GKI Harapan Jaya

Monday, March 21, 2011

“Memahami Puncak Imanku”: Sebuah Renungan Memasuki Paska

Setelah kita melewati dan merefleksikan diri pada ibadah Rabu Abu yang lalu, maka mulai minggu ini kita, selaku jemaat GKI Harapan Jaya, bersama-sama seluruh jemaat-jemaat lain di seluruh dunia akan mulai memasuki Minggu-Minggu Pra-Paska. Paska datang dari kata “Pesakh” (Ibr.) atau “Passover” (Eng.) yang artinya bahwa Allah meluputkan kita.
Paska (Yun: Πάσχα atau paskha) adalah perayaan (ter-) penting dalam tahun liturgi gerejawi Kristen. Bagi umat Kristen, Paska identik dengan Yesus, yang disebut sebagai "anak domba Paska", jemaat Kristen percaya bahwa Yesus disalibkan, mati dan dikuburkan, dan pada hari yang ketiga bangkit dari antara orang mati. Paska merayakan hari kebangkitan tersebut dan merupakan perayaan yang (ter-) penting karena memperingati peristiwa yang paling sakral dalam hidup Yesus.
Mengapa Paska (selalu) lebih sepi ketimbang Natal? Harus diakui keberhasilan misionaris Eropa mempopulerkan perayaan Natal (sebetulnya minus penghayatan Adven) yang semula dari penyembahan untuk Dewa Matahari (dies natalis solis invicti) memang sangat berhasil. Alhasil, perayaan Paska pun sepi dari perhatian Gereja. Padahal perayaan Paska merupakan hari raya Kristen paling utama dan paling besar. Untuk mengembalikan pesta sukacita Paska, mau tidak mau penggalian kekayaan atas sejarah kekristenan musti dilakukan. Kesaksian Gereja Perdana yang terpesona pada sukacita kebangkitan Tuhan seyogyanya mendapat tempat penghayatan secara khusus. Tak pada tempatnya ketika Natal yang bermula dari tradisi penyembahan Dewa Matahari menggeser puncak sejarah keselamatan yaitu hari raya Paska.
Oleh karena itu, upaya mengembalikan Paska sebagai puncak Ibadah Jemaat perlu dengan cukup serius dilakukan, kita perlu mengembalikan kekayaan tradisi gereja mula-mula dalam memperingati peristiwa agung Paska melalui Masa Paska dan Pentakosta. GKI (baca: jemaat Harpan Jaya) pun demikian, dengan bersua kembali juga dengan tradisi Rabu Abu, Minggu Pra-Paska, Minggu Palmarum, Kamis Putih, Jum’at Agung, Sabtu Sunyi, Paska, Minggu Paska, dan Kenaikan Tuhan Yesus.
Kembali kepada makna Paska, maka disadari ataupun tidak, setiap kita banyak diluputkan dari hal-hal yang dapat membahayakan kita. Dalam bahasa Inggris biasa disebut sebagai “Good Luck”, atau “beruntung”. Tetapi, menariknya Baby Face salah satu artis Amerika pernah berkata “I don’t believe good luck, but blessing”. Saya tidak mengetahui kehidupan religius dia, tetapi kalimatnya tersebut merupakan suatu pernyataan imani yang luar biasa karena mewakili esensi kehidupan kristiani, yakni penyangkalan diri.
Kristus bukan hanya mengajarkan semangat penyangkalan diri (Matius 16:24), tetapi lebih jauh lagi Kristus melakukan apa yang diajarkan-Nya. He is a man of His words! His word is His bond! Di hari-hari terakhir-Nya, Dia rela mengayunkan langkah menuju Yerusalem dengan pengetahuan dan kesadaran sepenuh-penuhnya bahwa kematian menantikan Dia di kota yang tragis dan ironisnya, pernah menyambut Dia dengan teriakan “Hosana...Hosana!!” (Matius 21;1-11).
Malam sebelum Dia disalib, Kristus berkumpul bersama murid-murid-Nya di taman Getsemani. Di situ, sebagaimana dicatat di Matius 26:36-46, Lukas 22:39-46, dan Markus 14:32-42 “Ia berlutut dan berdoa ‘…Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin biarlah cawan ini ini lalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki…jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu!’”. Cawan! Dalam Alkitab, istilah ini merupakan metafora “murka” dan “kasih” Allah. Dalam Yeremia 25:15, Mazmur 75:9, dan Wahyu 14:10;16:19, cawan berisi murka Allah. Sebaliknya, dalam Mazmur 23:5 dan Mazmur 116:13, cawan merupakan simbol berkat dan keselamatan dari Allah.
Doa Yesus di Getsemani merupakan refleksi atas kedua simbol ilahi cawan, yakni “murka” dan “kasih” Allah. Peristiwa Getsemani dari tampak lahirnya seolah-olah menunjukkan “titik lemah” kekristenan, dimana Yesus kelihatan sebagai seorang “peragu” dan “berusaha melakukan tawar menawar untuk melepaskan diri dari kematian yang menanti-Nya”. Tidak! Sama sekali bukan begitu!
Peristiwa Getsemani justru memuat dan menyampaikan kekuatan dan tema sentral misi kedatangan Kristus ke dunia. Pesan yang disampaikan dalam doa Kristus tersebut berisikan konfirmasi bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan. “…Jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, (jadilah kehendak-Mu!)”. Dalam bahasa sederhana, doa ini berkata bahwa hanya dengan kematian Kristus, murka Allah atas manusia dapat berlalu. Jikalau cawan (baca: murka Allah) dapat lalu selain apabila Yesus meminumnya (baca: kematian Kristus), Allah pasti akan memilih cara lain tersebut ketimbang menyerahkan Anak-Nya yang tunggal untuk menderita dan mati. Namun, ternyata, hanya dengan Kristus menerima cawan murka Allah, maka manusia dapat menerima cawan yang berisi kasih dan keselamatan Allah.
Pergumulan Kristus atas konfirmasi tersebut sedemikian berat dan serius sehingga “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.” (Lukas 22:39-44). Gejala ini memang ada dan dikenal dalam dunia medis sebagai chromidrosis.
Mereka yang telah menerima keselamatan melalui iman dalam Kristus sudah menerima cawan yang berisi kasih perdamaian dengan ALLAH (Roma 5:10-11). Perdamaian dengan ALLAH tersebut “gratis tetapi sangat mahal”. Gratis, karena yang menerimanya tidak perlu membayar apa-apa kecuali penyangkalan atas kemampuan untuk menyelamatkan diri sendiri (Matius 16:24) dan kesediaan untuk menerima Kristus sebagai Juru Selamat. Mahal, karena Kristus harus menderita hingga mati untuk itu (1 Petrus 1:19). Adakah barang di dunia ini yang sangat mahal tetapi dapat diperoleh secara gratis, selain keselamatan yang diberikan Kristus? Karena itu, kita yang sudah menerimanya mempunyai kewajiban untuk menghargai dan mengerjakan keselamatan tersebut (Filipi 2:12) dengan meneruskan cawan kasih tersebut kepada setiap orang. Selamat Memasuki Masa Paska!

Melayani?! Nanti Dulu Ah…

Jika ditanya, apakah seseorang mencintai Tuhan, maka biasanya tanpa ragu dia akan menjawab “Tentu saja”. Bahkan mungkin jawabannya dengan segenap hati dan jiwa namun ketika ditanya, mana buktinya, orang biasanya akan diam, tergaga-gagap dan hanya mampu bilang, hmm…,anu…Betapa kecewa diri kita, jika pasangan kita mengobral kata-kata cinta, sementara dia tidak mampu membuktikannya.
Alkitab menjelaskan, salah satu bukti nyata kedewasaan spiritual kita adalah perbuatan dan tindakan kita. Hidup kristiani yang berkemenangan tidak semata-mata dibuktikan oleh seberapa banyak kita hafal ayat-ayat alkitab, oleh seberapa rajin kita ke gereja. Itu semua penting! Tapi tidak cukup. Kalau sekedar itu yang dijadikan ukuran, kita tidak terlalu berbeda dengan orang Farisi. Hidup yang berkemenangan, iman yang dewasa, sesungguhnya akan kelihatan dalam tindakan. “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa tindakan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanmu dari perbuatan-perbuatan” (Yak. 2:18)
Perbuatan seperti apa yang menjadi bukti bahwa seseorang beriman? Perbuatan yang melayani, bersedia memberi, seperti apa yang Tuhan Yesus demonstrasikan sendiri. Dengan indah Markus menggambarkan: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk.10:45).
Kenapa Tuhan rela melayani, kenapa Tuhan mau hadir ke bumi, meninggalkan kemuliaan sorgawi, berkorban hingga mati (Flp.2:7)? Hanya satu jawabannya, karena Tuhan cinta, sangat amat cinta kepada dunia, kepada saya dan sudara, kepada semua umat manusia (Yoh.3:16).
Cinta yang seperti itu, memang kelihatan naif buat orang modern. Cinta yang seperti itu dilihat aneh oleh manusia yang egois. Ini dibuktikan oleh suara yang kadang kita jumpai di gereja. Untuk apa melayani di gereja? Apa untungnya buat saya? Bukankah ada kerjaan yang jauh lebih penting ketimbang pelayanan? Atau ada suara yang seringkali berkilah saat diminta melayani: ”Ah…, nanti dulu ah…Saya sibuk”
Mendengar hal di atas, kita hanya bisa diam, sedih, kecewa, prihatin berbaur dalam hati. Apakah virus egoisme diri sudah demikian jauh menyerang kehidupan warga gereja, sehingga untuk membalas cinta Tuhan saja kita sudah tidak bersedia? Apakah pengorbanan Kristus buat jemaat-Nya sama sekali tidak berarti? Tuhan pernah berkata kalau tuaian banyak tapi pekerja sedikit. Marilah kita melihat diri kita. Layanilah Tuhan. Semoga kita, sebagai pribadi dan keluarga dapat senantiasa mendemonstrasikan kasih Kristus dengan melayani Tuhan dan sesama, dimana kita berada.

Menjadi “Spons” : Pengharapan Kekristenan di Tengah Suramnya Kemajemukan

Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit;
kami habis akal, namun tidak putus asa;
kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian,
kami dihempaskan,namun tidak binasa. (2 Korintus 4:8-9)

Suka tak suka, kita orang Kristen adalah minoritas di negeri ini. Dimana-mana di dunia ini kaum minoritas sedikit-banyak ditekan dan ditindas serta acap menjadi korban. Negeri kepulauan yang sangat majemuk bernama Indonesia ini sedang mengalami krisis yang sangat parah di segala bidang (energi, pangan, lingkungan, politik, moral dan terutama hukum). Fakta juga mengatakan, walaupun ada yang kaya-raya dan terlalu mencolok, sebagian besar orang Kristen yang merupakan minoritas itu sebenarnya hidup miskin, kurang berpendidikan dan tercerai-berai. Komplitlah kelemahan itu. Sudah minoritas miskin pula. Sudah miskin kurang berpendidikan pula. Sudah tertinggal, masih saling berkelahi pula. Lantas?
Kenyataan hidup sebagai minoritas di sebuah negeri yang bukan saja belum maju namun terancam perpecahan dan kebangkrutan seharusnya mendorong kita orang kristen benar-benar kritis dan kreatif. Kita perlu menghayati suatu teologi atau konsepsi iman kristen yang sungguh-sungguh dapat membantu kita untuk survive dan eksis di negeri ini. Syukur-syukur dapat menyumbang bagi pemulihan dan perbaikannya.
Bagaimana jika memahami dan menghayati kekristenan kita di Indonesia sebagai “spons” atau karet busa yang biasa digunakan untuk mencuci peralatan rumah tangga?
Pertama, spons itu simpel, sederhana, dan tak berwarna tetapi sangat berguna. Tidak terlalu diperhatikan, namun selalu dicari jika tak kelihatan. Seperti itulah seharusnya kekristenan di Indonesia: tidak pernah ditempatkan di depan, namun sangat fungsional.
Kedua, spons itu sangat adaptif, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dapat menyerap apapun namun tidak larut dan tak bisa tenggelam. Alangkah hebatnya jika orang Kristen dapat beradaptasi dengan lingkungan, menyerap berbagai budaya, namun tidak kehilangan integritas dan identitasnya yang simpel itu, dan tidak tenggelam di pusaran ekonomi atau politik yang bagaimanapun.
Ketiga, spons itu benar-benar kenyal dan tahan banting. Ditekuk, diremas, diinjak, dan dihempaskan spons itu tetap kembali ke bentuk aslinya. Bukankah orang Kristen harus seperti itu?
Pernyataan Rasul Paulus di atas dapat membantu kita mengembangkan teologi atau konsepsi iman dan kehidupan kekristenan bagaikan spons atau karet busa itu. Sama seperti Rasul Paulus, biarpun dalam segala hal kita dijepit namun tetap tak terjepit, dihempaskan namun tak binasa, dijatuhkan namun selalu tegak kembali. Kehabisan energi, pikiran dan dana, namun tidak kunjung putus asa. Itu bukan kata-kata belaka. Iman kepada Kristus yang tersalib dan bangkit memungkinkan kita melakukan hal itu. Dia yang mati dan hidup kembali itu menjadi daya vitalitas yang sungguh-sungguh luar biasa bagi umatNya.
Jika lukisan spons kurang dipandang elok, maka dalam refleksi ini ditawarkan analogi yang lain, bagaimana kalau kita menghayati diri, persekutuan, gereja dan kekristenan kita seperti rumput saja? Bukankah rumput tetap hidup walau selalu diinjak dan dipangkas? Dibabat semakin merambat? Rumput walaupun merendah di tanah juga berguna bagi banyak orang. Amin.


Nb: Thanks to Pdt. Daniel Harahap

Bola, Pemain, dan Komentator

... untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan (Efesus 4:11-12)

Minggu malam beberapa waktu lalu adalah Final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Malam itu, aku (beramai-ramai tepatnya) sedang asyik nonton pertandingan sepakbola. Tim favoritku sedang berlaga! Pasti seru pertandingan itu! Seperti biasa sebuah siaran langsung pertandingan sepak bola selalu dilengkapi dengan komentator pertandingan. Diawal pertandingan menurut pendapatku apa yang dikatakan komentator pertandingan itu sangatlah luar biasa. Awal pertandingan pun nampaknya sesuai dengan apa yang dikatakan oleh komentator.
Sampai pada suatu adegan dimana seorang penyerang mendapat umpan dari teman setimnya. Dengan manis dia menghentikan bola yang melaju deras itu, menjaganya dari sergapan lawan. Lalu dengan cantik ia membelokkan bola sekaligus mengecoh penjaga gawang. Ia hanya berhadapan dengan gawang sekitar 12 x 2.25 meter yang kosong melompong setelah ditinggal tuannya.
Penonton sudah bersorak, "Gol!!" Waktu seakan berhenti sejenak. Penyerang itu menendangnya. Dug! Jantungku seakan berdetak lebih keras saat menyadari tendangannya hanya melambung tipis. Sontak aku berteriak, "Payah!!! Begitu saja tidak Gol."
Selepas berujar demikian, aku teringat memori 12 tahun lalu saat penyelenggaraan Piala Dunia 1998 yang mempertemukan Brasil dan Perancis di Final, kurang lebih mirip cara berteriakku tadi, ketika saat itu Ronaldo gagal menyelesaikan peluang emasnya di mulut gawang.
Kakekku yang mendengar saat itu hanya tersenyum. Ia berkata, "Kamu tidak merasakan apa yang penyerang itu rasakan. Kamu tidak melihat apa yang ia lihat dan kamu tidak mendengar apa yang ia dengar".

"Mungkin saja gawang begitu besarnya yang kau lihat hanya sebesar rumah semut di matanya. Mungkin saja suara pendukungnya terdengar seperti dentingan jarum jatuh saat kau sedang tenggelam dalam keseriusanmu. Dan sesungguhnya, kita tidak berhak mengadili atau menghakimi sesuatu apabila kita tidak terlibat di dalamnya. Karena kita tidak tau apa yang dirasakan oleh para pemain."

Saat jeda pertandingan, komentator ramai menjelaskan analisanya tentang bagaimana gol itu tidak jadi lahir. Rata-rata komentar mereka terdengar lebih pintar daripada sang pemain atau bahkan dari sang pelatih. Aku mengiyakan apa yang dikatakan kakek silam, "Komentar apapun tidak akan merubah hasil pertandingan. Karena komentator itu tidak terlibat di dalamnya. Ia tidak akan merasakan suasana pertandingan yang sesungguhnya. Lagipula, apa pemain mendengarkan komentarnya? Selagi para komentator ini mengobral suaranya di sini, pemain mendengarkan instruksi pelatihnya. Yang dapat merubah hasil pertandingan hanyalah para pemain."

Kemudian di telingaku terngiang kalimat yang aku dengar sebelumnya. Dan kali ini kubisikkan pelan-pelan kepada komentator itu, meskipun aku sangat yakin ia tidak akan mendengar, "Dan sesungguhnya, kita tidak berhak mengadili atau menghakimi sesuatu apabila kita tidak terlibat di dalamnya. Karena kita tidak tau apa yang dirasakan oleh para pemain".
Dalam dunia pelayanan di gereja, seringkali kita hanya mau menjadi penonton daripada pemain. Omong-omong mengenai penonton, ada sesuatu yang unik sehubungan dengan penonton khususnya penonton olah raga sepak bola. Ada sebagian penonton yang sangat fanatik dengan kesebelasan favoritnya. Mereka mengoleksi atribut-atribut kesebelasan yang mereka dukung dan melakukan apa saja untuk memberi semangat agar kesebelasan dukungan mereka menang. Padahal mereka tidak mendapat keuntungan sedikit pun kalau kesebelasan favorit mereka menang. Yang unik lagi sehubungan dengan penonton sepak bola ialah komentar-komentar penonton yang "membodoh-bodohkan" pemain yang gagal menyarangkan bola ke gawang lawan, padahal penonton itu sendiri tidak becus menendang bola. Memang penonton paling jago berkomentar!
Dalam gereja banyak anggota jemaat yang memilih menjadi penonton. Tapi bukan penonton sepak bola! Tapi penonton pekerjaan pelayanan. Menurut hasil survey di kebanyakan gereja, hanya 10 persen dari seluruh anggota gereja yang terlibat dalam pelayanan. Padahal Firman Tuhan dalam Efesus 4:12 mengatakan bahwa semua orang Kristen harus menjadi pemain-pemain dalam pekerjaan pelayanan. Dengan menjadi pelayan Tuhan kita mengucap syukur atas anugerah keselamatan yang kita terima dan kita akan mengalami sukacita tersendiri dalam melayani Tuhan juga kita akan mendapat upah dari pelayanan kita.

Maka, jadilah pemain, tidak hanya menonton dalam pekerjaan Tuhan!

Tuesday, March 1, 2011

Menelusuri Simbol-Simbol Allah Yang Feminin


Kaum feminis telah mulai memperjuangkan penggunaan gambaran Allah yang bersifat perempuan. Mereka telah berbicara tentang Allah sebagai Ibu sama seperti Bapa dan menggunakan kata ganti she samahalnya dengan he. Berbagai usulan ini kadang-kadang telah menyinggung perasaan dan mengundang rekasi negatif yang kuat. Banyak dari isu itu tidak dipahami dengan baik, bahkan terkadang terkesan membingungkan, namun meskipun ada kebingungan, penjelasan tetap dimungkinkan. Mengutip apa yang dikatakan oleh Paul Tillich dalam bukunya Systematic Theology: “Bila Allah disimbolkan sebagai ‘Bapa’, Ia dibawa turun ke dalam hubungan manusia antara bapa dan anak. Namun, pada saat yang sama hubungan manusiawi ini dikuduskan ke dalam suatu pola hubungan yang ilahi-manusia. Bila ‘Bapa’ dipakai sebagai suatu simbol untuk Allah, kebapaan dilihat dalam kedalaman theonomous-nya dan sakramentalnya.”
Oleh karena itu, dengan melukiskan Allah dalam gambaran laki-laki. Kitab Suci dan tradisi tampaknya meninggikan hal yang berkaitan dengan pria. Pengilahian seperti itu bagi banyak kaum feminis kelihatannya menjadi suatu bentuk penyembahan berhala. Rosemary Ruether dalam buku Sexism and God-Talk menulis, “ Penyembahan berhala itulah yang membuat laki-laki lebih ‘menyerupai Allah’ daripada perempuan. Menggunakan gambaran dan nama Yang Kudus untuk membenarkan dominasi patriakal merupakan penghujatan.”
Beberapa orang feminis menyimpulkan bahwa teisme tradisional itu sedemikian patriakal sehi ngga harus dibuang. Dengan berbicara atak kelompok feminis, Naomi Goldenberg dalam buku Changing of The Gods menulis, “Suatu kebudayaan yang mempertahankan gambaran maskulin untuk keilahiannya yang tertinggi tak dapat memperkenan para perempuannya mengalami dirinya sendiri sebagai yang sederajat dengan kaum laki-laki.”
Reaksi seperti ini mendorong munculnya beberapa usulan. Beberapa orang tertarik pada spiritualitas Amerika Pribumi; dalam spiritualitas ini karakterisasi dari Roh Agung dan manifestasinya dalam keberadaan roh laki-laki dan perempuan tampak lebih egalitarian. Ada sebagian juga yang mencoba berpaling pada politeisme, dengan alasan-alasan yang sama. Bukan hanya karena para dewa dan dewi memiliki derajat yang sama, melainkan juga kebajikan-kebajikan yang dicontohkan oleh pelbagai figur ilahi (cinta, keadilan, kebijaksanaan, dan lain-lain) dipandang karena nilai intrinsiknya dan tidak ditempatkan dalam suatu hierarki.
Yang lain lagi, tanggapan yang cukup berbeda menuntut pemikiran ulang makna dari konsep Kristen tentang Allah yang maskulin itu. Dapatkah Allah secara sederajat dijelaskan sebagai perempuan seperti sebagai laki-laki, sebagai Ibu seperti Bapa? Bebeberapa tokoh feminis semisal: Anne Carr, Sallie McFague, Rosemary Radford Ruether, Elizabeth Schussler Fiorenza, dan Elizabeth A. Jhonson mendalami hal ini dan secara bijaksana memaparkan usulan-usulanya dengan baik.
Perlu disadari, kesulitan kita untuk mendapatkan suatu visi yang jelas tentang isu-isu itu adalah konsep kita yang kabur tentang gender. Salah satu teori beranggapan bahwa konsep ini terutama didasarkan atas biologi reproduktif, bahwa sitem-sistem reproduksi yang berbeda dari laki-laki dan perempuan membentuk pemikiran dan perasaan kita tentang diri kita sendiri. Teori yang lain beranggapan bahwa definisi tentang gender bersemi terutama dari ketidaksadaran, dan bahwa ketidaksadaran itu pada akhirnya menentukan cara-cara yang didalamnya pola pemikiran kita dan ekspresi kultural kita ditata. Teori lain beranggapan bahwa gender merupakan suatu bangunan sosial. Karena laki-laki dan perempuan dipandang secara berbeda dalam kebudayan yang berbeda.
Oleh karena itu, dalam ulasan berikut kita akan merefleksikan kemungkinan untuk menggunakan gambaran perempuan untuk Allah, tanpa masuk secara khsus dalam perdebatan sosiologis mengenai konsep gender. Dalam hal ini, kita akan memperhatikan pemikiran Elizabeth Jhonson dalam bukunya, She Who Is, sebab sumbangan pemikirannya mengenai hal-hal yang kita gumuli di atas, menjadi pelopor untuk karya-karya feminis lainnya.
Langkah pertama adalah melandaskan bahwa bahasa inklusif tentang Allah dalam suatu bahasa doktrinal yang kokoh. Pernyataaan dalam dalam Kitab Kejadian bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut gambar Allah (1:27) telah tertanam secara mendalam dalam tradisi teologis. Jika demikian halnya, praanggapan awal semestinya adalah bahwa metafora untuk Allah dapat secara wajar ditarik dari kehidupan dan pengalaman perempuan sama halnya laki-laki.
Dalam beberapa hal, Kitab Suci benar-benar melakukan itu. Dalam Kitab Yesaya, Allah mempersamakan diriNya dengan seorang ibu yang menyusui bayinya dan memelihara Israel bagaikan seorang bayi (Yes 49:15; 66:13). Memang gambaran tentang ibu terkadang amat hidup.
“Aku membisu sejak dahulu kala, Aku berdiam diri, aku menahan hati-Ku; sekarang Aku mau mengerang seperti perempuan yang melahirkan, Aku mau mengah-mengah dan megap-megap.” (Yes 42:14)
Beberapa ahli sejarah Alkitab menemukan gambaran Allah sebagai ibu dalam Kitab Yeremia. Ketika Allah dikatakan “memperlihatkan belas kasihan” atas Israel, mereka berpendapat bahwa suatu penerjemahan yang lebih baik adalah: “Aku akan benar-benar memperlihatkan kasih sayang keibuan atasnya” (Yer 31:20). Contoh tunggal Perjanjian Baru ada dalam Ratapan Yesus atas Yerusalem: “Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau!” (Mat 22:37; Luk 13:34).
Sejalan dengan teks-teks alkitabiah yang tersebar ini juga ada suatu tradisi Abad Pertengahan yang berbicara tentang Yesus sebagai ibu. Dengan menggunakan kata-kata Yesus sendiri, Anselmus berdoa, “Namun Engkau juga, Yesus yang baik, bukankah Engkaupun seorang ibu? Bukankah Engkau seorang ibu yang seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya?” (Patrologia Latina; Jesus as Mother)
Julian dari Norwich membandingkan makanan Ekaristi dengan seorang ibu yang memberi makan anaknya, katanya: “ Seorang ibu dapat memberi anaknya menyusu air susunya, tetapi Ibu Yesus yang mulia dapat memberi kita makan dengan diriNya sendiri, dan melakukannya dengan cara paling halus dan paling lembut, dengan skaramen yang diberkati, yakni makanan yang berharga dari kehidupan yang benar.”
Bernard dari Clairvaux, seorang kepala biarawan Cistercian sering menjelaskan Yesus sebagai ibu. “Ia akan menjadi ibumu, dan kamu akan menjadi anakNya,” demikian ia menulis dalam salah satu suratnya.
Dapat dikemukakan bahwa contoh-contoh dari Kitab Suci dan dari spiritualitas Abad Pertengahan ini menaruh perhatian hanya pada tindakan Allah dan tidak menyantuh secara mendalam hakikat ilahi itu. Jadi, mereka hanya mengemukakan sesuatu secara relatif tidak kontroversial, bahwa Allah melakukan beberapa hal yang dilakukan perempuan, tetapi bukan bahwa keberadaan Allah secara mendalam merefleksikan yang feminin, seseutu yang ingin ditegaskan bahwa Allah sebetulnya tidak mengilahikan patriarki dan merendahkan perempuan. Lalu apakah dalam struktur sosial kita, sebagai gambar Allah, kita masih hidup dan menghidupi ketidaksetaraan gender dengan mengsubordinasi perempuan? Padahal Allah sendiri tidak!