melalui dialog masalah sudah pasti dapat terselesaikan. Ariarajah mengatakan, “Dialog bukan layanan ambulans, tetapi suatu suatu program kesehatan masyarakat”. Selain itu usaha melakukan dialog atau hubungan antar-agama, seharusnya sudah dilakukan ketika daerah yang berkonflik belum mengalami konflik. Karena dialog yang dilakukan sesudah konflik, walaupun ada nilainya merupakan suatu usaha yang penuh frustrasi, karena masyarakat sudah terkotak-kotak dan tidak yakin siapa yang bisa dipercaya, sehingga solidaritas lintas umat disalahartikan sebagai penghianatan.
Setiap agama selain memberikan landasan spiritual terhadap kehidupan, juga merupakan realitas sosiologis yang telah digunakan dan diperlakukan secara kejam oleh para penguasa, seperti ketika masa kolonialisme. Untuk itu dibutuhkan analisis yang teliti dan sikap yang arif dalam melakukan dialog dalam konflik, karena konflik disebabkan pertautan antara faktor-faktor historis, etnis, suku, ras, ekonomi, dan politik
Dialog bukan sekadar usaha untuk menyelesaikan konflik yang ada, melainkan usaha untuk membangun suatu “masyarakat yang bergaul penuh kasih dan bernalar” melintasi berbagai halangan ras, etnis dan agama, umat belajar memahami perbedaan-perbedaan yang ada bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesuatu yang “wajar” dan “normal”. Dengan demikian, dialog adalah suatu usaha membantu umat untuk memahami dan menerima yang lain dalam “keberlainan” mereka. Dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada “di rumah” dengan kemajemukan, membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman dan mengusahakan agar hubungan itu dapat mempersatukan mereka saat seluruh umat terancam oleh kekuatan-kekuatan yang memisahkan dan anarkis.
Apa yang penting saat ini adalah mengetahui, mengakui dan menerima bahwa ada perbedaan dasar di mana masyarakat dibangun dan tidak ada satu pun yang telah sanggup menghasilkan masyarakat ideal. Untuk itu dibutuhkan sebuah dialog yang mencoba menciptakan suasana saling percaya, kesediaan untuk terbuka, mempertimbangkan kedudukan pihak lain, melakukan kritik terhadap diri sendiri dan kritik membangun terhadap pihak lain, mencari jalan untuk saling belajar dari yang lain dan mengakui pentingnya hidup kreatif di dalam perbedaan.
Kemudian, apakah ada batas-batas dalam dialog? Kapan dialog harus diakhiri dan langsung berhadapan muka? Dialog bukan berarti bahwa umat atau individu menghentikan usaha hukumnya untuk mencari keadilan saat hak mereka dilanggar pihak lain atau tidak boleh melakukan protes terhadap pihak yang melakukan kekerasan. Dialog juga bukan imbauan untuk menderita demi perdamaian dan kerukunan.
Dengan kata lain, jika kita benar-benar menghendaki keadilian dan perdamaian, serta yakin akan perlunya berjuang demi rekonsiliasi umat manusia, tidak ada jalan lain kecuali dialog. Akan tetapi dialog juga menghadapi tantangan. Kebanyakan kritik terhadap dialog adalah “romantisisme dialog” ketika semua hal akan terselesaikan seandainya semua pihak yang berkepentingan duduk bersama dan berdialog”.



Dialog dan Spiritualitas: Dapatkah Kita Berdoa Bersama?
Isu kedua yang diangakat oleh Ariarajah adalah mengenai doa dan spiritualitas. Sebelumnya Ariarajah berangkat dari pengalamannya di Sri Lanka mengenai hubungan antara Hindu dan Kristen. Pertanyaan yang mendasar bagi Ariarajah mengenai isu ini adalah: “Dapatkah orang Kristen berbakti dan berdoa bersama dengan tradisi iman lain?” Ada lima hal yang dapat dijadikan alasan mengenai keraguan tersebut, yakni: teologis; alkitabiah; liturgis; kultural; dan psikologis.
Alasan teologis mengenai pertanyaan mengapa seorang Kristen segan berbakti bersama seorang dari agama lain adalah karena adanya penilaian negatif terhadap berbagai tradisi agama lain sebagai usaha manusia menemukan Allah. Juga munculnya anggapan bahwa, tradisi-tradisi lain di luar kristiani tidak didasarkan atas penyataan Allah, tidak tertuju pada Allah yang sejati. Akibat dari penilaian negatif tersebut adalah banyak masalah dalam pemahaman kita tentang Allah, hakikat dan anugerah Allah. Penilaian terhadap iman semacam itu langsung meruapakan keraguan terhadap berbagai pendapat di Alkitab yang mengungkapkan tentang persekutuan universal antara Allah dan ciptaan-Nya. Berdoa bersama yang lain dianggap merupakan sebuah wujud kompromi teologis yang merusak seluruh rasional iman Kristen, pemberitaannya, dan misinya.
Alasan kedua, sebagai keberatan yang berikut adalah keberatan alkitabiah, yang paling sering diargumenkan adalah teks Kel 20:4 yang menyebutkan pelarangan kepada umat Allah untuk menyembah allah lain. Hal ini mencakup berapa konsep yang lebih mendalam seperti “perjanjian”, “pemilihan”, “umat Allah”, “penyataan”, “mediator tunggal”, “tidak ada nama lain”, dan seterusnya. Untuk memperkuatnya dipakai pula pandangan Paulus (bdk. 2 Kor 6:14-15) mengenai orang-orang percaya (Kristus) dan orang-orang tak percaya (Belial).
Alasan liturgis merupakan sebuah alasan yang paling langsung dialami ketika akan dilaksanakan peribadahan lintas agama. Bentuk ibadah dalam berbagai agama memang sangat berbeda dan tidak mudah dipahami atau diikuti oleh orang luar.
Alasan kultural mirip dengan alasan liturgis. Persoalan mendasarnya adalah dalam aspek kultural ini adalah: ada semacam sikap berdoa yang “unik” dalam setiap komunitas agama, dan itu tidaklah dapat ditiru atau pun dibagi dengan mereka yang dari luar lingkungan tersebut.
Alasan berikutnya adalah halangan psikologis ketika ingin melakukan ibadah lintas agama. Pertama, bahwa tradisi agama yang dimiliki ini sudah “ditinggalkan” (diwariskan secara turun temurun sebagai “iman yang benar”) oleh nenek moyang hasil dari pemberitaan para misionaris Kristen. Kedua, munculnya berbagai ketakutan dan kekuatiran akan berkompromi, sinkretisme dan penipisan iman Kristen. Dan ketiga adalah masalah identitas, hal yang ingin dijelaskan disini adalah bahwa walaupun setiap agama –Ariarajah mengambil contoh agama Hindu, Islam dan Kristen- berpenampilan sama dan hidup dengan gaya yang sama dalam setiap hari dalam masyarakat, namun tempat-tempat ibadah dan kehidupan ibadah mereka memberikan mereka identitas khusus sebagai individu dan komunitas.
Akan tetapi, kelima alasan yang telah disebutkan di atas mulai mengalami pergeseran seiring dengan meningkatnya hubungan antar-agama. Minat akan ini, khususnya dalam generasi Kristen muda, disebut sebagai “pencari kepuasan spiritual” (spiritual seekers) dengan melakukan berbagai ritus khas agama lain dalam rangka suplemen terhadap iman Kristen mereka. Dewan Gereja Dunia (DGD) mulai mengakomodir fenomena tersebut, salah satunya dalam sebuah pertemuan yang disponsori Kantor Hubungan Antar-agama DGD dan Dewan Dialog Antar-agama Vatikan, Thomas Thangaraj menjelaskan “lima skenario” yang terkandung dalam ungkapan “doa antar agama” yang dapat dipahami umat Kristen:
Pertama, kehadiran umat Kristen dalam ibadah agama lain sebagai satu ukuran partisipasi dalam doa antar-agama. Kehadiran dianggap sebagai sebuah keterlibatan. Kedua, pemakaian berbagai ritual, gerakan, bacaan, dan doa dari tradisi agama-agama lain. Ketiga, peran Kristen dalam sebuah kelompok multi-iman, dimana wakil Kristen mengambil waktu untuk berdoa dan diminta untuk berdoa dalam sebuah acara. Keempat, berdoa dengan memerhatikan isinya yang bersifat inklusif maupun sensitif bagi semua yang hadir. Kelima, dengan tidak menggunakan model suksesif, tetapi dengan lebih menggunakan model “doa bersama”. Usaha yang kelima ini sendiri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan memasukan berbagai unsur dari berbagai tradisi dan menyiapkan naskah atau teks yang berisi doa dan pujian yang dapat ‘diterima’ semua pihak yang ikut serta dalam ibadah itu.
Kesemua hal ini tidaklah lain berangkat dari kenyataan realitas relasi antar-agama dewasa ini. Saat berbagai umat hidup berdampaingan dan menghadapi masalah yang sama, berbagi visi yang sama tentang dunia yang adil dan damai, mereka juga harus menyatukan semua unsur spiritual mereka untuk menghadapi semuanya ini.
Namun penting untuk diketahui sebagai catatan, bahwa Ariarajah dalam mengupas isu mengenai dialog dan spiritual, menjelaskan pula akan istilah “doa” dan “ibadah”. Doa merupakan sebuah kegiatan universal yang dilakukan oleh selutuh manusia. Hal ini didorong oleh adanya misteri yang meliputi manusia akan adanya tansendensi diri. Dengan demikian, doa dalam konteks ini meruapakan sebuah kegiatan berkomunikasi dengan yang sakral, suci, Yang Lain, yang biasa disebut sebagai Allah. Oleh karena itu, jika rasa berdoa (sense of prayer) itu mati, maka manusia akan menjadi bengis dan mendatangkan kesengsaraan yang luar biasa bagi manusia lain. Hal inilah yang membedakan dengan ibadah. Ibadah lebih merupakan sebuah “ruang pribadi” dari satu agama yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Sehingga kita sebagai umat antar-agama dapat bertemu di dalam ranah “doa” bukan “ibadah”.
Dialog dalam menerapkan spiritual agama lain, kembali menjadi isu yang mencuat dalam DGD. Pada akhir tahun 1987 misalnya, dicatat beberapa alasan diterapkannya hal tersebut, diantaranya adalah: terdorong karena hidup berdampingan dengan umat beragama lain; terkesan dengan kehidupan spiritual yang begitu otentik dari umat beragama lain; tertarik karena budaya dan kedalaman praktik spiritual dari agama-agama lain. Akan hal ini DGD mengambil tiga sikap: (1) Dialog merupakan hal yang penting dalam usaha mengenal dan memahami umat agama lain. (2) Pentingnya memperdalam iman Kristen dalam perjalanan yang telah membawa ke dalam kehidupan spiritual dan ibadah dari iman agama-agama lain. (3) Karya Roh Kudus melibatkan Kristen dan umat beragama lain untuk bergumul dengan masalah-masalah dunia.
Menurut Ariarajah lebih lanjut mengenai dialog dan spritual adalah tinggal bagaimana kini kita, sebagai umat beragama menatapnya ke masa depan. Dialog seputar isu ini bagi Ariarajah –mengutip pertemuan di Kyoto- bukanlah sebuah sinkretisme (kekuatiran akan ini sempat muncul), justru sebaliknya dialog ini akan memampukan umat beragama memperdalam inti iman mereka, dan membantu mereka menemukan berbagai dimensi baru dan kehidupan spiritual.
Sehingga hal ini dapat direlevansikan dalam membicarakan tentang Injil dan kultur (kebudayaan). Bagaimanapun Injil adalah mengenai inkarnasi, maka Injil hanya dapat hidup dalam sebuah ungkapan kultur, dan pertemuan apa pun yang meruapakan tantangannya bisa terjadi hanya di dalam kultur. Dengan demikian, jika muncul sebuah pertanyaan, “Apakah kita ddapat berdoa bersama?”, maka kita dapat bergumul untuk mencari jawabannya. Ariarajah mengutip pertemuan di Bose yang membicarakan ibadah anatar agama bahwa: saat kita mempelajari bersama lebih mendalam lagi masalah doa antar-agama, kita akan mengalaminya sebagai sebuah perjalanan, menyadari bahwa doa itu sendiri terbuka tak terbatas, suatu tanda yang menunjukan kepada misteri Allah.

Catatan Kecil
Umat dari berbagai tradisi agama haruslah semakain sadar bahwa untuk memahami dan mengayati kehidupan iman mereka dalam dunia sekarang ni, mereka harus berdialog dengan para penganut agama lain maupun dengan mereka yang mengalami “penderitaan” di bumi ini. Karena seperti yang disebutkan oleh Knitter dalam bukunya yang berjudul One Earth Many Religions (NY, 1995, 20) dialog haruslah bertanggung jawab secara global dengan berangkat dari memerhatikan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan (eco-human well-being) bahwa semua pertemuan antar-agama tidak lengkap, bahkan cenderung berbahaya jika tidak memerhatikan masalah keprihatinan terhadapa penderitaan manusia dan lingkungan di seluruh bumi.
Dua isu yang dianggkat oleh Ariarajah di atas adalah berangkat dari pertanyaan bagaimana dialog yang otentik dapat terlaksana. Bertitik tolak dari teologi Kristen, maka dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita dan dunia ini. Dialog dalam isu konflik dan spiritualitas, merupakan sebuah fenomena dialog antar-agama yang bertanggung jawab secara global berangkat dari kebutuhan suatu pengalaman.

No comments:

Post a Comment