GKI Harapan Jaya

Wednesday, March 10, 2010

Konstruksi Iman di Tengah Tantangan Berteologi: Sebuah Refleksi Diri Untuk Dapat Beriman di Dalam Percakapan Teologi


Pergumulan teologi bagi saya adalah bagaimana mempertemukan iman dengan percakapan ilmu teologi, atau sederhananya sebuah pertanyaan yang muncul adalah: “Bagaimana saya dapat tetap beriman?”. Di sini penulis memulainya dengan membedakan antara fides quae dan fides qua, antar yang harus dipercaya (objektif) dan yang dipercaya (subjektif). Aktifitas yang berakar di dalam keristenan yang dilakukan oleh gereja adalah sebuah pergumulan dimana di dalamnya terdapat dogmatika Kristen. Bila kita melihat di dalam sejarah dogma-dogma sebenarnya adalah hasil dari sebuah diskusi. Diskusi yang bahkan tidak jarang dimulai dengan sebuah konflik. Konflik itu tidak terdapat di luar gereja tetapi terdapat di dalam gereja. Sebagai contoh: ada konflik mengenai hakikat Kristus: apakah dia memang sama dengan Allah atau tidak. Terdapat disensus yang kemudian melahirkan diskusi di dalam gereja yang mengatakan bahwa walaupun Yesus menyatakan kehendak Allah, namun dia tidak sama dengan Allah. Ada juga yang menyatakan bahwa Yesus seharusnya sama dengan Allah.
Sebuah dogmatika, semua teologi, semua pemikiran manusia berasal dari sebuah konteks. Dengan demikian, ‘berteologi dalam konteks, ingin mengatakan teologi yang tidak berhubungan dengan konteks tidak mungkin ada. Gereja mula-mula menggunakan kata ini untuk memastikan kesimpulan sebuah rapat gereja. Sehingga, kalu kita memperhatikan sejarah kekristenan, maka kita akan didapatkan bahwa iman Kristen-lah yang mewarnai dan mengisi dogma-dogma, walaupun lambat laun berubah. Dogma-dogma diperkuat dan kemudian mendefinisikan iman Kristen. Ia menjadi ‘objek’ kepercayaan dengan ‘subjek’ kepercayaan yang dilupakan.
Akhirnya dogmatika menjadi sebuah aturan yang mengatur. Dogma seharusnya tidak harus menjadi prosuposisi yang tetap dan kaku, tidak harus menjadi klise, dan tidak harus pula menjadi ‘objek’ kepercayaan yang mengatur. Oleh karenanya ketika kita memperhadapkannya dengan percakapan ilmu teologi, kita tidak dapat mengabaikan suara-suara dari tradisi, sejarah gereja, masyarakat, agama lain, dan perjalanan waktu. Inilah yang mewujudkan subjektifitas dari kita, atau saya sebagai penulis yang berfleksi.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, ingin dikatakan bahwa titik tolak dogmatika bukanlah dogmatis, tetapi berakar di dalam teologi. Dogmatika adalah salah satu disiplin dalam ilmu teologi. Lalu bagaimana memulainya, agar kita dapat tetap beriman? Perlu diketahui bahwa proposisi-prosisi yang terdapat di dalam Alkitab (ct.: Monoteisme (atau Henoteisme ); Cerita-cerita mengenai Yesus, dll) mewujudkan sola scriptura menjadi sola fide.
Untuk dapat menjawab tantantang iman tersebut, maka kita perlu kembali kepada sebuah sumber yang ada mengenai perkataan Allah yaitu Alkitab, karena Alkitab-lah yang menjadi referensi teologi itu sendiri. Berbagai pertanyaan mengenai Allah hanya dapat dijawab dan diketahui dengan ‘kata’ Allah sendiri di dalam sebuah teks. Sehingga, cara bagaimana Allah berfungsi di dalam teks agama Kristen menciptakan perasaan mengenai Allah, dan melahirkan ‘teks baru’ (diskursus objektif-subjektif) yang sejajar dengan konteks dimana saat ini kita berada. Apa yang menjadi intisari dari pergumulan penulis adalah bagaimana Allah berfungsi serta apa yang dilakukan-Nya. Gereja berusaha menelusuri hal tersebut untuk menjelaskan kehidupan yang baik dalam Yesus Kristus.
Ketika kita ingin beriman, dogma-dogma tidak dapat menguasai untuk kita harus mengikutinya. Ketika kita ingin berbicara mengenai iman yang dijelaskan dalam aturan dogma-dogma, kita akan memperhatikan sumber-sumber lain dari budaya, sejarah dan perspektif teologis kita. Sumber-sumber lain tersebut tentu perlu ditekankan bukan juga sebagai hegemoni yang menjadi sumber utama sebagai titik berangkat dalam kita merekonstruksi iman kita.

Gereja tidak menjadi ruang kebenaran, tetapi menjadi ruang interpretasi. Ada kebebasan bertanggung jawab untuk melakukan sebuah diskusi objektif dan subjektif bagi kita dalam merekonstruksi iman kita. Dengan demikian, kita dapat tetap beriman dengan melakukan percakapan tersebut, yakni dengan melahirkan sebuah iman yang kontekstual, iman kepada Yesus Krsitus dengan tidak mengabaikan sumber-sumber lain dalam merekonstruksinya. Iman yang tidak kaku, sekaligus juga tidak ‘liar’. Justru hal inilah yang membuat penulis dapat tetap beriman walaupun mendapat tantangan dari ilmu teologi dan konteks modern saat ini.

No comments:

Post a Comment