Usro garuk-garuk kepala seraya tak habis
pikir ketika melihat semakin banyaknya amplop persembahan yang diedarkan di
gereja.
“Ah amplop melulu!” gerutu Usro dalam hati.
Padahal ia bukan juga orang yang “rajin” memberikan persembahan, namun ia
selalu merasa ia punya hak untuk mengkritik soal pengaturan dan perapihan
berkaitan dengan tata cara persembahan di gerejanya.
Apa
makna persembahan? Walau terkesan basi, tapi nampaknya kita memang belum selalu
paham makna persembahan. Persembahan tentu bukanlah karena atas dasar pola
pikir bahwa “di dunia ini tak ada yang gratis”. Atau, jika saat ini kita masih
berpemahaman, ”memberi persembahan supaya mendapat lagi yang lebih banyak”,
maka ini juga berbanding terbalik dengan Teologi Persembahan yang memberi
penekanan, ”memberi persembahan karena sudah diberi terlebih dahulu”. Hal ini
menjadi dasar dalam keseluruhan konsep persembahan, membuat bagaimana
seharusnya kita memaknai persembahan.
Lukas 21:1-4, membuat kita belajar apakah ciri khas persembahan yang
sejati. “Si janda miskin” yang tidak disebut namanya ini, malah menjadi contoh
Yesus mengenai sikap persembahan yang sejati. Sudah janda, miskin lagi. Si
janda ini memberi persembahan ”dua peser”. ”Peser” dalam bahasa Yunani adalah
”lepton”, mata uang terkecil di antara orang Yahudi. Orang Romawi tidak
mengenal dan memakai ”lepton” karena mata uang terkecil mereka adalah ”quadran”
(LAI menggunakan istilah ”duit”). Satu ”quadran” sama dengan dua ”lepton”.
Yesus bahkan menilai persembahan “si janda miskin” amat besar, bahkan lebih
besar dari orang-orang kaya. Kenapa begitu? Karena persembahan “si janda
miskin” bermotivasi tulus. Dalam perikop sebelumnya, dikatakan ahli Taurat suka
duduk di ”tempat terdepan” dalam ibadah dan ”tempat terhormat” dalam perjamuan.
Sedangkan dalam perikop sesudah cerita tentang persembahan janda miskin ini,
Lukas mencatat tentang orang-orang di Bait Allah yang mengagumi bangunan dan
batu yang indah.
Apa yang ingin dikatakan oleh Lukas? Bahwa, agama bisa dipakai untuk
kemuliaan dan kekayaan diri. Tetapi dalam tangan si janda miskin ini, agama
dipakai untuk mempertontonkan pengorbanan diri. Cinta kepada manusia dan cinta
kepada Allah dipraktekkan dalam agama, dan bukan cinta kepada diri. Motivasinya
si janda miskin, hati yang tulus untuk Tuhan bukan untuk diri.
Dengan kata lain, kita belajar, persembahan adalah ekspresi sikap orang
Kristen terhadap uang. Tuhan Yesus mengatakan, ”di mana hartamu berada, di situ
hatimu”. Artinya, di sini, konsep kepemilikan. Jikalau harta kita adalah uang,
maka kita akan memakai Tuhan bagi uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan,
maka kita akan memakai uang bagi Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit
memberi persembahan. Sebaliknya, orang yang mencintai Tuhan, mudah memberi
persembahan.
Persembahan tidak memaksa, karena itu adalah
pengucapan syukur. Mungkin Usro tak sepenuhnya salah, tapi karena gereja kurang
menginformasikan tujuan dari pengaturan persembahannya tersebut. Namun lebih
dari itu semua, Yesus mengajarkan kita bahwa bila persembahan tidak dilakukan
dengan sukacita, maka ia tidaklah menjadi berkat.