GKI Harapan Jaya

Friday, February 13, 2009

Theology for the Third Millenium (Hans Küng)


by Alexander Urbinas

Buku Theology for the Third Millenium (1988) karya Hans Küng menggambarkan periode dunia ini sebagai periode transisi dari era modern ke postmodern. Agama kini dinilai Küng telah mengalami krisis kredibilitas. Lewat buku ini Küng ingin hendak mencari jalan bagi agama untuk melakukan fungsi kritis bagi kehidupan manusia secara individual maupun bersama. Dengan demikian agama dinilai Küng harus menemukan kembali kredibilitas dan vitalitasnya, karena komitmen manusia kini terarah lagi pada nilai kemanusiaan dan lingkungan dimana mereka hidup. Di tengah-tengah keprihatinan manusia untuk melindungi kemanusiaannya inilah peran agama dinanti-nantikan. 

Peran agama yang diharapkan tidak lagi yang berbentuk opresif dan represif, seperti pernah terjadi pada masa modern atau abad pertengahan. Manusia telah melewati masa-masa itu dan telah semakin dewasa atau yang disebut Küng telah mengalami “emansipasi”. Oleh karena itu hubungan antara agama dan manusia maupun hubungan antar agama-agama dunia harus ditinjau lagi secara dewasa. Manusia tidak dapat lagi meniadakan agama (gejolak modernisme), layaknya yang dilakukan filsuf ateistik semacam Feuerbach, Marx dan Nietzche, yang dinilai Küng telah menemui jalan buntu. Karena manusia yang demikian telah mengabaikan akan kodrat manusia yang selalu merindukan “the wholly Other” atau yang disebut sebagai agama (Rudolf Otto). Sebaliknya Küng juga memperingatkan kelompok agamawan yang dinilainya tradisonalis.
Tujuan Küng mengkritik tradisionalisme dan agnotisme adalah untuk menemukan kembali jiwa agama supaya bisa disumbangkan bagi humanisme sekuler dan nihilistik. Hipotesis yang melandasi pemikiran-pemikiran teologis Küng adalah bahwa agama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Agama justru menyempurnakan kemanusiaan. Memang agama tidak untuk didefinisikan, apalagi diperdebatkan (religion is as hard to difine as art). Untuk meringkas usaha Küng dalam mencari klarifikasi konsep agama, kita cukup melihat unsur-unsur yang terpenting yang digarisbawahinya. Agama itu bukan hanya menyangkut hal-hal teoritis, melainkan hidup sebagaimana kita hayati. Agama menurut Küng memberikan makna yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat, dan memberikan komunitas.
Lalu dapatkah kita menyamaratakan agama? Küng mengambil jalan tengah, via media. Kita harus memandang kedudukan agama-agama dari dua arah: dari luar dan dari dalam. Dari luar diakuinya ada bermacam-macam agama yang benar. Inilah dimensi relatif dari suatu agama. Dari dalam diakui adanya satu agama yang benar. Inilah dimensi mutlak dari suatu agama. Namun, semestinya agama-agama dapat melengkapi, mengkoreksi, dan memperdalam satu sama lain. Inilah pendirian kritis-ekumenis dari Küng. Sikap-sikap ekstrem seperti: abosulitisme, eksklusivisme, relativisme, sinkretisme, indiferentisme ataupun pluralisme, ditanggapi Küng dengan menunjukkan sikap indiferens terhadap ortodoksi, yang diperlukan adalah hubungan (relationship).  
  Sebagai seorang teolog Küng ingin merintis usaha untuk mencari konsensus di bidang teologi yang bisa menjadi dasar dialog. Oleh karena itu, Küng memulainya dengan memberi dasar epistemologis dengan memakai analisis pergeseran paradigma (pradigm shift) yang dikemukanan oleh Thomas S. Kuhn. Küng memperlihatkan adanya pergeseran-pergeseran paradigma dengan akibatnya pada teologi. Memang seakan-akan Küng ingin menyamaratakan atau mengatasi semua perbedaan agama-agama. Justru tidak, sebaliknya Küng justru bermaksud menembus batas-batas esoteris dan denominasional. Pemikirannya ingin meneerobos doktrin-doktrin yang dianggap vital. Küng yakin usahanya mencari model teologi postmodern dapat diterapkan secara analogis dalam agama-agama lain (universalitas).
Oleh karena itu, dengan teologi kritis-ekumenisnya, Küng bermaksud untuk menempatkan Kitab Suci dan manusia sebagai pusat refleksi teologis dengan metode kritis historis. Inilah yang menjadi kerangka dasar teologi Küng, yakni teologi yang ekumenis. Küng yakin bahwa setiap agama –baik secara individual maupun bersama- mempunyai tanggung jawab untuk mencari struktur konstan pesan asli yang terkandung di dalam Kitab Suci atau di dalam doktrin.
Nampak bahwa Küng dengan proyek berteologinya berusaha untuk menjalin perdamaian di antara agama-agama dan memberian warna baru bagi dunia yang telah mengalami krisis makna, nilai dan norma. Küng melihat kemungkinan yang bisa disumbangkan oleh agama-agama untuk melaksanakan tanggung jawab bersama itu, yaitu mencari konsensus moral di antar agama-agama di dunia. Usaha untuk mencari konsensus moral antar agama-agama ini tidak dimaksudkan untuk mereduksi agama semata-mata bersifat moral atau manusiawi. Bukan pula untuk meremehkan ciri-ciri dan kriteria khas dari setiap agama yang mengancam keunikan dari setiap agama. Sebaliknya sebagai langkah kooperaif dan kritis untuk merumuskan tanggung jawab global. Dunia mengalami berbagai masalah sosial, karenanya agama yang benar tidak hanya bertentangan dengan kemanusiaan, tetapi juga menyempurnakan kemanusiaan.
Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah usaha Küng tersebut memungkinkan? Kita tentu memahami bahwa dalam dalam masalah dogma, agama-agama memilki perbedaan yang amat besar. Akan tetapi dalam etika dan perilaku, agama-agama mempunyai banyak hal yang sama. Etika yang dimaksud adalah masalah praksis hidup, masalah hidup sebagaimana dihayati. Etika berkenaan dengan sikap kita akan yang baik dan buruk, apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak kita lakukan. Setiap agama memang memilki kerangka acuan teoritis yang berbeda sebagai fakta yang harus diperhitungkan untk melakukan langkah-langkah konsensus, tetapi tidaklah menjadi hambatan prinsipil sebagai tanggung jawab global.
Menurut Küng agama yang baik dan benar pasti tidak akan bertentangan dengan kemanusiaan, humanitas. Agama tidak hanya tak bertentangan dengan kemanusiaan, tetapi menyempurnakan kemanusiaan. Küng mengambil kemanusiaan (humanum) sebagai kriterium kebenaran suatu agama. Agama dinyatakannya sebagai prasyarat optimal bagi realisasi kemanusiaan. Bagaimana pemikiran Küng tersebut jika berhadapan dengan suatu sistem etika non-religius?
Küng mengakui bahwa manusia tanpa agama pun dapat mengarahkan hidupnya menjadi sungguh-sungguh manusiawi. Tuntutan hidup baik secara moral bersifat universal dan inheren pada kemanusiaan kita. Küng sungguh-sungguh tetap ingin mengajak ke moralitas yang berdasarkan nilai-nilai religius. Hal ini dikarenakan agama pada dasarnya manusiawi. Bukan berarti teonomi mengabaikan otonomi manusia. Pemikiran Küng merupakan cara optimal dalam mnegupayakan pelaksanaan sumber moral dan spiritual dari semua agama terhadap persoalan dasar etis dunia yang tidak mudah untuk diatasi. Küng memang tidak memberikan jalan keluar yang pasti mengenai bagaimana menempuh langkah-langkah teknis dan pelik untuk konsesus moral ini dapat tercapai.
Karena itulah sulit rasanya kita menentukan berada di posisi mana sebenarnya pandangan teologis Küng, apakah dikelompokkan ke dalam pluralisme atau ia masih berada di dalam area inklusivisme. Namun kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ia cenderung mengambil posisi pluralis. Küng tidak lagi berteologi dalam perspektif kristosentris, melainkan beralih dalam perspektif teosentris sifatnya. Agama lain juga dipandangnya secara kondisional, namun agama-agama lain itu dikondisikan dalam pengertian kristiani, atau disebut Küng sebagai agama humanum.
Perjumpaan kekristenan dengan agama-agama lain harus dialihkan ke dalam kriteria yang lebih meluas, yaitu kriteria etis (the humanum). Tentu ini merupakan sebuah pendekatan progresif dalam perjumpaan agama-agama. Dialog tidak lagi dipandang secara sempit yang berbicara sekitar percakapan intelektual dan dogmatis tanpa menemukan titik temu dan seakan teoritis tanpa aplikasi, namun justru diwujudnyatakan dalam upaya bersama (konsensus) membuat masa depan bersama yang lebih damai. 
Agama bukanlah semata-mata sekumpulan norma dan lebih luas daripada etika. Etika yang dimaksudkan Küng merupakan realitas sehari-hari dan sejarah kehidupan yang dinamis. Oleh karena itu, setiap komunikasi tentang etika merupakan diskusi etis yang begitu relevan bagi pembentukan masyarakat yang bertanggung jawab. Dialog interreligius kini musti bergeser dari perspektif teologi-dogmatis menuju teologis-etis sebagai cita-cita membentuk dunia yang manusiawi. 

No comments:

Post a Comment