GKI Harapan Jaya

Wednesday, February 16, 2011

Artikulasi Nilai Islam dalam Politik: Menyoal Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dalam Masalah Islam dan Kenegaraan

Ahmad Syafii Maarif yang lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Sumpurkudus, Sumatera Barat adalah seorang cendikiawan, aktivis, sekaligus penulis yang produktif. Tidak sedikit sumbangsihnya di bidang pemikiran Islam.
Melihat pergolakan politik, agama, dan budaya yang terjadi di Indonesia, Syafii Maarif lewat pemikiran dan karyanya melakukan refleksi mendalam serta analisis yang tajam. Ia salah satu dari sedikit cendikiawan muslim Indonesia yang secara serius memikirkan nasib bangsanya.
Indonesia dikenal sebagai bangsa muslim terbesar di dunia. Lebih dari 80% penduduknya bergama Islam, sekalipun Islam tidak disebut dalam konstitusi sebagai agama negara, seperti negara Malaysia misalnya. Akan tetapi di negeri ini, justru para pemeluk agama telah gagal melakukan internalisasi nilai-nilai agamanya. Agama yang seharusnya menjadi salah satu solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan, justru kini menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan legitimasi kepentingaan kelompok. Bahkan, agama sering kali memberikan andil yang cukup besar terhadap radikalisme.
Menurut Maarif, hal ini bukan karena nilai-nilai Islam yang lumpuh dalam menawarkan solusi, melainkan otak dan hati penganutnya yang telah diracuni kepentingan duniawi yang membutakan. Maka, katanya lebih lanjut, janganlah mengherankan jika negeri ini terus terpuruk dalam persoalan yang multidimensional (sosial, politik, ekonomi, dan budaya).


I. Etika Qur’an dalam Berpolitik
Politik adalah sebuah kegiatan yang penuh dengan iklim panas yang selalu berkaitan dengan masalah kekuasaan. Sebuah sistem kekuasaan yang cenderung merusak moral dengan menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan tanpa batas. Itulah sebabnya kita sering mendengar ungkapan: politik itu kotor. Maarif melihat bahwa situasi diperparah ketika perbuatan kotor itu dibungkus dalam jubah agama. Dalam ungkapan lain, tidak jarang agama dijadikan kedok untuk meraih ataupun mempertahankan kekuasaan.
Bertolak kepada latar belakang lahirnya Islam di dunia, adalah untuk meluruskan segala sesuatu yang tidak semestinya lewat tokohnya, Nabi Muhammad, sekitar abad 7. Keberhasilan Nabi untuk mengubahnya telah diakui oleh kaum Muslim dan non-Muslim. QS Al-Baqarah:148 mengatakan agar manusia berlomba untuk menegakkan kebajikan, bukan berlomba dalam memicu peperangan, perseteruan dan kejagahatan (baca:politik). Etika Islam ketika berbicara dalam kerangka politik, seharusnya juga menjadi pedoman bangsa saat ini dengan melangkah dari doktrin Qurani, Amar Makruf Nahi Mungkar.
Apa yang dimaksud dari doktrin ini adalah untuk menempatkan manusia untuk bertindak makruf (apa yang diperintahkan agama dan dinilai baik oleh akal sehat) dan mungkar (apa yang dilarang agama dan dinilai buruk oleh akal sehat). Perintah dan larangan agama pada esensinya hanya punya satu tujuan: agar manusia secara perseorangan dan kolektif tetap berada di atas jalan lurus dan dalam bingkai moral yang jelas. Islam memang mengajarkan konsep utuh tentang kebaikan dan konsep utuh tentang keburukan. Yang baik menurut agama sebenarnya juga baik menurut akal sehat. Begitu pula sebaliknya. Akal sehat adalah akal yang dibimbing iman.
Doktrin ini tidak hanya berbicara di dalam lingkaran agama saja, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti sosial politik, ekonomi, dan budaya. Bagi Maarif penyelewengan interpretasi sangat membahayakan, ini bukti nyata yang terjadi di Indonesia. Agama, dalam hal ini Islam, tidak lagi menjadi rambu-rambu moral dalam tatanan politik kenegaraan. Agama justru dipakai sebagai tameng untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Islam yang seharusnya menciptakan keadilan justru muncul sebagai elemen yang menohok bangsa ini. Janganlah heran jika, ketidakteraturan menjadi sesuatu yang maklum di negeri ini.

II. Pertautan Islam dan Nasionalisme di Indonesia
Nasionalisme dalam konteks sejarah Indonesia tampaknya dimaknai sebagai kepercayaan dan tindakan politik untuk mengubah secara radikal status Indonesia sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka, upaya untuk meruntuhkan kolonialisme dan imperialisme. Dalam perkembangannya, nasionalisme Indonesia tidak saja ditujukan untuk melawan kolonialisme Barat, tetapi untuk melawan semua tipe kolonialisme. Disini Islam sebagai kekuatan pembebas tidak saja bergandengan dengan nasionalisme itu, tetapi sekaligus memberikan fondasi spiritual yang kokoh kepadanya. Oleh karena itu, Maarif menawarkan apa yang disebut sebagai pengembangan nilai-nilai Islam dalam berpolitik.
Pengembangan nilai-nilai Islam dalam politik terasa aktual dan relevan dengan realitas masyarakat muslim Indonesia. Menurut Maarif lebih lanjut, bangsa ini sekarang sedang dilanda ketidakpastian masa depan, sementara itu para elit santri yang berkuasa juga seperti kehilangan arah. Islam jelas dalam nilai-nilainya yang autentik sebenarnya tidak bertoleransi terhadap segala bentuk kekuasaan yang merenggut kebebasan dan martabat manusia.
Apakah nilai-nilai Islam itu? Dalam bahasa Al-Qur’an yang berkaitan dengan politik kekuasaan, terbaca misalnya dalam ungkapan berikut, “Orang-orang yang apabila kami beri posisi yang kukuh di muka bumi, mereka mendirikan salat, membayar zakat, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dan milik Allahlah muara segala urusan.” Oleh karena itu, tidak ada legalitas absolut dari suatu kekuasaan.
Maarif menggugat doktrin tentang ketaatan umat dalam praktik tidak saja ditujukan kepada penguasa politik, taat kepada ulama pun di kalangan muslim tertentu juga sering ditekankan. Seakan-akan ulama itu orang yang bersih tidak tergoda oleh kekuasaan. Risikonya sebenarnya hanya satu, terjadinya proses perbudakan politik dan spiritual. Umat kehilangan martabat dan kebebasan untuk berpendapat lain selain yang keluar dari mulut penguasa dan ulama.
Inilah kegagalan dalam penerapan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai dasarnya mengenai ketulusan, kejujuran, dan keadilan jarang dijadikan acuan dalam perilaku keseharian umat, kecuali dalam retorika politik. Sebagian orang begitu mudah terpukau oleh simbol-simbol keislaman yang tidak jarang dijadikan tameng untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang jahat. Islam bukan tidak menawarkan solusi, tapi ini dikarenakan kegagalan individu-individu dalam pelaksanaan praksisnya. Oleh sebab itu, orang luar akan sulit menerima bahwa Islam itu adalah solusi karena umat Islam sendiri lebih tertarik kepada kulit ajaran daripada isi.
Bagi Maarif, simbol semata tidak dapat dijadikan jaminan, selama perilaku kesehariannya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati dalam kearifan, kejujuran, toleransi, kejernihan berpikir, dan tidak rakus. Ini akan mempengaruhi kepada citra dan peraan Islam di Indonesia di masa yang akan datang.
Tentang masa depan Islam di Nusantara ini, cerah atau kelabu, akan sangat tergantung pada kemampuan dan kesigapan penganutnya untuk menawarkan nilai-nilai Islam sebagai solusi bagi berbagai kemelut yang sedang terjadi di Indonesia. Sebuah Islam yang tidak dapat memecahkan persoalan manusia, tidak akan mempunyai masa depan. Bagi Maaarif, hal ini tidak diragukan lagi bahwa nilai-nilai Islam seperti yang tercantum dalam sumbernya (Al-Qur’an) mempunyai banyak tawaran kepada politik dan kekuasaan dengan catatan bahwa si pemegangnya masih punya hati nurani dan tidak rakus terhadaap benda dan kekuasaan.
Masa lampau umat muslim dalam kaitannya dengan politik dan kekuasaan perlu dikaji secara kritis dan objektif agar kita tidak terjebak dalam kesalahan yang sama. Dan untuk menghadapi masa depan nilai-nilai Islam yang komprehensif perlu dirumuskan secara cerdas dan penuh tanggung jawab Unsur-unsur peradaban umat yang lepas dari nilai-nilai Islam yang autentik (baca: Al-Qur’an) janganlah dipertahankan sebab akan mengekang manusia untuk bergerak maju. Maarif mengatakan, mempertahankan unsur-unsur yang sudah lapuk sama dengan pemberhalaan masa lampau yang sia-sia yang bukan milik umat Islam.
Dengan situasi yang demikian, maka Indonesia akan memasuki sebuah babak baru, yakni sebuah babakan yang dipenuhi oleh harapan dalam segala aspek kehidupan. Bukan hanya harapan kosong, tetapi harapan yang berangkat dari keprihatinan untuk menuju kepada suatu perubahan yang lebih baik. Inilah yang disebut sebagai dualisme satu arah antara agama (Islam) dan politik (wacana kenegaraan).

III. Indonesia: Menuju Perubahan Format Politik Masa Depan Berangkat dari Keprihatinan
Syafii Maarif yang gerah dengan keadaan bangsa ini mencoba melihat evolusi Indonesia yang penuh dengan keprihatinan untuk menuju kepada format politik masa depan yang menjanjikan. Indonesia yang notabene merupakan sebuah negara kepulauan dengan subkultur dan bahasa yang beraneka ragam, ternyata tidak mudah untuk memenuhi cita-cita kemerdekaan yang oleh pemimpin sering diucapkan, yakni terciptanya sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Baginya, keadilan adalah sesuatu yang nun jauh disana, sementara kemakmuran baru dinikmati oleh sekelompok kecil warga masyarakat. Dengan krisis yang senantiasa terus terjadi ini bagi Maarif, cita-cita di atas tampaknya belum semakin mendekat.
Pendidikan yang semestinya jadi satu-satunya cara yang efektif untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia, keadaannya pun makin tertatih-tatih, seperti telah kehilangan perspektif selama beberapa dasawarsa. Berbagai metode baru pendidikan sudah coba dijalankan namun, belum ada perubahan signifikan di sektor ini. Peningkatan mutu masih menjadi pekerjaan rumah bagi pendidikan nasional Indonesia.
Berbagai persoalan yang menjurus kepada keprihatinan ini muncul mungkin dikarenakan budaya politik yang otoritarian selama sekian dasawarsa. Hal ini menjadi sebab utama mengapa para pemikir bangsa tidak punya peluang yang wajar untuk merealisasikan gagasan-gagasan kreatifnya.
Syafii Maarif dalam pemikirannya yang kritis serta dalam refleksinya mencoba menggambarkan bagaimana format politik Indonesia di masa depan. Indonesia beberapa kali digoyang oleh tindakan-tindakan subversif yang mengatasnamakan kelompok agama, sosial, atau budaya. Apakah dengan begitu model Demokrasi Pancasila sudah tidak relevan lagi di Indonesia? Sebenarnya secara teoritis-filosofis, gagasan tentang Demokrasi Pancasila tidak perlu digugat lagi karena sudah diterima hampir semua lapisan masyarakat. Dengan landasan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab, kita dapat membangun sebuah demokrasi yang kokoh dan sehat dengan syarat jangan ditafsirkan dengan subjektif.
Menurut Maarif, jika reformasi politik itu tidak dilakukan pada awal abad ke-21, maka akan memunculkan kekawatiran bahwa arus demokratisasi yang sudah semakin mendunia ini akan mengucilkan bangsa ini dari peradaban global. Dalam masalah demokrasi tidak ada salahnya kita mencotoh negara lain dengan syarat disesuaikan dengan kepribadian kita, tetapi dengan tidak mengebiri substansi demokrasi itu sendiri. Praktik politik yang sudah berjalan lebih dari setengah abad di negeri kita ini harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga, hingga pada saatnya mampu menciptakan sebuah demokrasi yang bermutu tinggi, baik secara teori maupun praktik.
Menurut Maarif, Indonesia dan Islam sekarang sedang mendapat tantangan yang sama, yakni tantangan dari peradaban barat yang begitu menjadi momok bagi dunia belahan ketiga seperti Indonesia. Bagaimana situasinya pada millenium yang baru ini, tidak ada yang dapat memprediksi. Tidak ada seorang pun yang dapat mengatakannya dengan pasti. Yang dapat dipastikan adalah bahwa perubahan, ke arah positif atau negatif, akan berjalan dengan sangat dahsyat, kencang, dan spetakuler. Peradaban Barat untuk beberapa tahun yang akan datang tampaknya masih akan memegang kendali secara global, walaupun tanda-tanda kemerosotannya sudah mulai kelihatan.
Menghadapi perubahan sejagat yang sedahsyat itu, bangsa Indonesia tidak boleh lagi merancang format politiknya berdasarkan kepentingan sesaat dan kelompok tertentu, Islam contohnya. Bangsa harus merancangnya berdasarkan pengalaman sejarah yang ditafsirkan bersama-sama secara objektif, rasional, dan adil. Sikap terhadap Pancasila yang selama ini secara teori diagungkan sementara dalam praktik dilecehkan harus dikubur bersama dengan tamatnya milenium kedua.
Sebagai seorang Islam dan berjiwa Pancasila, Maarif menekankan pentingnya kata dan perbuatan yang heruslah seiring sejalan, tidak seperti pengalaman selama ini. Dengan cara ini, diharapkan bahwa bangunan demokrasi yang sehat, kokoh, dan anggun merupakan format politik kita pada masa depan, yang dikemas sebagai jawaban kita menghadapi dunia yang sedang berubah dengan cepat dan tak terduga, dan mengundang segala kemugkinan.

IV. Sebuah Refleksi Atas Pemikiran Syafii Maarif
Islam,sebagai institusi, di Indonesia lebih sering dimanfaatkan dalam percaturan politik. Keadaan ini tanpa disadari merusak dari nilai etis Islam sendiri. Hal ini jelas berpengaruh terhadap keadaan di Indonesia yang terus terpuruk. Ini bukan kegagalan Islam, yang seharusnya mampu memberikan solusi. Ini adalah kegagalan dari masing-masing individu yang gagal dengan tepat meginterpretasikan dan mengamalkan nilai-nilai Islam.
Islam sebenarnya memiliki nilai-nilai Islami yang dapat didopsi dengan percaturan politik di Indonesia. Sebuah format politik yang mengarah kepada perubahan. Rasa-rasanya sudah cukup Indonesia bernaung dalam lingkaran kekuasaan yang otoritarian yang menyebabkan keterpurukan dan keprihatinan. Islam dan Indonesia kini diperhadapkan kepada pekerjaan berat untuk menempatkan Indonesia di hadapan peradaban global.
Namun, patut diingat dan ditekankan berangkat dari pemikiran Maarif, bahwa Islam merupakan sebuah agama yang mengatur moral tanpa ada keabsolutan mutlak. Maksudnya, umat harusnya mampu menyadari bahwa Islam tidaklah bersifat memaksa dan eksklusif, justru sebaliknya Islam sangat terbuka dengan keberagaman (agama, sosial, dan budaya) selama tidak bertentangan dengan moral.
Inilah yang menjadi kegagalan berpolitik bangsa ini, yang selalu mencoba menghubung-hubungkan agama dan negara tanpa interpretasi yang benar-benar Islami, yang benar-benar Qurani, dan yang benar-benar terbuka. Agama sering kali dijadikan kesempatan praktik jubah politik, untuk melegitimasikan kepentingan kelompok tertentu. Terang saja ini adalah perspektif yang keliru.

Wednesday, February 2, 2011

Kant, Ritschl, dan Harnack: Sebuah Pendekatan Injil Sosial

Abad ke-19 dimulai dengan suatu seruan untuk keadilan sosial. Dalam Religion within the Limits of Reason Alone. Immanuel Kant mengaitkan ungkapan “Kerajaan allah” sebagai sesuatu yang membungkus cita-cita Yesus sebagai umat manusia. Ia memberikan “Kerajaan Allah” itu suatu penafsiran sosial dan moral, dengan memandangnya sebagai “suatu persemakmuran etis” atau “umat Allah di bawah hukum-hukum etis” Kant tidak mengidentifikasikan Gereja dengan Kerajaan Allah, tetapi melihat Gereja sebagai yang tunduk kepada kerajaan itu. Gereja hanyalah satu bagian dari masyarakat yang lebih besar dan harus mengarahkan berbagai usahanya untuk mewujudkan cita-cita dari persemakmuran etis yang murni itu.
Setelahnya, masih pada abad ke-19, Albert Ritschl mengumandangkan tema-tema Kantian ini. “Kerajaan Allah” tulis Ritschl dalam buku The Christian Doctrine of Justification and Reconciliation, “sepenuhnya merupakan konsep keagamaan, tetapi juga merupakan “Ide fundamental dari etika”, dan etika adalah fondasi dari suatu masyarakat yang adil. Meskipun pendirian suatu masyarakat yang adil itu adalah kewajiban dari semua orang Kristen, mereka harus melaksanakannya secara langsung melalui saluran-saluran politis yang biasa. Ritschl mengatakan “adalah perlu membedakan antara memandang para pengikut Kristus, pertama, di bawah konsep Kerajaan Allah, dan kedua, di bawah konsepsi komunitas yang beribadah atau Gereja.” Sebagai komunitas yang beribadah, Gereja hanya menjadi pelaku yang tidak langsung dari perubahan sosial.
Akhirnya, dalam karyanya yang sangat berpengaruh What is Chritianity? Adolf Harnack menyatakan,” Injil adalah suatu berita sosial, yang kokoh dan sangat berkuasa dalam kekuatannya, Injil adalah pemberitaan tentang solidaritas dan persaudaraan demi kaum miskin.” Selanjutnya, ”Murid Yesus seharusnya mampu meninggalkan pengejaran atas hak-haknya dan seharusnya bekerja sama dalam pembentukan suatu bangsa dari para saudara, yang didalamnya keadilan dilaksanakan, bukan lagi dengan bantuan kekuatan, melainkan dengan ketaatan yang bebas pada kebaikan, dan yang dipersatukan bukan oleh berbagai peraturan hukum melainkan oleh pelayanan kasih.” Walaupun berita itu bersifat sosial, dalam pandangan Harnack, Kerajaan Allah adalah suatu keadaan batiniah bagi setiap individu. Melalui individu-individu yang bertobat, suatu masyarakat yang adil akan diwujudkan. Secara efektif, Gereja sebagai lembaga tidak memainkan peranan langsung dalam mewujudkan keadilan sosial. Namun berbagai persoalan masyarakat industri, seperti yang berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, membawa perubahan dalam pandangan banyak orang yang ditumbuhkan oleh tradisi Protestan Liberal.