GKI Harapan Jaya

Thursday, December 6, 2012

Persembahan Usro (1) Lukas 21:1-4



        Usro garuk-garuk kepala seraya tak habis pikir ketika melihat semakin banyaknya amplop persembahan yang diedarkan di gereja.
“Ah amplop melulu!” gerutu Usro dalam hati.
Padahal ia bukan juga orang yang “rajin” memberikan persembahan, namun ia selalu merasa ia punya hak untuk mengkritik soal pengaturan dan perapihan berkaitan dengan tata cara persembahan di gerejanya.
            Apa makna persembahan? Walau terkesan basi, tapi nampaknya kita memang belum selalu paham makna persembahan. Persembahan tentu bukanlah karena atas dasar pola pikir bahwa “di dunia ini tak ada yang gratis”. Atau, jika saat ini kita masih berpemahaman, ”memberi persembahan supaya mendapat lagi yang lebih banyak”, maka ini juga berbanding terbalik dengan Teologi Persembahan yang memberi penekanan, ”memberi persembahan karena sudah diberi terlebih dahulu”. Hal ini menjadi dasar dalam keseluruhan konsep persembahan, membuat bagaimana seharusnya kita memaknai persembahan.
Lukas 21:1-4, membuat kita belajar apakah ciri khas persembahan yang sejati. “Si janda miskin” yang tidak disebut namanya ini, malah menjadi contoh Yesus mengenai sikap persembahan yang sejati. Sudah janda, miskin lagi. Si janda ini memberi persembahan ”dua peser”. ”Peser” dalam bahasa Yunani adalah ”lepton”, mata uang terkecil di antara orang Yahudi. Orang Romawi tidak mengenal dan memakai ”lepton” karena mata uang terkecil mereka adalah ”quadran” (LAI menggunakan istilah ”duit”). Satu ”quadran” sama dengan dua ”lepton”.
Yesus bahkan menilai persembahan “si janda miskin” amat besar, bahkan lebih besar dari orang-orang kaya. Kenapa begitu? Karena persembahan “si janda miskin” bermotivasi tulus. Dalam perikop sebelumnya, dikatakan ahli Taurat suka duduk di ”tempat terdepan” dalam ibadah dan ”tempat terhormat” dalam perjamuan. Sedangkan dalam perikop sesudah cerita tentang persembahan janda miskin ini, Lukas mencatat tentang orang-orang di Bait Allah yang mengagumi bangunan dan batu yang indah.
Apa yang ingin dikatakan oleh Lukas? Bahwa, agama bisa dipakai untuk kemuliaan dan kekayaan diri. Tetapi dalam tangan si janda miskin ini, agama dipakai untuk mempertontonkan pengorbanan diri. Cinta kepada manusia dan cinta kepada Allah dipraktekkan dalam agama, dan bukan cinta kepada diri. Motivasinya si janda miskin, hati yang tulus untuk Tuhan bukan untuk diri.
Dengan kata lain, kita belajar, persembahan adalah ekspresi sikap orang Kristen terhadap uang. Tuhan Yesus mengatakan, ”di mana hartamu berada, di situ hatimu”. Artinya, di sini, konsep kepemilikan. Jikalau harta kita adalah uang, maka kita akan memakai Tuhan bagi uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan, maka kita akan memakai uang bagi Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit memberi persembahan. Sebaliknya, orang yang mencintai Tuhan, mudah memberi persembahan.
Persembahan tidak memaksa, karena itu adalah pengucapan syukur. Mungkin Usro tak sepenuhnya salah, tapi karena gereja kurang menginformasikan tujuan dari pengaturan persembahannya tersebut. Namun lebih dari itu semua, Yesus mengajarkan kita bahwa bila persembahan tidak dilakukan dengan sukacita, maka ia tidaklah menjadi berkat.

Belajar Dari Pengalaman Si Ucup



           

"Jikalau seseorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri,
bagaimanakah ia dapat mengurus jemaat Allah" (I Tim 3:5)
   


                Seorang GSM bertanya kepada anak Sekolah Minggunya yang bernama Ucup, "Ucup, maukah nanti jadi guru sekolah minggu?"
Ucup pun sontak menjawab, " Mau kak!"
Pertanyaan sang GSM belum berhenti disitu, ia kembali bertanya, " Kalau jadi penatua seperti papi, mau gak?"
Raut muka Ucup berubah suram dan berkata: "Nggak mau, kak! Papi sibuk melulu. Nggak ada waktu liburan denganku."
                Pandangan dan perasaan Ucup bisa jadi tidak jauh berbeda dengan keluarga kita. Contohnya, ketika salah satu anggota keluarga kita terpanggil menjadi penatua, pendeta, atau aktivis gereja. Dari awalnya kita mendukung si "terpanggil", lambat laun berubah menjadi pendemonya. Mungkin ini karena kita merasa "si terpanggil" lebih sibuk mengurus pelayanan gerejanya ketimbang keluarganya. Kalau sudah begini, pelayanan tidak lagi menjadi berkat.
                Lalu apa yang Alkitab katakan mengenai ini? I Tim 3:5 menyampaikan bahwa keluarga tidak kalah penting untuk dilayani ketimbang pelayanan jemaat. Atau kalau mau menggunakan kalimat singkat menggunakan bahasa sehari-hari ayat ini berkata, "kalau gak bisa ngurus keluarga, ya gak usah ngurus pelayanan jemaat!"
                Memang banyak orang sulit untuk mengelola dirinya dalam menggunakan waktu, ketika aktif dalam pelayanan. Roh terasa menyala-nyala. Akibatnya, urusan keluarga pun menjadi urusan belakangan. Anggota keluarga lain pun merasa seperti si Ucup. Kegiatan pelayanan dilihat sebagai "parasit" dan menjadi pelayan adalah "hantu".
                Melalui surat Timotius kita dapat belajar dua hal. Pertama, jadikan keluarga bukan sebagai tempat persinggahan. Tetap sediakan waktu kebersamaan keluarga dengan memanfaatkan waktu libur kerja/weekend. Hidupilah juga persekutuan keluarga setiap hari, sehingga buah pelayanan juga nyata bagi keluarga. Lalu jangan menjadi "singa" di rumah, tetapi "merpati" di gereja. Ingat! Keluarga Anda adalah ruang cinta kasih Allah, yang harus juga merasakan cinta kasih Allah.
                Kedua, jangan jadikan pelayanan sebagai tempat pelarian. Pelayanan adalah pengucapan syukur dan tanggung jawab. Bukan sisa-sia waktu! Tidak pas kita rajin ikut kegiatan gereja karena pusing dengan urusan rumah. Bereskan dulu urusan rumah, sebelum berpelayanan! Karena keluarga pun adalah ruang cinta kasih Allah, dimana cinta kasih itu harus turut kita nyatakan.
                Kami belajar dari pengalamanmu, Cup! Semoga papi si Ucup membaca ini. Semoga si Ucup kelak dapat menjadi penatua atau pendeta. Semoga keluarga Ucup menghidupi cinta kasih Allah. Apakah ada anggota keluarga kita yang merasa seperti si Ucup?