GKI Harapan Jaya

Thursday, March 11, 2010

Sun Go Kong Bertanya Kristenkah Saya?: Menelusur Kontruksi Iman yang Pluralis dalam Menerima “Yang Lain”


Bukan karena genit, centil, atau latah ketika tulisan ini hendak berangkat dari hikayat negeri Tiongkok –mengingat tahun baru Imlek yang akan disambut 1 minggu lagi-. Namun, lebih dikarenakan kerinduan untuk menelusur kontruksi iman Kristen sesuai dengan konteks saat ini. Sudah barang tentu tidak dapat disanggah, momentum terdekat yah… Tahun Baru Cina, jadi tak ada salahnya kan kalo kita belajar sedikit dari kebudayaan Tionghoa? Kita harus bersyukur ketika orang-orang keturunan di Indonesia mengalami pengakuan (recognation) status politis, sosial, dan budaya di negeri yang membesarkannya pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Akibatnya, saudara-saudara kita tersebut dapat lebih leluasa merayakan, melaksanakan, bahkan menyelenggarakan pesta-pesta budaya leluhur Jet Lee, Wong Fei Hung, dan Kho Ping Ho.

Hikayat Sun Go Kong yang Mewakili Sifat “Ke-aku-an” Manusia
Tulisan ini bukan ingin mengulas ketiga tokoh kungfu diatas, namun hendak meneropong ke sebuah hikayat negeri cina yang tersiar lama dan tetap abadi dalam bentuk novel kuno karya seorang penulis novel dan puisi terkenal pada Dinasti Ming (1368-1644) yaitu, Whu Che’ng en (1500-1582) yang berjudul “His-yu-chi” (Catatan Perjalanan ke Barat) yang menuliskan suatu kisah berdasarkan cerita perjalanan Hsuan-tsang. Kisah cerita ini kemudian menjadi terkenal dengan legenda Kera Sakti Sun Wu-khung (Sun Go Kong atau Sun Hou-zi). Legenda yang mungkin pernah kita tonton dalam film seri di televisi.
Cerita legenda "Catatan Perjalanan ke Barat" tersebut terdiri dari 100 bab yang dapat dibagi atas tiga bagian utama. Bagian pertama dari tujuh bab menceritakan kelahiran Sun Go Kong dari sebutir telur batu dan memiliki kekuatan mahasakti yang tiada tandingannya sehingga mengacaukan kayangan yang kemudian diturunkan dari kayangan dan dikurung di dalam Wu-hsing-shan (Gunung Lima Unsur Alam) sambil menunggu pembebasannya oleh seorang biksu yang akan melakukan perjalanan ke Barat mengambil kitab suci. Bagian kedua berisi lima bab yang berkaitan dengan sejarah Hsuan-tsang dan tugas utamanya dalam melakukan perjalanan ke Barat. Sedangkan bagian ketiga yang berisi 88 bab sisanya menceritakan keseluruhan perjalanan Hsuan-tsang dengan ketiga muridnya yaitu Sun Go Kong, Chu Pa-chieh, dan Sha Ho-shang
Legenda ini merupakan gambaran kisah perjalanan Hsuan-tsang dengan berbagai kesulitan dari seorang manusia yang selalu diliputi oleh berbagai keinginan dan keserakahan (diwakili oleh Chu Pa-chieh), kebodohan batin yang merupakan refleksi karakter manusia yang lemah dan selalu membutuhkan dorongan semangat (diwakili oleh Sha Ho-shang), kesombongan, keegoisan dan pikiran yang liar (diwakili oleh Sun Go Kong). Dia adalah kera nakal yang tak pernah diam. Selalu bergerak ke sana dan ke sini dengan begitu cepatnya. Kalau sudah tidak bisa dikendalikan oleh biksu Tong (Hsuan-tsang), maka akan diperingati terlebih dahulu, tapi kalau masih nakal maka akan dibacakan mantra pemberian Avalokitesvara Bodhisattva.
Sedangkan biksu Tong sendiri menggambarkan suatu kesadaran bahwa setiap tindakan akan ada akibatnya. Tidak kalah pentingnya adalah jubah yang dikenakan oleh biksu Tong, merupakan suatu simbol perlindungan kesucian dari sifat dasar manusia. Jubah ini dikisahkan banyak memberikan perlindungan kepada biksu itu dari segala gangguan siluman yang mencoba membinasakannya ataupun menggodanya. Sedangkan Pai-Ma (kuda putih) hanyalah merupakan pelengkap cerita saja dan tidak mewakili apa-apa.
Demikianlah karya sastra kuno yang berasal dari kehidupan pada jaman dahulu, memiliki makna nilai yang lebih dalam kehidupan, dan semua ini merupakan pengetahuan bersama secara umum. Dan yang membuat orang merasa takjub adalah bahwa pada jaman yang belum maju di masa itu, malah terdapat penuturan tentang "sehari di langit, setahun di bumi" dalam catatannya. Semua ini mungkin merupakan catatan karangan yang paling dini tentang pengetahuan manusia terhadap ruang dimensi lain alam semesta. Manusia dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, telah berubah semakin rumit, kesadaran dan pemikirannya sesudah lahir bagaikan kotoran yang semakin ditumpuk semakin tebal, membentuk zat-zat hitam yang semakin lama semakin keras. Naluri dan watak pembawaan manusia yang polos dan baik, telah dibelenggu. Akibatnya, manusia cenderung bersikap egois, emosional, dan sentimentil dengan antipati kepada “yang lain”. “Yang lain” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah siapa-siapa yang dirasa berbeda oleh kita, baik dari status sosial, budaya, bahkan agama.

Sebuah Telusur Refleksi Iman Sosio-Kultural yang Pluralis
Sesuai dengan tema minggu ini: “Melepas Masa Lalu, Hidup Secara Baru”, maka kita diajak untuk hidup baru, memiliki kacamata yang berbeda, berperspektif dan berparadigma iman yang terus dibaharui, dengan meruntuhkan arogansi layaknya Sun Go Kong, melepaskan keserakahan ala (maaf…) si babi Chu Pa-chieh atau kebodohan dari Sha Ho-shang dan lebih bersifat cerdik dalam menghadapi hidup ini.
Seringkali sebagai orang-orang Kristen, kita malah sering terbentur dan tidak mampu berdialog / menerima “yang lain”, karena memilki sifat-sifat “ke-aku-an” yang begitu kuat. Misteri Allah sesungguhnya memang telah dinyatakan lewat inkarnasi Yesus dalam Kristus, hal itu tidak dapat dihilangkan. Akan tetapi Misteri Allah tidak dapat melekat pada diri kita saja tanpa disalurkan, Misteri Allah tidaklah sederhana tetapi plural (bekerja dalam berbagai bentuk yang tidak dapat dibatasi oleh kehendak manusia). Inilah isi terdalam dan pengajaran Kristen mengenai Trinitas. Keilahian tidak hanya dapat difenisikan satu, karena Allah tidak terbatas dan tidak dapat didefinisikan. Kasih Allah sendiri tidak terbatas, secara universal menekankan kasih terhadap semua manusia, dimana manusia juga harus memanifestasikan kasihnya juga kepada sesama.
Oleh karena itu dalam konteks masyarakat pada saat ini, keunikan (sosial dan budaya) perlu ditinjau kembali. Berbicara mengenai ortodoksi (ajaran yang dinggap benar) dalam iman Kristen tidaklah terlepas dari bahasa Perjanjian Baru mengenai Yesus, salah satunya mengenai gelar yang diberikan kepada Yesus seperti Anak Allah, Penyelamat, dan Sabda Allah. Gelar-gelar tersebut tampaknya menempatkan Yesus dalam kategori superior. Akan tetapi, kini kita harus melangkah lebih lagi dari ortodoksi menuju ortopraksis (tindakan benar). Gambaran Yesus sebagai superior adalah bahasa aksi atau bahasa performatif. Kita harus mengikuti dan bertindak seperti Yesus, yang justru tampil tidak mendominasi, non-subordinatif, justru penuh kederhanaan menerima semua orang dari kelas sosial-budaya manapun. Namun seringkali kita lebih seperti Sun Go Kong dkk. yang nyatanya keluar dari keserhanaan? Sehingga, masih gagah tidak yah kalau kita ‘ngaku orang kristen tapi tak berlaku seperti pengajaran Kristus?
Sabda Allah dalam Yesus bersifat universal, tidak hanya bagi tertutup bagi diri kita saja tetapi bagi semua orang sepanjang jaman. Dengan kata lain mengenal Yesus Kristus berarti merasa bahwa orang-orang lain (dari berbagai status sosial-budaya), perlu mengenal Dia juga. Hal ini berarti bahwa mereka perlu mengakui dan menerima kebenaran yang diwahyukan-Nya (tidak berarti mereka harus dipaksakan menjadi komunitas Kristen –contoh kasus multireligius-).
Inilah yang menjadi garis besar penafsiran kembali mengenai ajaran Kristus, mengenai iman yang pluralis. Dia membawa suatu warta yang universal, menentukan, dan sangat perlu kita aplikasikan dalam konteks majemuk pada saat ini, sehingga kita tidak alergi kepada orang-orang yang ada di sekitar kita, yang secara status sosial-budaya berbeda (kita yang menganggap sebetulnya, Kristus nggak lho!).

Penutup
Kemajemukan adalah sebuah realitas kini yang tidak dapat dihindari, sehingga kita tidak mungkin menutup mata pada keberadaan yang lain. Sebagai umat Kristen kita tidak dapat lagi terjebak pada partikularitas diri kita. Partikularitas ini akhirnya menutup ke-universalitasan kasih Allah, pekerjaan-Nya dan terutama kedaulatan-Nya. Kita secara arogan pada akhirnya membatasi ketidakterbatasan Allah. Allah itu tersembunyi dan tidak dapat didefinisikan. Kesombongan manusia dalam mendefinisikan-Nya sama saja dengan mereduksi Allah sendiri.
Agar dapat mewujudkan kedamaian dalam dunia yang pluralis adalah dengan mengingat persekutuan trinitas (Allah, Kristus, dan Roh Kudus). Sebagai umat Kristen, maka kita juga dituntut untuk mewujudkan persekutuan yang trinitaris yang bersifat korelasional kepada sesama manusia. Kristus sebagai Juru Selamat satu-satunya (the one and only) tak boleh dipandang secara hurufiah, melainkan sebagai sebuah ungkapan konfesional. Untuk mewujudkan dialog-korelasional menuju pluralisme, maka kita harus beranjak dari perspektif yang teologis-dogmatis menuju suatu perspektif yang teologis-etis. Rasul Paulus dalam Efesus 3:1-13 mengatakan bahwa bukan hanya orang Yahudi yang akan diselamatkan tetapi juga non-Yahudi, jelaslah nilai ke-universalitasan ditekankan. Sebagai umat Kristen hal utama yang perlu dilakukan adalah dengan menghadirkan Kerajaan Allah di dalam dunia (Mat 6:33).
Dengan demikian, kalau dalam pengembaraan hidup, kita masih tampil penuh “ke-aku-an” seperti hikayat Tiongkok si Sun Go Kong tadi: alergi kepada orang dari status sosial lain (prinsip miskin-kaya), budaya dan suku lain, atau agama lain sekalipun, maka kita mungkin perlu lebih sering berkaca kembali kepada Kristus dengan memunculkan pertanyaan, “Kristenkah Saya?” Memang Kristus tidak pernah memaksa seperti paksaan Biksu Hsuan-tsang kepada Go Kong, yang kalau nakal dibaca mantra biar puyeng alias stop nakalnya. Kristus mengajar dan mengingatkan kita dengan kasih, kalau kita tetap “nakal” dan membakang kepada Firman Tuhan, tidak mau berubah, tidak mau lahir baru. Maka kita sebagai “Sun Go Kong” musti bertanya “Kristenkah Saya?”

MENGAPA HARUS SAULUS “SI PEMBANTAI” ITU YANG DIPAKAI TUHAN?!


Dalam setiap kesempatan Pemahaman Alkitab (PA), pertanyaan yang kerap kali muncul ketika mengelaborasi setiap peristiwa yang tercantum di dalam Alkitab adalah “mengapa...?”, “kok bisa...?”, “kok dia...?”, “kok begitu...?”. Intinya kita penasaran atas cara kerja Tuhan yang luar biasa misterius sekaligus menggetarkan (mysterium tremendum et fascinans), tidak dapat dinalar atau dilogikakan, dan kadang (bahkan sering) ‘ngga sesuai dengan kehendak, keinginan, cara pandang atau rancangan kita. Akan tetapi memang semestinya demikian, karena begitu pulalah pengalaman iman Nabi Yesaya yang mengatakan bahwa rancangan dan jalan Tuhan-lah yang akan terjadi terhadap manusia dan bukan sebaliknya (bdk. Yes 55:8).
Saulus yang Bertobat
Kisah pertobatan Saulus di dalam Kis 9:1-19, sudah tentu akrab bagi kita, yang intinya mengisahkan pertobatan Saulus, orang Yahudi dari Tarsus, Asia Kecil, yang dulunya adalah pembantai orang-orang yang mengikut ajaran Kristus. Namun kemudian, Yesus sendiri –secara langsung- kemudian bekerja atas diri Saulus dalam peristiwa perjalanan ke Damsyik, yang membawa Saulus ke dalam pertobatan, setelahnya ia lebih dikenal sebagai Rasul Paulus. Melihat kisah ini pertanyaan yang senada agaknya akan muncul, yakni: “mengapa harus Saulus “si pembantai” itu yang dipakai Tuhan? Apa ‘ngga ada orang lain yang lebih saleh dan lurus hidupnya?
Yesus Menolong Saulus dengan Cara-Nya
Dalam peristiwa perjalanan ke Damsyik nampaklah sebuah siratan konfrontasi antara Yesus dengan Saulus. Yesus menampakkan diri kepada Paulus dalan kemuliaan dan kuasa-Nya yang berdaulat. Hal ini dilakukan untuk menyadarkan Saulus akan ketidakberdayaannya dihadapan Allah. Yesus kemudian membongkar kesalahan dari Saulus, dengan sebuah pertanyaan dakwaan: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” Jawaban Yesus yang mengatakan: “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” menjadi sebuah ledakan dahsyat dalam diri Saulus. Mengapa? Karena Saulus adalah orang yang taat beragama, yang menjalankan hukum Taurat dengan penuh kesungguhan (Flp 3:4-6). Saulus sadar bahwa tindakannya yang membantai orang-orang pengikut ajaran Kristus, dengan motivasi membungkam “kebohongan publik” mengenai kebangkitan Kristus adalah sebuah tindakan keliru. Berita kematian Kristus yang ditiupkan pemimpin agama ternyata keliru, karena ia sendiri telah bertemu langsung dengan Yesus yang telah bangkit.
Mengubah dan Memakai “Si Pembantai”
Yesus sudah mempunyai rencana-Nya yang indah bagi kehidupan Saulus. Yesus berkata kepada Ananias yang diutus-Nya untuk melayani Saulus, bahwa Saulus adalah “alat pilihan-Nya” untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa lain. Tidak main-main, Allah bahkan sudah memilih dia sejak dalam kandungan ibunya, dan mempersiapkan dia melalui berbagai kesempatan pendidikan dan pengalaman untuk mempersiapkan dia menjadi seorang pelayan yang berkualitas. Dalam rencana-Nya Tuhan bahkan membiarkan Saulus mewujudkan puncak dari kesalahan tindakannya, yaitu penganiaya yang ganas terhadap umat tebusan-Nya. Program-Nya ialah untuk “meremukkan” Saulus, membentuk dia menjadi seorang manusia baru.
Tuhan telah mengubah hidup Saulus secara total. Perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit menjadi titik balik kehidupannya. Sejak itu, Tuhan telah mengubahnya dari seorang penganiaya jemaat menjadi seorang gembala yang setia dari jemaat Tuhan; dari seorang yang memiliki keagamaan yang natural dan terperangkap dalam kepalsuan agama menjadi seorang manusia baru yang memiliki keagamaan yang penuh kesejatian dalam Kristus. Di kemudian hari kita mendapati Paulus sebagai seorang yang memiliki integritas yang murni, seorang pelayan Injil yang setia, seorang penjabar kebenaran Injil Kristus yang cemerlang, seorang misionaris Kristus yang dipakai secara luar biasa untuk memenangkan banyak orang dan wilayah penting bagi kerajaan Allah. Paulus mewariskan kepada kita eksposisi Injil dan nasihat pastoral, dan teladan kehidupan serta pelayanan yang begitu berharga. Siapa sangka “si pembantai”, “pendosa” itu yang justru dipakai Tuhan?
Permenungan
Bertolak kepada judul di atas : “Mengapa Harus Saulus “Si Pembantai” itu yang dipakai Tuhan? Kita mendapatkan jawaban dari kisah pertobatan Saulus, bahwa kedaulatan Tuhan tidak bisa kita intervensi, Dia yang memiliki hak untuk memilih, memakai, dan menggunakan seseorang sebagai alat-Nya dalam memberitakan Kerajaan Allah. Sehingga, “si pembantai” Saulus kemudian diapakai sebagai alat Tuhan yang memenangkan jiwa banyak orang. Bahkan banyak sejarawan mencatat dan mengambil kesimpulan, bahwa keristenan menjadi sangat berkembang melalui peran Rasul Paulus.
Dalam kehidupan keseharian kita di dalam keluarga, gereja, dan masyarakat, kita cenderung “berani” mengambil hak intervensi Allah, dengan menghakimi orang lain atas dasar kacamata kita. Bukankah dengan demikian kita menjadi tidak sadar atas perbedaan kualitatif kita dengan Allah? Bahkan mungkin kita menjadi lebih bergaya “sok Hakim” ketimbang Yesus “ Sang Hakim Agung” itu. Kalau demikian, tepatlah kita seperti yang dipertanyakan oleh Yesus dalam Matius 7:3 : “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”
Selayaknya kita belajar kepada cara Yesus menolong Saulus, yakni dengan sebuah tindakan pastoral yang memanusiakan manusia: menyadarkan diri Saulus dan memberikan kepercayaan dalam menjalankan tugas memberitakan Firman Allah. Kalau hal ini terjadi di dalam kehidupan kita, maka kehidupan kita akan menjadi semakin indah, dengan “berjoget”, dan “bergoyang” bersama dalam sebuah persekutuan yang rukun (Mzm 133).

Wednesday, March 10, 2010

Konstruksi Iman di Tengah Tantangan Berteologi: Sebuah Refleksi Diri Untuk Dapat Beriman di Dalam Percakapan Teologi


Pergumulan teologi bagi saya adalah bagaimana mempertemukan iman dengan percakapan ilmu teologi, atau sederhananya sebuah pertanyaan yang muncul adalah: “Bagaimana saya dapat tetap beriman?”. Di sini penulis memulainya dengan membedakan antara fides quae dan fides qua, antar yang harus dipercaya (objektif) dan yang dipercaya (subjektif). Aktifitas yang berakar di dalam keristenan yang dilakukan oleh gereja adalah sebuah pergumulan dimana di dalamnya terdapat dogmatika Kristen. Bila kita melihat di dalam sejarah dogma-dogma sebenarnya adalah hasil dari sebuah diskusi. Diskusi yang bahkan tidak jarang dimulai dengan sebuah konflik. Konflik itu tidak terdapat di luar gereja tetapi terdapat di dalam gereja. Sebagai contoh: ada konflik mengenai hakikat Kristus: apakah dia memang sama dengan Allah atau tidak. Terdapat disensus yang kemudian melahirkan diskusi di dalam gereja yang mengatakan bahwa walaupun Yesus menyatakan kehendak Allah, namun dia tidak sama dengan Allah. Ada juga yang menyatakan bahwa Yesus seharusnya sama dengan Allah.
Sebuah dogmatika, semua teologi, semua pemikiran manusia berasal dari sebuah konteks. Dengan demikian, ‘berteologi dalam konteks, ingin mengatakan teologi yang tidak berhubungan dengan konteks tidak mungkin ada. Gereja mula-mula menggunakan kata ini untuk memastikan kesimpulan sebuah rapat gereja. Sehingga, kalu kita memperhatikan sejarah kekristenan, maka kita akan didapatkan bahwa iman Kristen-lah yang mewarnai dan mengisi dogma-dogma, walaupun lambat laun berubah. Dogma-dogma diperkuat dan kemudian mendefinisikan iman Kristen. Ia menjadi ‘objek’ kepercayaan dengan ‘subjek’ kepercayaan yang dilupakan.
Akhirnya dogmatika menjadi sebuah aturan yang mengatur. Dogma seharusnya tidak harus menjadi prosuposisi yang tetap dan kaku, tidak harus menjadi klise, dan tidak harus pula menjadi ‘objek’ kepercayaan yang mengatur. Oleh karenanya ketika kita memperhadapkannya dengan percakapan ilmu teologi, kita tidak dapat mengabaikan suara-suara dari tradisi, sejarah gereja, masyarakat, agama lain, dan perjalanan waktu. Inilah yang mewujudkan subjektifitas dari kita, atau saya sebagai penulis yang berfleksi.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, ingin dikatakan bahwa titik tolak dogmatika bukanlah dogmatis, tetapi berakar di dalam teologi. Dogmatika adalah salah satu disiplin dalam ilmu teologi. Lalu bagaimana memulainya, agar kita dapat tetap beriman? Perlu diketahui bahwa proposisi-prosisi yang terdapat di dalam Alkitab (ct.: Monoteisme (atau Henoteisme ); Cerita-cerita mengenai Yesus, dll) mewujudkan sola scriptura menjadi sola fide.
Untuk dapat menjawab tantantang iman tersebut, maka kita perlu kembali kepada sebuah sumber yang ada mengenai perkataan Allah yaitu Alkitab, karena Alkitab-lah yang menjadi referensi teologi itu sendiri. Berbagai pertanyaan mengenai Allah hanya dapat dijawab dan diketahui dengan ‘kata’ Allah sendiri di dalam sebuah teks. Sehingga, cara bagaimana Allah berfungsi di dalam teks agama Kristen menciptakan perasaan mengenai Allah, dan melahirkan ‘teks baru’ (diskursus objektif-subjektif) yang sejajar dengan konteks dimana saat ini kita berada. Apa yang menjadi intisari dari pergumulan penulis adalah bagaimana Allah berfungsi serta apa yang dilakukan-Nya. Gereja berusaha menelusuri hal tersebut untuk menjelaskan kehidupan yang baik dalam Yesus Kristus.
Ketika kita ingin beriman, dogma-dogma tidak dapat menguasai untuk kita harus mengikutinya. Ketika kita ingin berbicara mengenai iman yang dijelaskan dalam aturan dogma-dogma, kita akan memperhatikan sumber-sumber lain dari budaya, sejarah dan perspektif teologis kita. Sumber-sumber lain tersebut tentu perlu ditekankan bukan juga sebagai hegemoni yang menjadi sumber utama sebagai titik berangkat dalam kita merekonstruksi iman kita.

Gereja tidak menjadi ruang kebenaran, tetapi menjadi ruang interpretasi. Ada kebebasan bertanggung jawab untuk melakukan sebuah diskusi objektif dan subjektif bagi kita dalam merekonstruksi iman kita. Dengan demikian, kita dapat tetap beriman dengan melakukan percakapan tersebut, yakni dengan melahirkan sebuah iman yang kontekstual, iman kepada Yesus Krsitus dengan tidak mengabaikan sumber-sumber lain dalam merekonstruksinya. Iman yang tidak kaku, sekaligus juga tidak ‘liar’. Justru hal inilah yang membuat penulis dapat tetap beriman walaupun mendapat tantangan dari ilmu teologi dan konteks modern saat ini.