GKI Harapan Jaya

Wednesday, June 23, 2010

Not Without My Neighbour: Issues in Interfaith Relations (Wesley Ariarajah)

Pendahuluan: Ariarajah dalam Dialog
Wesley Ariarajah merupakan teolog dari Sri Lanka, sehiingga dalam melakukan analisis seputar dialog antar-agama, ia banyak berangkat dari pendekatan dan konteksnya sebagai seorang Sri Lanka. Sebagai seorang yang berkecimpung dalam Dewan Gereja Dunia (DGD), maka Ariarajah juga banyak berpartisipasi seputar dialog antar-agama di lingkungan DGD. Oleh karena itu penting untuk mengetahui lima fase dialog yang disebutkannya sebeleum melangkah pada isu-isu dalam relasi antar iman.
Lima fase, lapisan, atau dimensi itu adalah: Fase pertama lebih banyak berbicara tentang konsep dialog itu sendiri. Karena hal ini menyangkut masalah hakikat hubungan dengan sesama yang beragama lain, maka terjadi perdebatan panjang tentang apa itu dialog dan bukan dialog. Perdebatan itu memunculkan beberapa pertanyaan tentang iman kita sendiri beserta formulasinya. Apa arti “misi” dalam hubungan yang baru ini?, sehingga dalam fase kedua ini kita diajak meninjau kembali iman kita sendiri untuk mencari dasar-dasar hubungan baru itu sekaligus menegaskan kembali iman kita.
Fase ketiga adalah hubungan-hubungan institusi yang baru. DGD melalui program dialognya mencoba memungkinkan pertemuan baru dengan dunia Yahudi, Islam, Budha, dan berbagai mitra dalam agama lainnya, untuk kebebasan agama dan partisipasi aktif dalam berbagai peristiwa antar-agama internasional. Selain itu, hal ini juga merupakan usaha untuk mempromosikan dialog di tingkat lokal. Namun untuk melakukan promosi pada aras lokal, ada beberapa masalah pastoral yang perlu diperhatikan. “Apakah dibenarkan melaksanakan kebaktian antar-iman? Bagaimana caranya?” “bagaimana cara menangani pernikahan lintas agama? Apakah ini berarti kesempatan untuk berdialog seumur hidup?” dan masih banyak lainnya. Masalah-masalah ini memang sulit, namun relevan, langsung dan memerlukan perhatian, inilah fase keempat usaha berdialog. Fase terakhir adalah apa yang disebut “masa depan agama dan agama-agama dalam globalisasi”. Apa dampak dari meningkatnya “budaya” sekuler, teknologi, dan global terhadap agama dan kehidupan beragama?
Berangkat dari penjabaran kelima fase tersebut, maka di dalam paper ini akan dijelaskankan dua isu pertama yang disebutkan oleh Ariarajah dalam buku Not Without My Neighbour, yakni Dialog dan Konflik serta Dialog dan Spiritualitas.

Dialog dan Konflik: Adakah Batas-batas dalam Dialog
Ada tiga peristiwa konflik yang diangkat oleh Ariarajah dalam menggambarkan kebutuhan dialog antar-agama. Pertama di Srilanka, ketika masa kolonial banyak penduduk India yang beragama Hindu dan Islam dibawa ke pulau Fiji, dimana penduduk aslinya beragama Kristen, untuk bekerja di perkebunan tebu. Lama kemudian penduduk India menjadi hampir setengah penduduk kepulauan Fiji yang hanya sebagai pemilik tanah. Penduduk India itu semakin berkembang dan menjadi kelompok yang berpengaruh di berbagai bidang, sehingga memicu ketegangan antar etnis dan konflik. Pihak Kristen yang “mayoritas” mencoba melakukan konspirasi dengan mengganggu ketenteraman hidup umat beragama, menghalangi pembangunan rumah ibadah lain, atau menolak pengajaran agama lain di sekolah, atau membantu dan mendorong dibuatnya hukum yang mendiskriminasi agama “minoritas”.
Kedua di Nigeria, konflik yang terjadi menjadi sangat parah ketika pemerintah kolonial membentuk negara Nigeria dan mempersatukan wilayah Utara yang 90% penduduknya Islam yang hidup di bawah hukum syariat dengan wilayah Selatan yang 80% penduduknya Kristen. Yang menyedihkan adalah Nigeria seperti dua negara yang dinikahkan bukan hanya di luar kemauan mereka, melainkan juga untuk hubungan yang menguntungkan bagi kolonial, yang tidak berguna bagi keduanya. Hal ini bukan untuk memberikan catatan buruk penjajah, namun latar belakang sejarah penting untuk memahami setiap situasi khusus.
Ketiga mengenai Yerusalem, kota ini memiliki arti religius penting bagi umat Yahudi, Kristen, dan Islam. Untuk itu DGD mencoba mempertemukan dan memberikan kesempatan bagi umat ketiga agama tersebut untuk saling mendengarkan tentang “pentingnya Yerusalem secara spiritual” bagi masing-masing tradisi agama. Pertemuan itu dilaksanakan dengan kerjasama antara Dewan Dialog Antar-agama Kepausan, Komisi Takhta Suci untuk Hubungan-hubungan Agama degan Yahudi, dan Federasi Gereja Lutheran se-Dunia. Hasilnya adalah pernyataan bersama yang setiap perwakilan menyatakan pandangannya dengan memakai pronominal “kami”, sehingga keberadaan setiap utusan dapat menyatakan pendapatnya tanpa mendiskreditkan pihak yang lain.
Dari ketiga peristiwa di atas –dan berbagai peristiwa di tempat lain- memang dibutuhkan sebuah dialog sebagai sarana untuk mencari titik temu, namun bukan berarti melalui dialog masalah sudah pasti dapat terselesaikan. Ariarajah mengatakan, “Dialog bukan layanan ambulans, tetapi suatu suatu program kesehatan masyarakat”. Selain itu usaha melakukan dialog atau hubungan antar-agama, seharusnya sudah dilakukan ketika daerah yang berkonflik belum mengalami konflik. Karena dialog yang dilakukan sesudah konflik, walaupun ada nilainya merupakan suatu usaha yang penuh frustrasi, karena masyarakat sudah terkotak-kotak dan tidak yakin siapa yang bisa dipercaya, sehingga solidaritas lintas umat disalahartikan sebagai penghianatan.
Setiap agama selain memberikan landasan spiritual terhadap kehidupan, juga merupakan realitas sosiologis yang telah digunakan dan diperlakukan secara kejam oleh para penguasa, seperti ketika masa kolonialisme. Untuk itu dibutuhkan analisis yang teliti dan sikap yang arif dalam melakukan dialog dalam konflik, karena konflik disebabkan pertautan antara faktor-faktor historis, etnis, suku, ras, ekonomi, dan politik
Dialog bukan sekadar usaha untuk menyelesaikan konflik yang ada, melainkan usaha untuk membangun suatu “masyarakat yang bergaul penuh kasih dan bernalar” melintasi berbagai halangan ras, etnis dan agama, umat belajar memahami perbedaan-perbedaan yang ada bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesuatu yang “wajar” dan “normal”. Dengan demikian, dialog adalah suatu usaha membantu umat untuk memahami dan menerima yang lain dalam “keberlainan” mereka. Dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada “di rumah” dengan kemajemukan, membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman dan mengusahakan agar hubungan itu dapat mempersatukan mereka saat seluruh umat terancam oleh kekuatan-kekuatan yang memisahkan dan anarkis.
Apa yang penting saat ini adalah mengetahui, mengakui dan menerima bahwa ada perbedaan dasar di mana masyarakat dibangun dan tidak ada satu pun yang telah sanggup menghasilkan masyarakat ideal. Untuk itu dibutuhkan sebuah dialog yang mencoba menciptakan suasana saling percaya, kesediaan untuk terbuka, mempertimbangkan kedudukan pihak lain, melakukan kritik terhadap diri sendiri dan kritik membangun terhadap pihak lain, mencari jalan untuk saling belajar dari yang lain dan mengakui pentingnya hidup kreatif di dalam perbedaan.
Kemudian, apakah ada batas-batas dalam dialog? Kapan dialog harus diakhiri dan langsung berhadapan muka? Dialog bukan berarti bahwa umat atau individu menghentikan usaha hukumnya untuk mencari keadilan saat hak mereka dilanggar pihak lain atau tidak boleh melakukan protes terhadap pihak yang melakukan kekerasan. Dialog juga bukan imbauan untuk menderita demi perdamaian dan kerukunan.
Dengan kata lain, jika kita benar-benar menghendaki keadilian dan perdamaian, serta yakin akan perlunya berjuang demi rekonsiliasi umat manusia, tidak ada jalan lain kecuali dialog. Akan tetapi dialog juga menghadapi tantangan. Kebanyakan kritik terhadap dialog adalah “romantisisme dialog” ketika semua hal akan terselesaikan seandainya semua pihak yang berkepentingan duduk bersama dan berdialog”.



Dialog dan Spiritualitas: Dapatkah Kita Berdoa Bersama?
Isu kedua yang diangakat oleh Ariarajah adalah mengenai doa dan spiritualitas. Sebelumnya Ariarajah berangkat dari pengalamannya di Sri Lanka mengenai hubungan antara Hindu dan Kristen. Pertanyaan yang mendasar bagi Ariarajah mengenai isu ini adalah: “Dapatkah orang Kristen berbakti dan berdoa bersama dengan tradisi iman lain?” Ada lima hal yang dapat dijadikan alasan mengenai keraguan tersebut, yakni: teologis; alkitabiah; liturgis; kultural; dan psikologis.
Alasan teologis mengenai pertanyaan mengapa seorang Kristen segan berbakti bersama seorang dari agama lain adalah karena adanya penilaian negatif terhadap berbagai tradisi agama lain sebagai usaha manusia menemukan Allah. Juga munculnya anggapan bahwa, tradisi-tradisi lain di luar kristiani tidak didasarkan atas penyataan Allah, tidak tertuju pada Allah yang sejati. Akibat dari penilaian negatif tersebut adalah banyak masalah dalam pemahaman kita tentang Allah, hakikat dan anugerah Allah. Penilaian terhadap iman semacam itu langsung meruapakan keraguan terhadap berbagai pendapat di Alkitab yang mengungkapkan tentang persekutuan universal antara Allah dan ciptaan-Nya. Berdoa bersama yang lain dianggap merupakan sebuah wujud kompromi teologis yang merusak seluruh rasional iman Kristen, pemberitaannya, dan misinya.
Alasan kedua, sebagai keberatan yang berikut adalah keberatan alkitabiah, yang paling sering diargumenkan adalah teks Kel 20:4 yang menyebutkan pelarangan kepada umat Allah untuk menyembah allah lain. Hal ini mencakup berapa konsep yang lebih mendalam seperti “perjanjian”, “pemilihan”, “umat Allah”, “penyataan”, “mediator tunggal”, “tidak ada nama lain”, dan seterusnya. Untuk memperkuatnya dipakai pula pandangan Paulus (bdk. 2 Kor 6:14-15) mengenai orang-orang percaya (Kristus) dan orang-orang tak percaya (Belial).
Alasan liturgis merupakan sebuah alasan yang paling langsung dialami ketika akan dilaksanakan peribadahan lintas agama. Bentuk ibadah dalam berbagai agama memang sangat berbeda dan tidak mudah dipahami atau diikuti oleh orang luar.
Alasan kultural mirip dengan alasan liturgis. Persoalan mendasarnya adalah dalam aspek kultural ini adalah: ada semacam sikap berdoa yang “unik” dalam setiap komunitas agama, dan itu tidaklah dapat ditiru atau pun dibagi dengan mereka yang dari luar lingkungan tersebut.
Alasan berikutnya adalah halangan psikologis ketika ingin melakukan ibadah lintas agama. Pertama, bahwa tradisi agama yang dimiliki ini sudah “ditinggalkan” (diwariskan secara turun temurun sebagai “iman yang benar”) oleh nenek moyang hasil dari pemberitaan para misionaris Kristen. Kedua, munculnya berbagai ketakutan dan kekuatiran akan berkompromi, sinkretisme dan penipisan iman Kristen. Dan ketiga adalah masalah identitas, hal yang ingin dijelaskan disini adalah bahwa walaupun setiap agama –Ariarajah mengambil contoh agama Hindu, Islam dan Kristen- berpenampilan sama dan hidup dengan gaya yang sama dalam setiap hari dalam masyarakat, namun tempat-tempat ibadah dan kehidupan ibadah mereka memberikan mereka identitas khusus sebagai individu dan komunitas.
Akan tetapi, kelima alasan yang telah disebutkan di atas mulai mengalami pergeseran seiring dengan meningkatnya hubungan antar-agama. Minat akan ini, khususnya dalam generasi Kristen muda, disebut sebagai “pencari kepuasan spiritual” (spiritual seekers) dengan melakukan berbagai ritus khas agama lain dalam rangka suplemen terhadap iman Kristen mereka. Dewan Gereja Dunia (DGD) mulai mengakomodir fenomena tersebut, salah satunya dalam sebuah pertemuan yang disponsori Kantor Hubungan Antar-agama DGD dan Dewan Dialog Antar-agama Vatikan, Thomas Thangaraj menjelaskan “lima skenario” yang terkandung dalam ungkapan “doa antar agama” yang dapat dipahami umat Kristen:
Pertama, kehadiran umat Kristen dalam ibadah agama lain sebagai satu ukuran partisipasi dalam doa antar-agama. Kehadiran dianggap sebagai sebuah keterlibatan. Kedua, pemakaian berbagai ritual, gerakan, bacaan, dan doa dari tradisi agama-agama lain. Ketiga, peran Kristen dalam sebuah kelompok multi-iman, dimana wakil Kristen mengambil waktu untuk berdoa dan diminta untuk berdoa dalam sebuah acara. Keempat, berdoa dengan memerhatikan isinya yang bersifat inklusif maupun sensitif bagi semua yang hadir. Kelima, dengan tidak menggunakan model suksesif, tetapi dengan lebih menggunakan model “doa bersama”. Usaha yang kelima ini sendiri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan memasukan berbagai unsur dari berbagai tradisi dan menyiapkan naskah atau teks yang berisi doa dan pujian yang dapat ‘diterima’ semua pihak yang ikut serta dalam ibadah itu.
Kesemua hal ini tidaklah lain berangkat dari kenyataan realitas relasi antar-agama dewasa ini. Saat berbagai umat hidup berdampaingan dan menghadapi masalah yang sama, berbagi visi yang sama tentang dunia yang adil dan damai, mereka juga harus menyatukan semua unsur spiritual mereka untuk menghadapi semuanya ini.
Namun penting untuk diketahui sebagai catatan, bahwa Ariarajah dalam mengupas isu mengenai dialog dan spiritual, menjelaskan pula akan istilah “doa” dan “ibadah”. Doa merupakan sebuah kegiatan universal yang dilakukan oleh selutuh manusia. Hal ini didorong oleh adanya misteri yang meliputi manusia akan adanya tansendensi diri. Dengan demikian, doa dalam konteks ini meruapakan sebuah kegiatan berkomunikasi dengan yang sakral, suci, Yang Lain, yang biasa disebut sebagai Allah. Oleh karena itu, jika rasa berdoa (sense of prayer) itu mati, maka manusia akan menjadi bengis dan mendatangkan kesengsaraan yang luar biasa bagi manusia lain. Hal inilah yang membedakan dengan ibadah. Ibadah lebih merupakan sebuah “ruang pribadi” dari satu agama yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain. Sehingga kita sebagai umat antar-agama dapat bertemu di dalam ranah “doa” bukan “ibadah”.
Dialog dalam menerapkan spiritual agama lain, kembali menjadi isu yang mencuat dalam DGD. Pada akhir tahun 1987 misalnya, dicatat beberapa alasan diterapkannya hal tersebut, diantaranya adalah: terdorong karena hidup berdampingan dengan umat beragama lain; terkesan dengan kehidupan spiritual yang begitu otentik dari umat beragama lain; tertarik karena budaya dan kedalaman praktik spiritual dari agama-agama lain. Akan hal ini DGD mengambil tiga sikap: (1) Dialog merupakan hal yang penting dalam usaha mengenal dan memahami umat agama lain. (2) Pentingnya memperdalam iman Kristen dalam perjalanan yang telah membawa ke dalam kehidupan spiritual dan ibadah dari iman agama-agama lain. (3) Karya Roh Kudus melibatkan Kristen dan umat beragama lain untuk bergumul dengan masalah-masalah dunia.
Menurut Ariarajah lebih lanjut mengenai dialog dan spritual adalah tinggal bagaimana kini kita, sebagai umat beragama menatapnya ke masa depan. Dialog seputar isu ini bagi Ariarajah –mengutip pertemuan di Kyoto- bukanlah sebuah sinkretisme (kekuatiran akan ini sempat muncul), justru sebaliknya dialog ini akan memampukan umat beragama memperdalam inti iman mereka, dan membantu mereka menemukan berbagai dimensi baru dan kehidupan spiritual.
Sehingga hal ini dapat direlevansikan dalam membicarakan tentang Injil dan kultur (kebudayaan). Bagaimanapun Injil adalah mengenai inkarnasi, maka Injil hanya dapat hidup dalam sebuah ungkapan kultur, dan pertemuan apa pun yang meruapakan tantangannya bisa terjadi hanya di dalam kultur. Dengan demikian, jika muncul sebuah pertanyaan, “Apakah kita ddapat berdoa bersama?”, maka kita dapat bergumul untuk mencari jawabannya. Ariarajah mengutip pertemuan di Bose yang membicarakan ibadah anatar agama bahwa: saat kita mempelajari bersama lebih mendalam lagi masalah doa antar-agama, kita akan mengalaminya sebagai sebuah perjalanan, menyadari bahwa doa itu sendiri terbuka tak terbatas, suatu tanda yang menunjukan kepada misteri Allah.

Catatan Kecil
Umat dari berbagai tradisi agama haruslah semakain sadar bahwa untuk memahami dan mengayati kehidupan iman mereka dalam dunia sekarang ni, mereka harus berdialog dengan para penganut agama lain maupun dengan mereka yang mengalami “penderitaan” di bumi ini. Karena seperti yang disebutkan oleh Knitter dalam bukunya yang berjudul One Earth Many Religions (NY, 1995, 20) dialog haruslah bertanggung jawab secara global dengan berangkat dari memerhatikan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan (eco-human well-being) bahwa semua pertemuan antar-agama tidak lengkap, bahkan cenderung berbahaya jika tidak memerhatikan masalah keprihatinan terhadapa penderitaan manusia dan lingkungan di seluruh bumi.
Dua isu yang dianggkat oleh Ariarajah di atas adalah berangkat dari pertanyaan bagaimana dialog yang otentik dapat terlaksana. Bertitik tolak dari teologi Kristen, maka dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita dan dunia ini. Dialog dalam isu konflik dan spiritualitas, merupakan sebuah fenomena dialog antar-agama yang bertanggung jawab secara global berangkat dari kebutuhan suatu pengalaman.

Shokie Choe: Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan

I. Sekilas Mengenai Shoki Choe
Dr. Shoki Choe adalah teolog Taiwan dan perintis pengembangan pendidikan teologi Protestan di Asia Timur. Berbagai refleksi tentang apa yang kini menjadi terkenal yaitu, “Rumusan Pernyataan tentang Kebijakan Pola Kerja” bagi implementasi Mandat Ketiga komisi Dana Pendidikan Teologi. Ialah yang berperan membantu menyusun rumusan itu pada tahun 1972. Ia menunjukkjan bagaimana tekanan bergeser dari “pempribumian” ke “kontekstualisasi”. Pempribumian cenderung berkiblat ke masa lampau, karena menitik beratkan soal hubungan Injil dengan budaya tradisional. Pada sisi lain kontekstualisasi berkiblat ke masa depan, karena memperhatikan hubungan Injil dengan perubahan sosial dan situasi historis. Choe mengetahui akan resiko pada upaya tersebut, baginya ‘Tidak ada teologi yang tanpa warna tertentu’.

II. Maksud dan Tujuan Pendidikan Teologi
Pendidikan teologi menurut Choe, selalu terjadi sebagai interaksi antara teks dan konteks. Melalui interaksi ini terbentuklah juga corak pendidikannya. Dengan demikian, kita harus membedakan antara pendidikan teologi sebagai pendidikan teologi dan bentuk-bentuk yang dikenakannya melalui interaksi, sebab bentuk-bentuk interaksi adalah proses yang sinambung, bervariasi menurut waktu dan tempat. Hal ini haruslah diperhatikan baik oleh Pendidian Teologi maupun bagi hidup dan misi gereja dari masa ke masa.
Ecclesia semper Reformanda, berlaku pada waktu kurun kita ini. Kita dihadapkan dengan konteks yang secara mendasar sama sekali baru, dalamnya teks harus ditafsirkan ulang. Konteks menurut Choe ialah realitas-realitas historis setiap situasi, yang semuanya jadi sasaran perubahan. Pergumulan dengan Teks dari mana semua teks berasal serta kemana teks itu menunjuk, agar bisa setia pada Teks di tengah kancah konteks. Choe mentebut pergumulan dengan model demikian sebagai “pergumulan rangkap”, dengan melibatkan dengan apa yang disebut olehnya lagi: “kritik tekstulal cum kontekstual”. Dengan kesadaran kritis ini kita didorong ke arah pertanyaaan-pertanyaan dasariah tentang hakikat dan tujuan pendidikan teologi di dunia kontemporer dan revolusioner. Choe memaparkan maksud pendidikan teologi seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dilalui tiga jalan berikut:
1. Pembentukan kristiani
Hidup Kristus adalah bagi kepentingan sesama (bdk. Gal 2:20). Pendidikan teologi ditinjau dari pendidikan yaitu terlibat dalam pembentukan manusia disertai pula dengan keyakinan bahwa khidupan Yesus Kristus, yang hidup dan mati bagi sesama adalah pembentukan otentik manusia. Semua perkembangan manusia bergerak menuju pada satu titik yang berpusat pada dirinya sendiri, namun ia berhadapan dengan bahaya menjadi pemusatan pada diri sendiri. Bagaimana pendidikan teologi, selaku pembentukan kristiani, dapat mengembangkan pembentukan otentik manusia yang tidak memusatkan dirinya sendiri, melainkan bagi kepentingan sesama? Pertanyaan yang tidak kalah pentingnya menurut Choe bagi Dunia Ketiga ialah: Siapa gerangan sesama itu? Bukankah mereka adalah yang miskin dan tertindas?
2. Pembentukan teologis
Pendidikna teologi bukan semata-mata mempersiapkan mahasiswa dengan pengetahuan belaka. Ia harus juga mengembangkan daya nalar, bahwa nalar Kristus bekerja melalui mereka (bdk. Flp 2:5). Penalaranynya melibatkan praksis, bahkan praksis yang luar biasa, yaitu pengosongan diri sendiri, mengambil rupa seorang hamba, merendahkan diri sendiri dan menjadi taat sampai mati. Daya nalar demikian hanya bisa terjadi lewat pertobatan (metanoia) yang terus-menerus.
3. Pembentukan pendeta
Pelayanan hakiki dari Kristus yang dipercayakan kepada gereja adalah melalui aneka ragam karunia (charismata). Pendidikan teologi adalah aktualisasi kharisma-kharisma tersebut demi pengabdian kepada satu pelayanan hakiki Kristus itu, di dalam dan bagi dunia. Peranan dari jabatan yang dikhusukan ialah untuk dapat dengan tajam memilah-milah kharisma, serta memampukannya untuk dipakai dalam pelayanan bersama secara terpadu bagi Missio Dei, dalam konteks historisnya yang konkrit.

III. Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Reformasi Pendidikan Teologi
Pempribumian dan kontekstualisasi
Dalam sejarah pelaksanaan ketiga Mandat dalam pendidikan teologi tadi terjadi proses pempribumian. Pempribumian adalah keharusan misi manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke lahan budaya yang lain, dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar di lahan yang baru. Lalu, mengapa kita lebih menyukai istilah kontekstualisasi daripada pempribumian?
Karena pempribumian berasal dari metafora alam yaitu yang mengakar di tanah. Sehingga kata ini menimbulkan kesan menanggapi Injil menurut budaya tradisional. Bahayanya, istilah ini berkiblat ke masa lampau. Dan kata ini seolah-olah hanya berlaku untuk Asia dan Afrika saja, sehingga untuk Amerika tidak dilakukan upaya analisa kritis.
Oleh karena itu faktor yang paling penting, setelah perang terakhir adalah perubahan radikal, bukan budaya yang statis.
Dr. Kosuke Koyama, misionaris yang lama bekerja di Thailand dan kini Direktur Asosiasi Sekolah-sekolah Asia Tenggara mengungkapkan teorinya mengenai dua Thailand. Thailand Pertama yaitu sesuatu yang serba tidak berubah dan Thailand Kedua yaitu situasi yang mengalami perubahan sosial serba cepat.
Oleh karena itu digunakan kata kontekstualisasi yang mengandung kata pembribumian tetapi juga mengandung makna yang lebih dinamis, terbuka terhadap perubahan dan berkiblat pada masa depan.

Kontektualitas dan kontekstualisasi
Kita yang berada di Dunia Ketiga yang tengah dihadapkan dengan realitas historis baru, di mana konteks-konteks, lama dan baru, saling bertemu. Dan tentunya kita tidak dapat memandang secara merata semua konteks, karena tidak semua konteks strategis bagi Missio Dei dalam melaksankan tujuannya melalui sejarah. Tetapi dengan menganggap konteks itu penting, maka dalam pendidikan teologi diperlukan interdisipliner.
Moltmann pada pertemuan Dana Pendidikan Teologi tahun 1971 mengatakan bahwa ada bahaya dalam teologi akademis yang menjadi begitu terkontekstualisasi sehingga menjadi serba kolot, tetapi titik ekstrim lainnya adalah manakala teologi kontekstual menjadi teologi bunglon. Oleh karena itu kontekstualitas adalah penilaian kritis atas apa yang membuat konteks sungguh-sungguh bermakna di dalam terang Missio Dei. Penyadaran yang demikian itu hanya dapat terjadi melalui keterlibatan dan partisipasi, yang dapat memunculkan kesadaran kritis dan dapat menimbulkan juga kemampuan untuk memberi tanggapan dan kontekstualisasi. Kontekstualitas yang otentik mengarah ke kontekstualisasi. Keduanya tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Dialektika antara kontektualitas dan kontekstualisasi demikian itu menunjukkan cara berteologi yang baru. Tidak hanya mencakup kata-kata saja tetapi juga aksi. Sehingga Refleksi teologis otentik bukan saja bersifat theologia ini loco, memilah-milah kontektualitas di dalam konteks yang kongkret. Tetapi juga harus bersifat theologia viatorum, kontekstulitas selalu harus dilengkapi oleh kontektualisasi yang adalah proses yang bersinambung dan memadai Sehingga, rumusan pernyataan Kebijakan Program Kerja harus mengandung makna mengkontekstualisasikan teologi.

MIKIR DUA SAMPAI TIGA KALI DULU DONG UNTUK MEMBERI PERSEMBAHAN!!

Persembahan adalah salah satu kata yang kurang disukai oleh orang-orang pelit. Apalagi memikirkan untuk memberi gratis kepada orang lain. Di dunia ini ‘kan tidak ada lagi yang gratisan! Coba tengok untuk buang air kecil aja musti bayar, masakan mau terima sesuatu dengan gratisan tanpa bersusah payah?! Mungkin begitu yang menjadi pemikiran hampir setiap orang dalam memberi. Contohnya, berat rasanya bagi kita untuk memberi sekeping atau dua keping recehan untuk pengemis atau pengamen, kalaupun kita ngasih motivasinya supaya itu pengemis atau pengamen cepat pergi dan ‘gak dekat-dekat kita lagi. Lalu apakah perspektif dan pemahaman kita sama dalam memberikan persembahan ke gereja? Cepat-cepat cari recehan agar itu kantong persembahan cepat-cepat “pergi” dari kita. Kalau memberikan dengan jumlah yang agak besar sulit sekali...kuatir! ‘Ntar untuk makan gimana? Berkurang jatahnya...Untuk uang sekolah anak gimana? Susah lagi dapatnya...Buat keperluan rumah tangga? Buat ini dan itu? Buat disini dan disana? Wah...Tuhan juga ngerti ‘kok! Begitu pembelaan kita.
Kolom Bina kali ini ingin mengajak kita untuk “MIKIR DUA SAMPAI TIGA KALI DULU DONG UNTUK MEMBERI PERSEMBAHAN!!” Berarti setuju untuk memberi recehan?!! Mari kita membaca dulu untuk sampai pada kesimpulan akhir.
Sebenarnya, bagaimana kita bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi di dalam persembahan sejak dari Penciptaan sampai kepada Kekekalan?
Penciptaan
“Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu.” (Kej 4:4)

Meskipun kejadian ini terjadi sesudah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, tetapi apa yang dilakukan oleh Habel merupakan contoh yang diinginkan oleh Allah bagaimana persembahan yang seharusnya sejak Penciptaan. Habel mempersembahkan kepada Allah yang terbaik dari apa yang dimilikinya. Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya dan yang dipersembahkan adalah lemak-lemaknya. Kalau dibandingkan dengan Imamat 1:2-3 dan apa yang terjadi di dalam Perjanjian Baru, bisa disimpulkan bahwa Habel mempersembahkan persembahan yang berpusat kepada Kristus. Karena apa yang dipersembahkan oleh Habel adalah bayang-bayang dari pengorbanan Kristus, yang sulung dan tidak bercacat cela. Dari persembahan Habel kita bisa mempelajari bahwa persembahan bukan hanya sekedar persembahan, melainkan merupakan suatu pemberian yang terbaik dan berpusat kepada Kristus.
Apa yang berbeda dalam persembahan ketika manusia hidup dalam dosa?


Kejatuhan
“Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.” (Kej 4:3,5)

Di dalam keberdosaannya, persembahan dari Kain mewakili persembahan dari manusia yang jatuh dalam dosa. Sepertinya persembahan Kain juga seharusnya sudah sangat pantas. Ia adalah seorang petani, dan ia mempersembahkan dari hasil yang dikerjakannya. Masalahnya, Alkitab tidak menunjukkan bahwa Kain mempersembahkan yang terbaik. Selain itu, Kain tidak memikirkan apa yang menjadi keinginan dan kehendak Allah. Kain hanya mempersembahkan menurut keinginannya sendiri. Jika Kain memikirkan apa yang dikehendaki oleh Allah, maka sesudah Allah tidak mengindahkan persembahannya, seharusnya Kain menukar hasil pertaniaannya dengan anak sulung lain yang terbaik dari domba yang dimiliki oleh Habel. Pasti Habel akan memberikannya. Ternyata, Kain tidak memikirkan apa yang baik bagi Allah, ia malahan hanya memikirkan dirinya sendiri dan respon apa yang seharusnya ia terima dari persembahannya. Itu sebabnya Kain tidak mengubah persembahannya, melainkan membunuh Habel.
Persembahan Kain mewakili persembahan orang-orang yang berdosa. Tetap melakukan persembahan, tetapi persembahan itu bukanlah yang terbaik dan hanya berpusat kepada dirinya sendiri. Selama ada keuntungan bagi diri sendiri di dalam memberikan persembahan, maka persembahan akan terus diberikan.
Karena itu, Allah harus mengajar dan melatih umatNya di dalam memberikan persembahan. Di dalam Perjanjian Lama kita bisa melihat proses pelatihannya. Umat-Nya dilatih untuk mempersembahkan yang terbaik, tidak bercela dan berpusat kepada Kristus. Salah satu penekanan di dalam konteks hidup orang Israel adalah persepuluhan.
Bagaimana dengan Perjanjian Baru, adakah yang berbeda di dalam persembahan?

Penebusan
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rom 12:1)

Perjanjian Baru ternyata membicarakan persembahan dengan cara yang berbeda. Bukan lagi hanya menekankan kepada persepuluhan. Persembahan yang kudus, yang berpusat kepada Allah tetaplah sama, tetapi sekarang bukan lagi hanya sepersepuluh, melainkan seluruhnya. Mempersembahkan tubuh mewakili persembahan hidup secara keseluruhan. Tuhan Yesus memuji persembahan seorang janda miskin yang memberikan semua nafkahnya (Mar 12:43-44), sekalipun Ia juga menganjurkan memberikan persembahan seperti yang diajarkan oleh Musa (Mat 8:4). Begitu juga dengan kehidupan dari jemaat mula-mula di dalam Kis 2 dan 4, yang tidak memperhitungkan berapa persen lagi yang harus dipersembahkan, tetapi selalu saja ada yang menjual tanah atau rumah untuk mencukupkan hidup jemaat mula-mula yang berasal dari luar Yerusalem.
Perbedaannya terjadi, karena kedatangan Kristus ke dunia. Bapa sudah mempersembahkan Anak-Nya yang tunggal, yang tidak bercacat-cela untuk menebus hidup umat-Nya. Maka, umat-Nya yang sudah diselamatkan menyadari bahwa seluruh hidup dan miliknya, bukanlah miliknya sendiri, melainkan milik Bapa. Itu sebabnya, seandainya harus mempersembahkan (bahkan sampai semuanya) untuk melakukan kehendak Allah, bukanlah menjadi suatu hal yang sulit, melainkan ada sukacita di dalam melakukannya.
Persembahan menjadi gaya hidup dari orang percaya, karena menyadari sudah terlalu banyak pemberian Allah yang berkelimpahan di dalam hidupnya, maka sudah sewajarnya ia juga memberikan persembahan yang bukan hanya sekedarnya untuk melaksanakan tugasnya, melainkan mempersembahkan yang terbaik, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah.
Adakah persembahan yang sekarang ini berhubungan dengan kekekalan?

Kekekalan/Penyempurnaan
“Dan bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya; dan pintu-pintu gerbangnya tidak akan ditutup pada siang hari, sebab malam tidak akan ada lagi di sana; dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya.” (Wahyu 21:24-26)

Ternyata persembahan bukan hanya dilakukan di dalam hidup yang sementara ini. Persembahan juga dilakukan sampai selama-lamanya. Selain manusia akan beribadah kepada Allah Tritunggal sampai selama-lamanya, maka menusia juga ternyata akan membawa persembahan kepada Allah di Yerusalem yang baru, dimana Allah bertahta. Yang dipersembahkan adalah kekayaan (kemuliaan) dan hormat. Segala yang agung, terbaik, terindah dari hasil usaha manusia, itulah yang dibawa ke Yerusalem baru untuk dipersembahkan.
Maka hidup yang sementara ini adalah kesempatan untuk belajar dan berlatih untuk mempersembahkan yang terbaik, terindah, teragung, apa yang dikehendaki Allah. Itu sebabnya kita perlu belajar mempersembahkan yang terbaik dan yang berpusat kepada Allah untuk kemuliaan nama-Nya.

Jadi, masih perlukah kita main hitung-hitungan atau pertimbangan sistem untung-rugi dalam memberikan persembahan ke gereja, melihat pekerjaan Allah lewat Yesus Kristus dari Penciptaan sampai Penyempurnaan bagi setiap kita umat-Nya? Ayo kita pikir!!

TEOLOGI RELASIONAL: SEBUAH PENGEMBARAAN PEMBERITAAN INJIL BERBASIS SOSIAL

Tantangan bagi teologi gereja dalam menjalankan misi kemanusiaan adalah bagaimana menampilkan sebuah teologi yang relevan di tengah-tengah pergumulan dunia saat ini, yakni pluralitas agama dan problematika dehumanisasi. Tidak dapat dihindari seringkali gereja terlalu bangga dan berpuas diri dengan karya sosial kemanusiaannya dengan pola yang masih terasa eksklusif. Kiprah misiologis yang selama ini ada cenderung dimaksudkan untuk “menjaring jiwa” dan “menobatkan” agama lain. Namun, hal itu tentu berbenturan dengan konteks pluralitas agama, sehingga perlu disusun kembali sebuah paradigma misi yang baru dengan basis antropologi teologis. Dengan adanya paradigma baru, maka akan terkuak cakrawala kita, bahwa masalah yang kita hadapi ketika menjalankan misi kemanusiaan dalam konteks pluralitas agama adalah bagaimana agar ajaran-ajaran inti kekristenan, sebagai yang partikular, dapat benar-benar difungsikan untuk menjawab tantangan kehidupan sehari-hari yang nyata.
Belajar dari cara hidup Kristus, upaya antropologi teologis (baca: antropologi Kristen) untuk merumuskan “jati diri” manusia tidak boleh dilakukan secara terisolir, bukan hanya sebuah pemahaman atas dirinya sendiri, tetapi harus dilakukan dalam dialog dengan lingkungan masyarakat (Teologi Relasional). Dalam komunikasi yang terbuka dan saling memberi respek kepada integritas seluruh umat manusia, akan lebih terjamin upaya membangun sebuah masyarakat yang memiliki basis perdamaian bagi seluruh umat manusia. Karena tuntutan Kristus adalah panggilan/undangan kepada manusia untuk mengalami kasih Allah untuk terwujudnya tanda Kerajaan Allah: keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.
A.A Yewangoe dalam buku Theologia Crusis di Asia mengatakan “tantangan bagi gereja dan teologi Kristen dalam konteks Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya pada saat ini, dicirikan oleh problematika dehumanisasi yang mencolok dan pluralitas sosio-kultural (agama dan budaya).” Dengan demikian, dalam konteks itulah gereja di Indonesia mesti menjalankan “panggilannya.” Namun, -seperti yang kita gumuli- pertanyaan yang muncul adalah model teologi apakah yang dapat dipergunakan dalam menjalankan misi kemanusiaan di Indonesia? Mempertahankan iman Kristen (pendekatan Partikularisme) atau lebih melihat kepada konteks dan menemukan dasar bersama (pendekatan Universalisme)?
Tulisan ini –dengan basis Teologi Relasional- ingin mengajak kita untuk mendamaikan kedua pendekatan: pendekatan Universalitas dan pendekatan Partikularitas, dengan “jalan ketiga”, yang menghasilkan Teologi Relasional. Sebuah bangunan teologi dialektis dalam menjalankan misi kemanusiaan. Paradigma teologis semacam ini akan menghindari sebuah teologi (baca:gereja) yang eksklusif dan tidak memiliki dimensi universal, namun juga menghindari sebuah teologi pluralisme radikal yang dapat membuat kita tidak memiliki fondasi dalam berteologi dan terjerumus dalam sikap relativis.
Gereja misioner adalah gereja yang setia terlibat menjalankan misi Allah di tengah-tengah Dunia, sehingga pendekatan teologi yang diperlukan adalah “teologi yang berdimensi kemasyarakatan.” Istilah yang dipakai dalam tulisan atas teologi yang berdimensi kemasyarakatan tersebut adalah Teologi Relasional. Melalui Teologi Relasional gereja semakin hidup tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mewujudkan Kerajaan Allah, menyalurkan kasih Kristus untuk sesama manusia dan dunia. Dengan demikian, dalam menjalankan misi kemanusiaan, gereja perlu mengalirkan kasih Kristus, karena kasih Kristus tidak boleh tidak mengalir kepada sesama, kasih Kristus tidak boleh tertahan dalam diri kita dan dalam diri gereja.
Bertolak dari Teologi Relasional, maka dalam menjalankan misi kemanusiaan gereja mesti memiliki fondasi misi kemanusiaan dari partikularitas iman Kristen yang diterapkan secara universal bagi seluruh umat manusia. Gereja tetap membangun pergaulan yang akrab dengan Allah dengan juga memiliki sikap membangun pergaulan dengan sesama untuk mewujudkannyatakan pelayanan cinta kasih. Gereja juga menumbuhkan kepekaan terhadap persoalan yang ada di tengah masyarakat Indonesia saat ini dengan semangat keterbukaan dan solider terhadap penderitaan sesama dan menyatakan kesaksian serta pelayanan kepada dunia.
Hal itu berarti gereja harus bersikap “mendahulukan orang miskin” (preferential option for the poor). Pengertian kemiskinan di sini tidak dapat disempitkan dalam perspektif ekonomi semata, namun secara holistik berarti dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik materil maupun spiritual. Leonardo Boff yang berteologi dari penderitaan masyarakat di kawasan-kawasan Amerika Tengah dan Utara (Amerika Latin) mengatakan bahwa gereja dalam peran aktifnya harus menjadi agen perubahan dengan senantiasa bersama-sama orang miskin. Boff menekankan gereja perlu sungguh-sungguh menghayati hidup senasib sepenanggungan terhadap sesama manusia dengan terus menerus mengadakan perenungan-perenungan atas iman Kristen.
Sikap gereja dalam misi kemanusiaan dapat digambarkan dari dua sisi pokok. Yang pertama adalah dari hubungannya dengan Allah yang menampakkan kuasa dan belas kasih-Nya yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus (dimensi teologis). Yang kedua, dari hubungannya dengan penderitaan manusia (dimensi antropologis). Sebagai contoh, jika GKI telah memiliki TIM GKI, bukan berarti ia menjadi contoh yang sempurna bagi gereja-gereja lain di Indonesia, melainkan kita memandangnya sebagai salah satu model misi kemanusiaan gereja di Indonesia. Oleh karena demikian, gereja-gereja di Indonesia, GKI dan Tim GKI harus terus membenahi diri dan tidak puas hati.
Melalui Teologi Relasional, gereja di Indonesia akan memiliki keterlibatan sosial dengan menegaskan kembali kepedulian terhadap penderitaan sesama manusia dan menjadikannya dimensi dalam seluruh hidup dan pelayanan gereja. Gereja harus “berani” menjalankan “panggilannya,” menjadi agen perubahan dalam struktur sosial. Tidak saja dalam bentuk karitatif, tetapi berkembang pada bentuk pelayanan sosial yang transformatif. Iman mempunyai dimensi keterlibatan bersama untuk kesejahteraan hidup bersama, untuk melawan dehumanisasi dalam bentuk apa pun. Maka dapat disimpulkan, sebuah paradigma misi kemanusiaan inklusif fungsional dengan basis Teologi Relasional akan memikirkan secara serius makna pluralitas agama dan sekaligus memikirkan misi bersama agama untuk menjadikan kehidupan ini lebih manusiawi. Artinya, paradigma baru yang kiga gumuli serta diusulkan dalam tulisan ini justru ingin mengembalikan kita (gereja dan teologi gereja) dalam realitas sosial kita dengan refleksi secara mendalam pada iman Kristen, ketika melakukan pemberitaan injil Yesus Kristus di tengah-tengah dunia.

“MEMBERI SUPAYA MENDAPAT LEBIH BANYAK LAGI ATAU MEMBERI KARENA SUDAH DIBERI?” Lukas 21:1-4

Judul yang tampil dalam bentuk pertanyaan di atas menunjuk kepada praktik persembahan di dalam gereja yang dengan demikian sebetulnya mengajak kita –sebagai jemaat- untuk memaknai praktik tersebut secara mendalam. Jika saat ini kita masih berpemahaman, ”memberi persembahan supaya mendapat lagi yang lebih banyak”, maka ini berbanding terbalik dengan Teologi Persembahan yang memberi penekanan, ”memberi persembahan karena sudah diberi terlebih dahulu”. Basis ini menjadi asumsi dalam keseluruhan konsep persembahan, membuat bagaimana seharusnya kita memaknai persembahan. Dalam Kolom Bina minggu ini, kita akan merenungkan berdasarkan Lukas 21:1-4, apakah ciri khas persembahan sejati.
Pertama, persembahan sejati itu memberi tanpa alasan. Ada empat “kekeliruan tindakan” terkait dengan persembahan dan eksesnya. Pertama, banyak orang Kristen memakai kemiskinan sebagai alasan untuk tidak memberi persembahan. Kedua, ada orang miskin yang parahnya, sudah tidak memberi persembahan, masih minta sumbangan dari gereja. Ketiga, ada orang Kristen yang diberi banyak berkat (kaya) tetapi tidak mau memberi persembahan. Paling parah, keempat, orang kaya yang sudah tidak memberi persembahan masih memanipulasi gereja bagi keuntungan sendiri. Inilah keempat “kekeliruan tindakan” persembahan.
Bertolak belakang dengan ini, “si janda miskin” yang tidak disebut namanya ini, malah memberi persembahan tanpa alasan. Sudah janda, miskin lagi. Tapi masih saja memberi persembahan, bahkan persembahan yang amat besar, lebih besar dari orang-orang kaya. Si janda ini memberi persembahan ”dua peser”. ”Peser” dalam bahasa Yunani adalah ”lepton”, mata uang terkecil di antara orang Yahudi. Orang Romawi tidak mengenal dan memakai ”lepton” karena mata uang terkecil mereka adalah ”quadran” (LAI menggunakan istilah ”duit”). Satu ”quadran” sama dengan dua ”lepton”. Berapakah besarnya 1 lepton atau peser jika dikurs ke dalam Rupiah? Berdasarkan Matius 20, upah kerja satu hari adalah 1 dinar. 1 dinar sama dengan 128 lepton. Jika diasumsikan upah kerja satu hari Rp. 30.000,- maka 1 lepton sama dengan Rp. 30.000 bagi 128 yang berarti sama dengan Rp. 234,- Dibulatkan, 1 Lepton / Peser = Rp. 250,-. Berarti, si janda miskin memberi persembahan 2 Lepton, sama dengan Rp. 500,- Dengan tidak memberi persembahan saja si janda miskin sudah susah hidupnya. Ini malah memberi persembahan dan Lukas mengatakan bahwa itu adalah seluruh yang ada padanya.
Kedua, persembahan sejati bermotivasi tulus. Lukas sengaja menempatkan cerita persembahan janda miskin ini di antara cerita tentang ahli Taurat dan orang-orang di Bait Allah. Bagi ahli-ahli Taurat dalam perikop sebelumnya, mereka memanfaatkan agama bagi kemuliaan diri. LAI menggunakan istilah ”suka” tiga kali padahal dalam bahasa Yunani hanya menggunakan istilah ”philo” (cinta) satu kali. Tetapi penggunaan ini bisa dinalar karena membuktikan betapa cintanya ahli Taurat akan kemuliaan diri.
Dalam perikop sebelumnya, dikatakan ahli Taurat suka duduk di ”tempat terdepan” dalam ibadah dan ”tempat terhormat” dalam perjamuan. Kedua istilah ini menggunakan istilah Yunani yang akarnya sama dengan ”protokol”. Istilah protokol dipakai untuk menggambarkan seorang perjabat haruslah mendapatkan layanan terdahulu dan terbaik. Yang dimaksud dengan ”tempat terhormat” dalam perjamuan adalah tempat yang paling dekat dengan pintu di mana pelayan masuk dan melayaninya terlebih dahulu.
Sedangkan dalam perikop sesudah cerita tentang persembahan janda miskin ini, Lukas mencatat tentang orang-orang di Bait Allah yang mengagumi bangunan dan batu yang indah. Orang-orang ini, diduga oleh para penafsir sebagai ornag-orang Lewi / imam-imam yang melayani di Bait Allah. Mereka berstatus sebagai ”hamba Tuhan” tetapi hatinya ”hamba uang”. Memanfaatkan agama bagi kenikmatan dan kepuasan diri.
Kontras ini tajam. Agama bisa dipakai untuk kemuliaan dan kekayaan diri. Tetapi dalam tangan si janda miskin ini, agama dipakai untuk mempertontonkan pengorbanan diri. Cinta kepada manusia dan cinta kepada Allah dipraktekkan dalam agama, dan bukan cinta kepada diri. Motivasinya si janda miskin, hati yang tulus untuk Tuhan bukan untuk diri.
Ketiga, seiring dengan poin ini, kita melihat bahwa konsep persembahan sangat bergantung kepada konsep kita terhadap uang. Dengan kata lain, persembahan adalah ekspresi sikap orang Kristen terhadap uang. Tuhan Yesus mengatakan, ”di mana hartamu berada, di situ hatimu”. Artinya, di sini, konsep kepemilikan. Jikalau harta kita adalah uang, maka kita akan memakai Tuhan bagi uang. Tetapi jika harta kita adalah Tuhan, maka kita akan memakai uang bagi Tuhan. Orang yang mencintai uang, sulit memberi persembahan. Orang yang mencintai Tuhan, mudah memberi persembahan. Si janda miskin ini mencintai Tuhan dan bukan mencintai uang sehingga ia memberi seluruh nafkah yang ada padanya.
Keempat, persembahan sejati itu janji iman. Sebelum memberi persembahan saja, si janda miskin sudah harus beriman untuk kebutuhan hidupnya. Mana ada orang yang dapat hidup dengan 1/128 upah harian. Sedangkan saat ini, dengan 1/3 upah harian, Rp. 9 ribu saja sudah dianggap orang dibawah garis kemiskinan. Berarti, setelah memberi persembahan itu, ia harus beriman kepada Tuhan. Sering kali, kekurangan bukan berarti alasan kita tidak memberi persembahan. Kita belajar beriman dengan memberi persembahan. Mungkin kurang tetapi kita harus memberi persembahan. Hidup kita, diserahkan ke dalam tangan Tuhan.
Kelima, persembahan sejati bukan diukur dari jumlahnya tetapi presentasinya dibandingkan dengan penghasilan. Itu sebabnya, dengan poin ini barulah kita mengerti, mengapa Tuhan Yesus mengatakan persembahan janda miskin lebih besar dari persembahan semua orang kaya, yang dalam catatan Lukas, memberi dalam jumlah besar. Jelas, jika membandingkan nominal, logika cara apapun akan mengakui bahwa persembahan Rp. 1 juta lebih besar dari Rp. 100.000. tetapi jika orang yang memberi persembahan satu juta tetapi penghasilannya 1 miliar berarti Cuma 0,1%. Sedangkan ornag yang memberi persembahan Rp. 100 ribu dari penghasilannya Rp. 300 ribu maka presentasi persembahannya adalah 33%. Berarti persembahan 100 ribu lebih besar 330 kali lipat di bandingkan yang persembahan satu juta. Di mata manusia, persembahan satu juta lebih besar 10 kali lipat dari seratus ribu tetapi dimata Tuhan, yang 100 ribu lebih besar 330 kali lipat dari yang satu juta.
Keenam, persembahan sejati bukan saja diukur dari persembahan memberinya tetapi persembahan sisanya. Tidak berarti kita harus memberi persembahan seratus persen karena hal itu tidak realistis. Tetapi, yang dimaksudkan adalah dengan memberi persembahan, kita jangan sombong seolah-olah persembahan kita besar. Kita tahu bahwa kita memberi terlalu sedikit. Pada waktu si janda miskin memberi, ia memberi seluruh nafkahnya, yakni seluruh yang ada padanya kepada Tuhan.
Ia memberi persembahan bukan supaya mendapat lebih banyak lagi, melainkan memberi persembahan karena mengucap syukur karena telah diberi anugerah oleh Tuhan. Sudahkah atau maukah kita sebagai jemaat berlaku demikian? Kembali diajak belajar kepada “si janda miskin?