GKI Harapan Jaya

Wednesday, June 23, 2010

Shokie Choe: Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan

I. Sekilas Mengenai Shoki Choe
Dr. Shoki Choe adalah teolog Taiwan dan perintis pengembangan pendidikan teologi Protestan di Asia Timur. Berbagai refleksi tentang apa yang kini menjadi terkenal yaitu, “Rumusan Pernyataan tentang Kebijakan Pola Kerja” bagi implementasi Mandat Ketiga komisi Dana Pendidikan Teologi. Ialah yang berperan membantu menyusun rumusan itu pada tahun 1972. Ia menunjukkjan bagaimana tekanan bergeser dari “pempribumian” ke “kontekstualisasi”. Pempribumian cenderung berkiblat ke masa lampau, karena menitik beratkan soal hubungan Injil dengan budaya tradisional. Pada sisi lain kontekstualisasi berkiblat ke masa depan, karena memperhatikan hubungan Injil dengan perubahan sosial dan situasi historis. Choe mengetahui akan resiko pada upaya tersebut, baginya ‘Tidak ada teologi yang tanpa warna tertentu’.

II. Maksud dan Tujuan Pendidikan Teologi
Pendidikan teologi menurut Choe, selalu terjadi sebagai interaksi antara teks dan konteks. Melalui interaksi ini terbentuklah juga corak pendidikannya. Dengan demikian, kita harus membedakan antara pendidikan teologi sebagai pendidikan teologi dan bentuk-bentuk yang dikenakannya melalui interaksi, sebab bentuk-bentuk interaksi adalah proses yang sinambung, bervariasi menurut waktu dan tempat. Hal ini haruslah diperhatikan baik oleh Pendidian Teologi maupun bagi hidup dan misi gereja dari masa ke masa.
Ecclesia semper Reformanda, berlaku pada waktu kurun kita ini. Kita dihadapkan dengan konteks yang secara mendasar sama sekali baru, dalamnya teks harus ditafsirkan ulang. Konteks menurut Choe ialah realitas-realitas historis setiap situasi, yang semuanya jadi sasaran perubahan. Pergumulan dengan Teks dari mana semua teks berasal serta kemana teks itu menunjuk, agar bisa setia pada Teks di tengah kancah konteks. Choe mentebut pergumulan dengan model demikian sebagai “pergumulan rangkap”, dengan melibatkan dengan apa yang disebut olehnya lagi: “kritik tekstulal cum kontekstual”. Dengan kesadaran kritis ini kita didorong ke arah pertanyaaan-pertanyaan dasariah tentang hakikat dan tujuan pendidikan teologi di dunia kontemporer dan revolusioner. Choe memaparkan maksud pendidikan teologi seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dilalui tiga jalan berikut:
1. Pembentukan kristiani
Hidup Kristus adalah bagi kepentingan sesama (bdk. Gal 2:20). Pendidikan teologi ditinjau dari pendidikan yaitu terlibat dalam pembentukan manusia disertai pula dengan keyakinan bahwa khidupan Yesus Kristus, yang hidup dan mati bagi sesama adalah pembentukan otentik manusia. Semua perkembangan manusia bergerak menuju pada satu titik yang berpusat pada dirinya sendiri, namun ia berhadapan dengan bahaya menjadi pemusatan pada diri sendiri. Bagaimana pendidikan teologi, selaku pembentukan kristiani, dapat mengembangkan pembentukan otentik manusia yang tidak memusatkan dirinya sendiri, melainkan bagi kepentingan sesama? Pertanyaan yang tidak kalah pentingnya menurut Choe bagi Dunia Ketiga ialah: Siapa gerangan sesama itu? Bukankah mereka adalah yang miskin dan tertindas?
2. Pembentukan teologis
Pendidikna teologi bukan semata-mata mempersiapkan mahasiswa dengan pengetahuan belaka. Ia harus juga mengembangkan daya nalar, bahwa nalar Kristus bekerja melalui mereka (bdk. Flp 2:5). Penalaranynya melibatkan praksis, bahkan praksis yang luar biasa, yaitu pengosongan diri sendiri, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri sendiri dan menjadi taat sampai mati. Daya nalar demikian hanya bisa terjadi lewat pertobatan (metanoia) yang terus-menerus.
3. Pembentukan pendeta
Pelayanan hakiki dari Kristus yang dipercayakan kepada gereja adalah melalui aneka ragam karunia (charismata). Pendidikan teologi adalah aktualisasi kharisma-kharisma tersebut demi pengabdian kepada satu pelayanan hakiki Kristus itu, di dalam dan bagi dunia. Peranan dari jabatan yang dikhusukan ialah untuk dapat dengan tajam memilah-milah kharisma, serta memampukannya untuk dipakai dalam pelayanan bersama secara terpadu bagi Missio Dei, dalam konteks historisnya yang konkrit.

III. Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Reformasi Pendidikan Teologi
Pempribumian dan kontekstualisasi
Dalam sejarah pelaksanaan ketiga Mandat dalam pendidikan teologi tadi terjadi proses pempribumian. Pempribumian adalah keharusan misi manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke lahan budaya yang lain, dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar di lahan yang baru. Lalu, mengapa kita lebih menyukai istilah kontekstualisasi daripada pempribumian?
Karena pempribumian berasal dari metafora alam yaitu yang mengakar di tanah. Sehingga kata ini menimbulkan kesan menanggapi Injil menurut budaya tradisional. Bahayanya, istilah ini berkiblat ke masa lampau. Dan kata ini seolah-olah hanya berlaku untuk Asia dan Afrika saja, sehingga untuk Amerika tidak dilakukan upaya analisa kritis.
Oleh karena itu faktor yang paling penting, setelah perang terakhir adalah perubahan radikal, bukan budaya yang statis.
Dr. Kosuke Koyama, misionaris yang lama bekerja di Thailand dan kini Direktur Asosiasi Sekolah-sekolah Asia Tenggara mengungkapkan teorinya mengenai dua Thailand. Thailand Pertama yaitu sesuatu yang serba tidak berubah dan Thailand Kedua yaitu situasi yang mengalami perubahan sosial serba cepat.
Oleh karena itu digunakan kata kontekstualisasi yang mengandung kata pembribumian tetapi juga mengandung makna yang lebih dinamis, terbuka terhadap perubahan dan berkiblat pada masa depan.

Kontektualitas dan kontekstualisasi
Kita yang berada di Dunia Ketiga yang tengah dihadapkan dengan realitas historis baru, di mana konteks-konteks, lama dan baru, saling bertemu. Dan tentunya kita tidak dapat memandang secara merata semua konteks, karena tidak semua konteks strategis bagi Missio Dei dalam melaksankan tujuannya melalui sejarah. Tetapi dengan menganggap konteks itu penting, maka dalam pendidikan teologi diperlukan interdisipliner.
Moltmann pada pertemuan Dana Pendidikan Teologi tahun 1971 mengatakan bahwa ada bahaya dalam teologi akademis yang menjadi begitu terkontekstualisasi sehingga menjadi serba kolot, tetapi titik ekstrim lainnya adalah manakala teologi kontekstual menjadi teologi bunglon. Oleh karena itu kontekstualitas adalah penilaian kritis atas apa yang membuat konteks sungguh-sungguh bermakna di dalam terang Missio Dei. Penyadaran yang demikian itu hanya dapat terjadi melalui keterlibatan dan partisipasi, yang dapat memunculkan kesadaran kritis dan dapat menimbulkan juga kemampuan untuk memberi tanggapan dan kontekstualisasi. Kontekstualitas yang otentik mengarah ke kontekstualisasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Dialektika antara kontektualitas dan kontekstualisasi demikian itu menunjukkan cara berteologi yang baru. Tidak hanya mencakup kata-kata saja tetapi juga aksi. Sehingga Refleksi teologis otentik bukan saja bersifat theologia ini loco, memilah-milah kontektualitas di dalam konteks yang kongkret. Tetapi juga harus bersifat theologia viatorum, kontekstulitas selalu harus dilengkapi oleh kontektualisasi yang adalah proses yang bersinambung dan memadai Sehingga, rumusan pernyataan Kebijakan Program Kerja harus mengandung makna mengkontekstualisasikan teologi.

No comments:

Post a Comment